KARYA-KARYA TASAWUF TAJALLI NOVI BUDIANTO
Gong menggema tiga kali memenuhi ruangan tengah Pendhapa Art Space Yogyakarta. Alunan shalawat yang diiringi irama keroncong KiaiKanjeng menyusul perlahan. Yogyakarta sore itu, 19 November 2022, menjadi saksi Pameran Tunggal “Madhep Mantep” Novi Budianto resmi dibuka. Pameran ini menampilkan karya-karya lukisan salah satu pendiri KiaiKanjeng.
Mewakili keluarga besar KiaiKanjeng dan Progress Kadipiro, Pak Toto Rahardjo menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah nyengkuyung terselenggaranya pameran tunggal ini. Tidak lupa juga Pak Toto memberikan apresiasi kepada para hadirin yang telah menyempatkan datang menjadi saksi peristiwa penting bagi Pak Nevi.
Sebelum Pak Nevi memberikan sambutan, Mas Ganesh Satya mewakili pengelola Pendhapa Art Space mengungkapkan ketakjubannya pada karya-karya Pak Nevi. Menurutnya, Pak Nevi adalah salah satu perupa yang unik karena menggunakan media bolpoin dalam menggoreskan karyanya, tidak seperti perupa kebanyakan yang menggunakan cat air atau water color.
Produktif Setelah Pensiun
“Sebenarnya pada acara hari ini saya hanya sekadar berbagi rasa syukur kepada dunia kesenian, khususnya seni rupa,” ungkap Pak Nevi. Rasa bahagia nampak jelas dari wajah cerahnya saat menyampaikan beberapa patah kata di hadapan hadirin. Pak Nevi selanjutnya menceritakan proses kreatifnya di tengah kesibukan aktivitas bermusik bersama KiaiKanjeng.
Proses lahirnya karya-karya yang dipamerkan kali ini bermula sejak tiga tahun menjelang masa purna kerja. Di sela-sela mengajar Seni Budaya di SMP 6 Yogyakarta, Pak Nevi memanfaatkan waktu dengan “dolanan” bolpoin dan menggoreskannya pada kertas HVS. Hari demi hari satu persatu karyanya mulai beranak. Karya-karya yang dituangkan di kertas itu sempat dipamerkan 3 tahun yang lalu di Rumah Maiyah Kadipiro.
Pada masa pandemi, Pak Nevi mengaku didorong dan ditantang untuk menggoreskan bolpoinnya pada media lain, yaitu media kanvas, oleh salah satu sahabat dekatnya, Pak Vincensius Dwimawan. Proses panjang ketekunan dan kesetiaan berkreasi pun menghasilkan puluhan lukisan yang menakjubkan. “Kalau diam khawatir lholak lholok,” pungkasnya.
Menangkap yang Tidak Dipamerkan
Sebelum membuka resmi pameran ini, Mbah Nun mengajak hadirin untuk melihat lebih dalam agar tidak berhenti pada karya-karya yang dipamerkan. Dalam pandangannya, semua keindahan yang ada di dunia ini adalah pengejawantahan dan manifestasi Tuhan Yang Maha Indah, termasuk apa yang telah digoreskan oleh Pak Nevi.
“Niat saya datang ke sini adalah mensyukuri bahwa Tuhan menganugerahkan seorang Nevi kepada kita,” ungkap Mbah Nun. Beliau kemudian menyebut istilah tasawuf “tajalli” yang berarti ada kekuasaan Tuhan dalam diri seorang hamba. Kemudian Mbah Nun mengelaborasikannya sembari membagi kisah-kisah hidup Pak Nevi yang unik. Upaya ini dimaksudkan untuk melihat Pak Nevi secara utuh dan komprehensif.
Dalam kesempatan itu, hadir juga Pak Fajar Suharno, mentor Pak Nevi di teater Dinasti yang ia ikuti sejak tahun 1976, dan Maestro lukis Indonesia, Pak Nasirun. Setelah ketiganya, bersama Mbah Nun, membuka pameran secara resmi, hadirin dipersilakan melihat karya-karya yang dipamerkan di ruang sebelah.
Memperluas Gelombang
Setelah berkeliling di ruang pameran, hadirin diarahkan pindah ke ruang belakang untuk menyantap soto yang telah disediakan. Obrolan-obrolan kecil tercipta di sana. Acara nampak akan berakhir sore itu.
Tiba-tiba terdengar suara Mbah Nun yang mengajak hadirin untuk masuk lagi ke ruang tengah Pendhapa Art Space. Diskusi yang tak direncanakan itu digelar setelah beberapa orang, termasuk Mbah Nun, melihat karya Pak Nevi melebihi apa yang mereka duga sebelumnya, Mbah Nun juga mendorong bahwa pameran ini harus diperluas gelombangnya dalam rangka merayakan karya.
Pak Nasirun pun mengamini apa yang dirasakan Mbah Nun. Menurutnya, karya Pak Nevi secara teknis sudah mencapai titik maksimal. Yang membuat Pak Nasirun terkesima adalah Pak Nevi tidak serta merta mengadopsi seni modern mentah-mentah dalam karya-karyanya. Ia secara eksplisit mengusulkan karya Pak Nevi perlu diperluas dan diperpanjang dengan menggandeng anak-anak muda. Dengan kolaborasi tersebut, karyanya bisa diapresiasi generasi hari ini dan tidak hilang begitu saja setelah pameran.
Didapuk sebagai penutup, Pak Fajar Suharno yang sudah menginjak usia 75 maju perlahan ke hadapan hadirin menyampaikan rasa bahagianya, “hanya ada satu kata, dahsyat,” suaranya lantang. Beliau tidak banyak berkata-kata. Di akhir, Beliau mengajak hadirin untuk tetap setia menjaga kreativitas.