PANGGUNGHARJO DESA RINTISAN NEGARA MAWA TATA 

Jumat, 23 Desember 2022, wilayah Yogyakarta diberkahi hujan lebat sejak sore hari. Warga Desa Panggungharjo Sewon Bantul sedang bersukacita memperingati 76 Tahun kelahiran Kalurahan Panggungharjo. Rangkaian acara yang digelar sejak tujuh hari lalu dipungkasi dengan kebersamaan dan doa bersama Mbah Nun. Menyesuaikan dengan cuaca, acara dipindahkan dari panggung utama ke Balai Budaya Karangkitri Panggungharjo.

Manusia dan Kerusakan

Kian hari kerusakan global semakin tampak dan berdampak nyata bagi manusia. Dalam pandangan Mbah Nun, secara historis, manusia relatif tidak bisa memperbaiki kerusakan yang terjadi oleh ulah manusia di bumi. Persoalan-persoalan global yang menggejala seperti kerusakan alam, global warming, efek rumah kaca, kesenjangan ekonomi, dan lain sebagainya tidak bisa diselesaikan secara kaffah. Keserakahan manusia selalu menjadi tokoh antagonis dalam epos pelestarian alam.

Keserakahan manusia diperparah oleh sokongan modernitas yang meminggirkan pemahaman kosmologi. Proses pembangunan ala modern yang mengandaikan kemajuan pada akhirnya hanyalah menabung masalah-masalah baru. Sementara, dunia hari ini kembali menengok dan menggadang-gadang pemahaman masyarakat lokal berikut kosmologi ekologisnya yang bertumpu pada penghargaan alam mampu menyembuhkan bumi.

Di berbagai belahan dunia, pandangan yang memposisikan manusia dan alam dalam relasi kesalingterhubungan (interconnectedness) memang kentara pada masyarakat adat dan kepercayaan religiusitas lokal. Mereka menerjemahkan kesadaran ekologis berbasis lokalitas dalam tradisi keseharian secara turun temurun.

Pandangan lokal tersebut juga mengilhami beberapa gerakan ekologi berbasis religiusitas lokal merespons perusakan lingkungan. Yang cukup monumental adalah gerakan Chipko di India tahun 1974. Gerakan ini adalah upaya mempertahankan ruang hidup dari deforestasi dan pengambilan sumber daya alam oleh Kolonial Inggris dan pemerintah korup India. Saat penebangan hutan akan dimulai, masyarakat Chipko yang memang memiliki hubungan harmoni dengan hutan memeluk pohon secara berjamaah sebagai upaya terakhir.

Sayangnya, penulis Barat era kolonial menarasikan secara peyoratif kepercayaan yang dianut masyarakat Chipko sebagai gerakan menyimpang penyembah alam. Narasi itu mulai menyebar. Sebagai konsekuensinya, masyarakat adat seperti Chipko dianggap kurang modern dan tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Dalam konteks pembangunan, mereka tidak dilibatkan berembug untuk kesejahteraan. Masyarakat adat lokal hanya dijadikan objek dari proses pembangunan.

Kondisi serupa terjadi dalam konteks Indonesia. Masyarakat desa dan masyarakat adat lainnya dianggap masyarakat kelas dua. Warisan pengetahuan tentang penghormatan alam hanya direduksi menjadi mitos dan cerita rakyat. Mbah Nun menceritakan bagaimana pemerintahan Orde Baru memonopoli desa. Pertanian, politik, ekonomi, dan pengetahuan lokal desa dipinggirkan. Namun, orang-orang Panggungharjo pelan-pelan menemukan jati diri sebagai masyarakat yang berdaulat.

Fadhilah, Karomah, dan Iman yang Meningkat

“Saya bersyukur kepada Allah, iman saya meningkat karena Panggungharjo,” tutur Mbah Nun dalam kesempatan tersebut.

Bagi Beliau, apa yang telah dilakukan oleh Pak Lurah Wahyudi dan orang-orang Panggungharjo dalam mengelola desa adalah bukti keseriusan cinta Tuhan. Mbah Nun bahkan menyebut desa Panggungharjo sebagai desa “Min Haitsu La Yahtasib”. Mbah Nun menyematkan diksi itu dari surat At Talaq ayat 3. Desa Panggungharjo adalah rezeki untuk rakyat Bantul dari wilayah yang tidak diperhitungkan.

“Desa yang oleh Allah ditandur dhewe, disirami dhewe, ditukulke dhewe, diwohke dhewe, Mudah-mudahan Allah nandur lebih banyak lagi Panggungharjo-Panggungharjo yang lain,” tutur Mbah Nun.

