Allah Memerintahkan Kita untuk Berpikir

Catatan Acara Milad Ke-6 Paseban Majapahit, Pendopo Ponpes Segoro Agung, Sabtu, 10 Juni 2023

Rasanya masih terngiang cengkok indah suara almarhum mas Zainul Arifin tatkala sembilan tahun lalu memimpin shalawatan dari bumi Trowulan ini. Tempat yang juga tak asing bagi KiaiKanjeng maupun Mbah Nun.

Pada 2014, Mbah Nun, KiaiKanjeng, dan Jamaah Maiyah Nusantara menghelat acara kolosal Banawa Sekar di halaman Pendopo Agung Trowulan dengan melibatkan 1000 orang penari-gerak Rodat ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) dari Mojokerto dan Jombang. 

Ketika itu almarhum Mas Zainul Arifin, vokalis KiaiKanjeng asli Mojokerto, diminta Mbah Nun mengkoordinasi 1000 penari-gerak dari berbagai ranting ISHARI, dari menghimpun mereka hingga mengawal proses-proses latihannya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah yang hasilnya menambah magis malam Benawa Sekar. 

Malam ini, 10 Juni 2023, tatkala menyusuri pintu masuk makam Syaikh Jumadil Kubro Trowulan Mojokerto, suasana magis sembilan tahun lalu itu seolah-olah menyambut Mbah Nun dan KiaiKanjeng menuju pendopo ponpes Segoro Agung. Kali ini rombongan menghadiri syukuran teman-teman penggiat, jamaah, dan perwakilan simpul Maiyah dalam rangka Milad ke-6 Simpul Maiyah Paseban Majapahit Mojokerto dengan semangat “Ngramut Generasi Al-Mutahabbina Fillah.”

Jika dirunut ke belakang, seperti dikatakan Mas Huda penggiat Paseban Majapahit, berdirinya Simpul Maiyah Paseban Majapahit juga dilatarbelakangi oleh perhelatan Banawa Sekar. 

Tiba di lokasi sekitar pukul 19.15 WIB, Mbah Nun disambut para penggiat Paseban beserta Pak Bimo, pengasuh Ponpes Segoro Agung, di pendopo dalam komplek Ponpes. 

Lokasi Ponpes Segoro Agung ini berada di sisi barat komplek Makam Trowulan. Lokasi yang bertahun-tahun sejak Benawa Sekar sering menjadi tempat diselenggarakan Sinau Bareng. Untuk menuju ke lokasi, selain lewat gerbang makam, bisa juga melalui jalur gang atau jalan dari sebelah utara maupun selatan makam.

Suasana akrab berlangsung dalam ramah-tamah ini. Juga terlihat hidangan makanan khas Jawa Timur tersaji. Rawon, pecel, sate ayam, dan lain-lain. Mbah Nun menikmati makan malam di sini, walau beliau selalu makan sedikit dan seperlunya. Para santri Ponpes Segoro Agung duduk di situ, menunggu bisa salim kepada Mbah Nun. 

Acara inti Milad ke-6 Paseban Mojopahit adalah Tawashshulan dan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Sebelum dimulai Tawashshulan, menandai Milad ke-6 Paseban Mojopahit dilakukan prosesi potong tumpeng oleh penggiat Paseban dan dihaturan kepada Mbah Nun. Setelah itu, Mbah Nun menyapa para jamaah, mendoakan mereka, dan sebelum pembacaan Tawashshulan dimulai, jamaah diajak memahami apa itu Tawashshulan. Ini dilakukan karena Tawashshulan adalah tradisi baru di dan oleh Maiyah yang disusun oleh Mbah Nun. 

Redaksi kalimat di dalam beberapa bagian utama teks Tawashshulan disusun oleh Mbah Nun dan pada redaksi tersebut terdapat logika dan dunung tersendiri berkaitan dengan posisi dan hubungan kita dengan Allah, para malaikat, dan Kanjeng Nabi Muhammad. Misalnya, pada bagian “Salam Limalaikatillah” dan “Katur Dhumateng Kanjeng Nabi”, teksnya berbunyi ilallahir rahmanir rahim wal fattahi wal khalim Limalaikatillah hadhrati jibril… Atau redaksi yang sama juga dipakai ketika akan menghaturkan Al-Fatihah untuk Kanjeng Nabi, keseluruhan Nabi dan Rasul, para Wali, dst. Dengan redaksi ini, Mbah Nun ingin menegaskan tatkala membaca salam dan Al-Fatihah tadi tujuannya adalah Allah Swt. tetapi diperuntukkan kepada, misalnya, Kanjeng Nabi Muhammad, dst. sesuai yang disebut dalam teks. 

Malam ini, jamaah diajak nyicil memahami sisi-sisi baru pemahaman yang terkandung dalam Tawashshulan. Semua hadirin dan jamaah kemudian khusyuk dalam Tawashshulan bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Suara lantunan doa’, munajat, pilihan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan shalawat Nabi, teks utama Tawashshulan. Suara Mbah Nun, Mas Islamiyanto, Mas Imam, Mas Faqih, Mbak Nia, dan Mbak Yuli bergantian secara konstan membawa semua jamaah ke dalam semesta kekhusyukan. 

Gelombang spiritual lantas membimbing tangan-tangan jamaah membuka tutup botol air minum mereka, agar barokah dari doa dan nyuwun paring-paring kepada Allah Swt selama Tawashshulan tertuang menyatu ke dalam air putih tersebut untuk diminum mereka atau keluarga mereka, dan barokah dari Allah harapannya meliputi kehidupan mereka. Semua jamaah khusyuk tawadhu’ bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng ndepe-ndepe kepada Allah Swt. seraya gondelan jubah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. 

Usai Tawashshulan, adalah sesi Sinau Bareng dengan metode berbincang-bincang dengan Mbah Nun. Mentransisi dari kekhusyukan menuju suasana santai, Mbah Nun menanyakan kepada jamaah apakah selama Tawashshulan mereka capek atau pegel-pegel. Mereka menjawab: Tidak. Di shaf depan, seorang anak kecil ikut Tawashshulan dan tertidur. Mengingatkan teori di Maiyah bahwa tidur di Maiyah tidak apa-apa, karena anak itu punya roh yang walaupun dia tidur akan tetap merekam atmosfer Sinau Bareng yang kelak akan loading pada suatu hari. 

Setelah memberikan kesempatan kepada perwakilan Paseban Majapahit untuk memberikan sambutan dan pengantar, Mbah Nun membuka kesempatan kepada jamaah untuk bertanya. Pertanyaan pertama muncul dari salah seorang jamaah Maiyah yang mengemukakan pertanyaan tentang sanad Maiyah. Dia selama ini menikmati Maiyah dan memperoleh banyak ilmu dari Maiyah. Namun, ingin lebih bertanya lebih jauh tentang sanad Maiyah. 

Mbah Nun merespons dengan mengatakan tidak semua hal harus dikejar dengan pertanyaan sanad. Ia relevan ditanyakan dalam konteks akademis mempelajari hadits Nabi atau sejumlah disiplin ilmu lainnya. Dan ada ilmu yang metode datangnya bukan berkaitan dengan sanad, tetapi ilmu yang dianugerahkan langsung oleh Allah karena seseorang atau hamba itu mau berpikir dan berijtihad. Mbah Nun mengingatkan bahwa tidakkah Allah memerintahkan kita untuk berpikir. Artinya, dengan berpikir, seseorang bisa mendapatkan pemahaman atau interpretasi baru atas banyak hal, bahkan hal-hal baru yang bersifat mindset atau cara berpikir. 

Di Maiyah, sangat banyak cara-cara berpikir baru yang dikemukakan Mbah Nun dan itu merupakan buah dari pemikiran beliau, dari hal yang bersifat global tentang dunia, tentang tauhid, tentang memahami Al-Qur’an, kehidupan, pendidikan, sosial-politik, hingga soal sehari-hari yang praktis. Karena itu, jika jamaah Maiyah menikmati dan melihat dunia dengan cara-cara berpikir seperti diperkenalkan Mbah Nun, maka sesungguhnya mereka bersanad cara berpikir kepada Mbah Nun. 

Terasa sebenarnya Mbah Nun ingin mengingatkan bahwa ada jenis ilmu yang kita terima yang sifatnya berada dalam mata rantai sanad tetapi ada juga yang pada posisi tertentu kita mendapatkan ilmu dari orang yang pertama kali mengungkapkan katakanlah ”ilmu atau cara pandang baru”. Orang yang mengungkapkan cara pandang baru ini mendapatkan ilmu dari Allah melalui jalur yang dalam khasanah tasawuf disebut sebagai wahbiyah, yaitu sesuatu yang diberikan oleh Allah sebagai anugerah. 

Kiranya anugerah yang diberikan Allah itu merupakan respons dari ketekunan Mbah Nun dalam berpikir, bertadabbur, berijtihad, menginterpretasi, dan memikirkan keadaan masyarakat dalam berbagai konteks dan persoalan. Pemikiran atau cara-cara berpikir baru khas Mbah Nun tentu bukan sekali dua kali kita pernah mendengar orang mentestimonikannya. Ini merupakan salah satu indikator dari buah anugerah wahbiyah tadi. 

Namun, jika kita ikuti uraian-uraian Mbah Nun misalnya tentang shirathal mustaqim yang beliau artikan sebagai arah yang tepat, kita bisa merasakan bahwa selain menyadari cara-cara berpikir Maiyah sebagai anugerah dari Allah, concern beliau adalah ingin mengajak anak-anaknya cucunya untuk bergerak, melangkahkan kaki, beraktivitas, dan lain-lain dengan mengarahkan hati dan pikiran ke arah yang tepat, yaitu menuju Allah Swt., dengan gondelan syafaat Kanjeng Nabi Muhammad, serta berupaya menjalankan Islam seseakurat mungkin sebagaimana diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad. Maka, semua ilmu pada akhirnya harus berada dalam gelembung besar menuju arah yang tepat tadi. 

Itulah sebabnya, Mbah Nun malam ini kepada jamaah Maiyah Paseban Majapahit, bah Nun mereka untuk tidak salah bertujuan dalam bermaiyah. Maiyah bukanlah ormas, firqah, dan madzhab. Fokus Maiyah adalah manusia sebagai manusia, hamba Allah, dan khalifatullah. Mbah Nun mengatakan bahwa Maiyah adalah gerakan peradaban. Peradaban di sini dipahami sebagai akhlak yang berlaku dalam kurun waktu yang sangat panjang. Maiyah sebagai gerakan peradaban memulai dirinya dari gerakan peradaban pada diri masing-masing, keluarga, dan lingkaran terkecilnya. 

Itulah sedikit petikan ilmu yang disampaikan Mbah Nun dalam kesempatan Milad ke-6 Paseban Majapahit. Beliau masih menguraikan pandangan lain tentang setan dan malaikat, serta makna baru qadha dan qadar. Pukul 00.20 acara segera diakhiri dengan terlebih dahulu beberapa nomor lagu dihadirkan oleh KiaiKanjeng.[]

Lihat juga

Back to top button