Gambang Syafaat Menghimpun Woh-Woh Maiyah

Gambang Syafaat Juli 2022

Pada acara Padhangmbulan edisi Juli kemarin, Mbah Nun bertanya, “Nandur (menanam) Maiyah woh (berbuah) apa?” Maiyah adalah sesuatu yang baru dan belum ada prototipenya sebelumnya, maka woh yang akan dihasilkan oleh Maiyah pun belum diketahui.

Pertanyaan Mbah Nun itulah yang kemudian diangkat sebagai tema pada acara Gambang Syafaat (GS) yang dilaksanakan di halaman Masjid Diponegoro, Peleburan Semarang pada tanggal 25 Juli 2022. Sejak dibuka lagi untuk umum, GS dilaksanakan di tempat ini karena tempat sebelumnya, komplek Masjid Raya Baiturahman, sedang dalam renovasi.

Secara logika, sebagaimana disampaikan Pak Saratri yang membersamai acara GS, jika yang ditanam adalah Maiyah, maka yang akan diunduh juga Maiyah sebagaimana jika kita menanam pisang maka yang dipanen adalah pisang. Jika kita menanam kebersamaan dan ketenteraman bersama Allah dan Rasulullah maka hal itu jugalah yang akan dipanen.

Melalui media sosial instagram akun Gambang Syafaat bertanya kepada jamaah dengan pertanyaan serupa: “Nandur Maiyah, woh apa?” Berikut ini adalah sebagian jawaban jamaah Maiyah tersebut. Ada yang menjawab, woh dari maiyahan adalah ketenteraman hidup dunia dan akhirat. Hal serupa juga diungkapkan oleh jamaah Maiyah yang datang pada acara malam itu. Mereka mengaku dulunya hidup kemrungsung, kerja jungkir balik, dan memburu dunia tetapi tidak bisa menikmati hidup. Setelah maiyahan kondisi itu tidak lagi terjadi.

Ada juga yang menjawab melalui IG woh dari maiyahan adalah ‘kesadaran’, kemudian pada forum malam itu ia mengungkapkan bahwa dari maiyahan dia mendapat kesadaran karena diajak untuk berpikir kritis sehingga terhindar dari informasi yang diarahkan seperti kacamata kuda. Kesadaran juga terkait dengan fanatisme buta, mendukung pihak tertentu sehingga bertengkar dengan saudara sendiri. Maiyah memberi bekal untuk melihat dari sebagai sudut bahkan mencurigai kebenaran pada diri sendiri.

Ada juga yang menjawab ‘meminimalisir sambat’ karena maiyahan mengajarkan bersyukur dan ridla atas apa yang diberikan oleh Allah kepada kita. Kita hanya disuruh mengoptimalkan potensi yang ada pada diri kita.

Ada yang mejawab ‘radikalisme positif’. Radikalisme selama ini dimaknai sebagai sesuatu yang buruk. Padahal dalam menjebol kebuntuan dibutuhkan radikalisme, sesuatu yang lain dari yang lain. Radikalisme Maiyah itu adalah radikalisme yang baik. Ada juga yang menjawab, “woh kepribadian swargi’ maksudnya adalah kepribadian yang baik yang layak diganjar surga.

Ada juga yang menjawab: kedewasaan berpikir, kecintaan antar sesama, ketenangan, kegembiraan, dan kesiapan dalam menghadapi masa depan. Ada juga yang menjawab bahwa urusan kita adalah nandur sedangkan woh adalah urusan Gusti Allah, dan masih banyak lagi jawaban dari jamaah.

Forum maiyah GS pada malam itu memang lebih banyak mendengar pendapat dari jamaah. Ada lebih lima belas jamaah mengungkapkan unek-uneknya, pengalamannya selama bermaiyah. Gambang Syafaat mengajak berdialog sebagaimana watak maiyah. Forum ini adalah forum kita, dan kita independen atasnya. Dengan banyaknya dan semangatnya jamaah mengungkapkan pendapat itu adalah tanda bahwa tidak ada objek dalam forum ini, semua adalah subjek. Dari mendengar mereka terlihat pertumbuhan intelektualitas anak-anak maiyah.

Acara pada malam itu dibersamai oleh Pak Ilyas, Pak Saratri, dan Gus Anik. Suasana semakin meriah karena dihadiri kelompok gamelan Kiai Tapel. Menurut Mas Fajar, Bibit Kiai tapel adalah kelompok mahasiswa Islam di ISI, Kalimasada. Lalu diberi nama oleh Mbah Nun dengan nama Kiai Tapel. Tapel artinya bisa obat, jadi kalau mendengar musik gamelan Kiai Tapel orang semoga bisa terwasilahkan untuk sembuh dari sakit. Datang juga kelompok musik Kiai Jurus, dulu juga diberi nama oleh Mbah Nun. Malam itu Kiai Tapel membawakan nomor-nomor Kiai Kanjeng seperti Duh Gusti, Lir-lir, Hasbunallah, dan ditutup oleh Medley Nusantara. ***

Lihat juga

Back to top button