Mbah Nun kemudian memberikan elaboarasi bagaimana sifat rahman rahim Allah hadir melalui fadhilah dan karomah. Fadhilah diberikan kepada manusia dalam bentuk akal. Akal pula yang membedakan manusia dengan binatang. Sebelum proses penciptaan manusia, makhluk bumi dikenal sebagai pembuat kerusakan. Kemudian Nabi Adam diutus sebagai khalifah di bumi dengan dibekali akal untuk mengelola bumi.

Meski Allah telah memberikan fadhilah akal bagi manusia, nyatanya, berbagai kerusakan di muka bumi masih terjadi. Oleh karenanya, Allah menurunkan karomah, kemampuan yang luar biasa, bagi manusia untuk perlahan membangun kemuliaan.

Hemat Mbah Nun, Pak Lurah Wahyudi adalah satu dari sekian manusia ”aneh” yang diberikan kemampuan dan pandangan di luar pandangan mainstream. Pak Lurah Wahyudi adalah salah satu anomali dari produk peradaban modern. Lulus sebagai apoteker, Pak Lurah Wahyudi memiliki landasan berpikir tentang peradaban yang jauh melampaui latar belakang pendidikan formalnya.

Kalurahan Panggungharjo di bawah kepemimpinannya telah meraih banyak prestasi. Pak Lurah Wahyudi melakukan terobosan inovasi yang banyak membuat perubahan. Inovasi itu tidak lahir dari ruang hampa. Gagasan tentang desa yang ia lontarkan berdasar pada filosofi kuat dan diejawantahkan melalui prinsip gotong royong dan musyawarah.

Rekonstruksi Pengetahuan Lokal

Kalurahan Panggungharjo memiliki pandangan bahwa desa adalah Ibu bumi. Berangkat dari pengetahuan tersebut, relasi manusia dan alam adalah relasi kemesraan dan saling menghormati. Penghormatan atas tanah, air, dan udara diwujudkan dengan merawat tanaman yang ada di sekeliling mereka. Hidup dan menghidupi dari pekarangan sendiri.

Pada malam itu, Mbah Nun juga mengingatkan kembali bahwa alam memiliki sifat feminim dan manusia maskulin. Oleh karenanya, kemesraan menjadi kunci dalam berelasi. Manusia tidak boleh merusak alam karena yang akan rusak justru manusia itu sendiri, kualat. Peran feminim dan maskulin ini perlu diletakkan dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan, bukan hal lain.

Bumi difemininkan karena sifatnya yang seperti Ibu, merawat kehidupan. Ibulah yang mengandung dan mengalirkan sesuatu yang dapat menyemai kehidupan. Dalam buku yang ditulis Vandana Shiva, seorang intelektual India, Staying Alive: Women, Ecology and Development, perempuan dan alam saling bertaut. Hal itu kemudian menjelma menjadi kepercayaan pada masyarakat luas. Pun demikian dengan filosofi Yoni dalam kepercayaan masyarakat Jawa.

Pengetahuan desa adalah Ibu bumi itu juga disebarkan kepada orang-orang Panggungharjo melalui tulisan-tulisan. Kalurahan Panggungharjo menerbitkan satu buku “Jagongan Selapanan” setiap bulan sebagai upaya mengkonstruksi pengalaman warga menjadi pengetahuan. Ide penulisan buku ini, seperti diungkapkan oleh Pak Lurah Wahyudi malam itu, berangkat dari pemahaman yang Beliau yakini.

“Hari ini praktis kita hanya mewarisi tanah, tetapi tidak pernah mewarisi pengetahuan. Pengetahuan kita habis dan dihabiskan. Sehingga penting bagi kita untuk kembali menuliskan pengetahuan yang berserak, pengetahuan dari pengalaman yang baik,” jelasnya.

Siapa yang punya pengetahuan ialah yang berkuasa. Dalam konteks tersebut, Pak Lurah Wahyudi menyatakan bahwa pemberdayaan tidak lagi bisa mencukupi. Yang kita butuhkan adalah pemberkuasaan melalui aktualisasi pengetahuan warga desa, hal ini menjadi sumbangsih orang-orang Panggungharjo untuk Indonesia. Tujuannya, desa kembali punya daulat agar bisa berelasi setara, dengan pemerintah maupun swasta.

Di akhir, Mbah Nun mengungkapkan konsep “Desa mawa cara, negara mawa tata”. Bagi Mbah Nun, Panggungharjo adalah rintisan negara mawa tata untuk dicontoh oleh Indonesia. []

Baca juga: Panggungharjo Desa Min Haitsu Laa Yahtasib

Lihat juga

Back to top button