BELAJAR BUDAYA HARMONIS DENGAN MAS SABRANG
Lazimnya, format acara seminar atau diskusi di kampus adalah pemateri memberikan paparan panjang lalu dipungkasi sesi tanya jawab singkat. Namun sore itu, 29 November 2022, di Auditorium Kampus Pusat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, template acara tersebut tidak dipakai. Selama 2 jam acara berlangsung, “Sinau Bareng” bersama Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh berjalan dengan sesi tanya jawab penuh.
“Harapan saya, Anda tidak hanya mendengarkan saja di sini, kuliah itu orang-orang yang belajar berpikir kritis. Jadi, Anda boleh membantah, boleh tidak setuju, dan boleh tanya dan seterusnya. Saya tidak datang untuk ceramah. Silakan bantah, tanya, dan diskusi. Hari ini kita tumbuh bareng,” tegas Mas Sabrang di hadapan ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang sedang mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Kemendikbudristek Angkatan 2 tahun 2022 di UST Yogyakarta.
Ada tiga poin besar yang ditawarkan moderator untuk dibahas pada diskusi itu. Pertama, toleransi keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia. Kedua, upaya harmonisasi keragaman budaya Indonesia. Ketiga, peran Mahasiswa dalam melestarikan budaya Indonesia.
Moderator mengajukan pertanyaan pemantik awal perihal keragaman yang ada sering menimbulkan selisih paham di masyarakat lalu bagaimana menanam toleransi agar tidak menang sendiri. Mas Sabrang tidak sepakat dengan premis itu. Baginya, keragaman dan selisih paham adalah dua hal yang berbeda, keragaman terjadi secara natural dan alamiah, sedangkan selisih paham lahir karena benturan kepentingan.
Tentang toleransi agar tidak menang sendiri, Mas Sabrang membagi perspektif yang menarik. Dalam pandangannya, semua orang melakukan sesuatu seturut apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Masalah timbul bukan karena orang merasa benar sendiri, tetapi ketika kebenaran seseorang harus diikuti, terlebih lagi dipaksakan bagi orang lain. Pemaksaan pendapat juga kerap menjadi awal titik tengkar dan musabab percekcokan, baik di dunia nyata ataupun lini masa sosial media.
Sebelum masuk lebih jauh pada pembahasan toleransi, Mas Sabrang mencoba memberikan gambaran bagaimana sebuah budaya terbentuk. Ia mengingatkan bahwa budaya dan tradisi kerap disalahartikan. Padahal keduanya jelas garis batasnya. “Tradisi adalah kebiasaan manusia yang ditularkan secara turun-temurun. Kalau budaya itu horizontal,” jelas Mas Sabrang. Manusia, lanjutnya, hidup dan tumbuh dengan budaya yang mengelilingi.
Budaya muncul justru dari perbedaan. Manusia kemudian mencari titik persamaan untuk membangun sebuah society. Persamaan itulah yang menjadi garis merah yang kemudian lahir jadi budaya di masyarakat. Lalu, Mas Sabrang menegaskan bahwa toleransi adalah kemauan untuk memahami garis merah yang kita akui bersama.
Meski begitu, Mas Sabrang mengingatkan bahwa toleransi memiliki paradoksnya sendiri. Orang bisa berdebat berputar-putar membahas siapa yang tidak toleran. Atau siapakah yang harus menoleransi. Namun ia memberikan clue ketika terjadi perbedaan. Kepentingan umum (public order) lebih diprioritaskan.
Mahasiswa yang datang mulai terangsang untuk bertanya, satu persatu mahasiswa mengajukan pertanyaan. Salah seorang mahasiswa dari Medan bertanya tentang relasi intelektual dan musik. Mas Sabrang kemudian menjabarkan bagaimana musik memiliki banyak dimensi yang bisa dibedah, mulai sejarah, psikologi, dan filsafatnya.
Mas Sabrang juga mengelaborasi penjelasan harmonisasi musik secara detail kemudian dikontekstualkan dengan keberagaman di masyarakat. Bagaimana meramu hal-hal yang ada di diri dan sekitar kita menjadi hal yang harmonis, indah, dan memberi dampak positif dan konstruktif. “Jadi, Khairukum anfa’uhum linnas dan Fastabiqul khairat bisa berjalan” sentil Mas Sabrang.
Seorang Mahasiswi berdiri dan melontarkan keresahan bagaimana pemuda hari ini tidak mau dan malu melestarikan budaya dan tradisi negeri sendiri. Mas Sabrang memberikan jawaban yang memantik untuk berpikir ulang. Baginya, kita tidak bisa menyalahkan generasi hari ini yang sudah berjarak dengan budaya sendiri. Mas Sabrang membuka opsi lain, bisa jadi orang yang tidak meneruskan itu justru orang yang berpikir. Ia mempertanyakan alasan kenapa harus meneruskan.
Menurut Mas Sabrang, ada missing link pengetahuan yang membuat generasi hari ini kehilangan gairah meneruskan. Budaya dan tradisi bukanlah hal yang lahir di ruang kosong tanpa sebab dan pemaknaan. Namun, keadaan tersebut bisa diperbaiki. Ia lalu menyebutkan pentingnya membangun narasi. Selanjutnya, penggalian sebanyak mungkin pengetahuan tentang tradisi masa lalu dari berbagai sumber menjadi solusi nyata.
Di awal, tengah, dan akhir sesi, Mas Sabrang selalu mengingatkan prinsip dalam belajar. “Semua orang itu pingin intelek, tapi tidak ada yang pernah menjawab Ibu dari intelektual itu apa. Ibu dari intelektual itu adalah atensi atau perhatian. Ibu dari perhatian adalah curiosity (keingintahuan) dan interest (ketertarikan)” tegas Mas Sabrang.
Dok. Foto: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta