MENGHITUNG DIRI

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Dualapanan Lampung Edisi Maret 2023) 

Penciptaan atas sesuatu tentu bukan tanpa sebab akibat dan tak memiliki tujuan di baliknya. Misal, seorang empu pande besi. Ia berkarya membuat beberapa pisau, arit, colok, parang, pedang atau belati tentu didasarkan kebutuhan dari si pemesan yang atas kegunaan benda tersebut.

Sama halnya dengan penciptaan manusia tentu bukan tanpa sebab sebagaimana yang diabadikan dalam surah Adz-Dzariyat: 56 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ    

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”  

Atau terdapat pula dalam surah Al-Mu’minun: 115

Lihat juga

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ  

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” 

Sudah final bahwa dalam setiap penciptaan terdapat misi yang diemban namun penciptaan Allah berbeda dengan apa yang dikaryakan oleh manusia dan tak sebanding dengan apa yang Allah perbuat. 

Pengkaryaan manusia secara bahasa akan mentok pada level transformasi yaitu output produk yang dihasilkan melalui proses transformasi dari bentuk yang satu menjadi bentuk yang lain, dan berakhir pada bertambahnya kadar fungsi dan berkurangnya kadar suatu komponen. 

Lain halnya dengan berbagai karya Allah. Dalam ayat di atas Allah menggunakan kata Kholaqo yaitu sebuah penciptaan entitas baru dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, dan dalam proses penciptaannya tidak menghilangkan komponen manapun. 

Sebagaimana maha karya Allah dalam penciptaan manusia yang digambarkan bahwa sungguh Allah dalam keadaan teramat sungguh, blas tidak ada unsur guyon sama sekali dalam penciptaan manusia, dapat kita pahami baik itu secara peran, secara takaran, simetris tak simetris dan juga tujuan nanti ketika kembali kepada-Nya. 

Apabila ditanya bagaimana parameter kesuksesan suatu ciptaan? Sebagaimana kesuksesan pisau tentu ketika ketajamannya dapat dimanfaatkan untuk mengiris dan memotong sesuatu, bahkan dalam level ketajaman yang lain mampu untuk membelah dengan sangat baik. 

Pun hal tersebut berlaku pada manusia, parameter kesuksesan dilekatkan pada bagaimana caranya menjalani hidup dan apakah hidup yang dijalani dilekatkan pada kesadaran “mendemokratisasi” Allah dalam seluruh proses kehidupan yaitu kesadaran dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah.

Kesadaran berasal dari Allah secara penciptaan, kesadaran oleh Allah secara pengelolaan dan penjaminan hidup lalu kemudian kesadaran untuk Allah yang titik utama fase pengembalian adalah Allah sebagai tujuan yang dalam ilmu Maiyah diilustrasikan dalam siklus kehidupan yang melingkar “Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un” kesungguhan hidup yang berasal dari-Nya dan bermuara pada-Nya. 

Siklus hidup melingkar tersebut pada prosesnya tidak dilaksanakan secara semau-mau, tanpa ada yang dijadikan rujukan. Allah sendiri menjadikan rujukan utama untuk para pencinta-Nya agar dapat dikatakan sukses dalam masa penciptaan tersebut ketika sudah dalam kondisi yang tepat apabila telah sesuai dengan rujukannya, yang dalam hal ini digambarkan “katakanlah Muhammad apabila kalian mencintai Allah maka ikutilah aku”, sebuah pakem yang telah Allah tetapkan saat menjalani hidup yaitu dengan mengikuti Rasulullah dengan meneladani sifat utama beliau, yang pada banyak kesempatan Simbah ngendiko pada anak cucu Maiyah yang ingin hidupnya sukses maka harus diinstall software sifat-sifat Nabi tersebut dalam kehidupannya dan proses install tersebut berlaku terus seiring bertambahnya usia dalam tiap fase yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. 

Fase pertama, Shiddiq. Dalam buku materi pembelajaran, yang terdapat pada pendidikan bangku sekolah selalu diajarkan bahwa sifat wajib Nabi yang pertama adalah shiddiq yang berarti jujur, dan tidak memiliki celah sehingga diakui oleh seluruh jazirah Arab saat itu. Namun dalam ilmu Maiyah shiddiq bukan hanya dimaknai sampai di sana melainkan diupayakan (adakah pembelajaran lain selain hal tersebut, output dari ta’dib) kata shiddiq yang juga memiliki kesamaan kata dasar dengan shodaqoh yaitu Shodaqo, Yashduqu, Shidqon yang bermakna benar, jujur, dan bersungguh-sungguh. 

Fase ini dianjurkan tiap manusia untuk mencontoh kesungguh-sungguhan Rasulullah dalam menjalani hidupnya yang pada akhirnya akan membuahkan kepercayaan kolektif oleh masyarakat yaitu fase amanah. 

Kedua, fase amanah. Kepercayaan kolektif yang sudah dibangun selama beberapa waktu menjadi mahfum di masyarakat sesuatu itu melekat padanya atau dalam bahasa bisnisnya telah menjadi brand personality seseorang tersebut, sehingga ketika masyarakat membutuhkan peran yang berkaitan tersebut tidak lain tidak bukan mencarinya. Misal ketika di masyarakat membutuhkan seseorang untuk memimpin Yasin Tahlil maka yang dipercaya Pak A. Atau ketika urusan yang berkaitan dengan rancang bangun, pagar besi atau sound system maka yang dicari adalah Pak B, atau ketika membutuhkan saran obat atau tindakan ketika mengalami kurang enak badan maka ke dokter ini dan lain sebagainya. 

Artinya, pada level amanah tersebut peran sosial yang diembannya merupakan akumulasi dari kesungguh-sungguhan masa lalu. Dan apabila diteruskan amanah tersebut maka ia akan membuahkan fase tabligh.

Fase ketiga, Tabligh. Yaitu kesempatan memperbesar dan meperluas skala manfaat di masyarakat berdasarkan kepercayaan untuk menangani sesuatu yang sudah melekat padanya. Bahkan apa yang diutarakan oleh beliau berkaitan bidang tersebut tak terbantahkan karena berlandaskan keahlian dan pengalaman. Masyarakat akan memberikan ruang khusus padanya seperti “pokoknya kalau mau mendalami hal ini temui bapak A pasti beliau mengerti dan bisa belajar padanya”. 

Jika ingin disimpulkan level ini berkaitan dengan kesempatan untuk mengelola hajat hidup orang banyak yang berkaitan dengan keahlian dan pengalamannya selama ini.

Fase keempat, Fathonah. Kemudian fase terakhir ketika semua aspek dan skala atas sesuatu tersebut telah melekat padamya maka tentu pengambilan keputusannya dapat seketika dilakukan. Contohnya seorang montir yang sudah ahli berpuluh tahun tak perlu lagi membongkar dan mengecek satu-satu tiap mesin untuk mencari masalah pada suatu kendaraan. Bahkan cukup mendengarkan melalui suara kendaraan ia sudah mengetahui letak masalahnya. 

Pemahaman ini merupakan insting yang telah terinstall pada dirinya yang dalam Islam banyak sebutannya menyesuaikan level kehambaan seseorang. Pada nabi dan rasul diberikan wahyu, pada wali disematkan karomah padanya, pada orang sholeh diberikan ma’unah.

Buah tersebut merupakan buah fathonah dalam siklus kehidupan yang panjang sebagaimana tauladan dari Rasulullah, sebagaimana buah yang baik tentu terdapat perawatan yang baik pula. 

Kehidupan terbaik yang dipenuhi dengan kewaspadaan dan kehati-hatian saja yang akan membuahkan manisnya kebaikan pula sebagaimana yang disampaikan Sayyidina Umar “Hitunglah dirimu sekalian sebelum dihitung”.

Dalam maiyahan bulan ini yang bertepatan milad ke-4 tahun Maiyah Dualapanan, Penggiat Maiyah Dualapanan mengajak para sedulur, anak cucu Maiyah, dan anak bangsa seluruh jamaah untuk menghitung diri akan peran yang selama ini telah dilakukan oleh Maiyah sebagai bekal kehidupan di dunia hingga akhirat dalam forum sinau bareng Maiyah Dualapanan yang dibersamai dengan Gamelan Lokananta dan 28an Band akan dilaksanakan pada tanggal 28 Maret pukul 20.00 WIB, di panggung terbuka halaman SMP SMA Al Husna Kompleks Ponpes Al-Muttaqien Pancasila Sakti Kemiling Bandar Lampung.

(Redaksi Maiyah Dualapanan)

Lihat juga

Back to top button