GURU BELIA SAYA BERNAMA MUHAMMAD
Kali ini saya meneruskan tulisan saya sebelumnya yang berjudul Bayu Adalah Guru Saya.
Sesudah berbincang bincang dengan ibunya Bayu, saya melangkah gontai menuju bed berikutnya. Suatu rutinitas pagi hari yang saya laksanakan sesudah acara laporan pagi pasien terselenggara.
Saya harus mentransformasi kondisi batin dan suasana hati agar tidak terbawa ketika saya ‘sowan’ kepada guru-guru saya yang lain. Persis di sampingnya saya lihat Muhammad yang masih terpasang selang infus sebagai jalan untuk masuk obat kankernya. Saya duduk di depannya sambil memperhatikan sang guru itu menghadap ke HP yang dipegangnya. Saya perhatikan terus, Muhammad kemudian sekelebat melihat ke saya, lalu saya menyapa.
“Piye cah bagus kabarmu?”
Muhammad hanya tersenyum saja. Dia memang tipe anak yang tidak banyak bicara. Saya lanjutkan sapaan saya sambil sedikit protes.
“Ahhh, Muhammad cuek deh….”
“Mosok aku ditinggal main HP!”
“Berarti kamu enggak ada keluhan?,” lanjut saya.
Muhammad sekali lagi melirik saya sambil tersenyum kecil lagi. Lalu ibunya nyeletuk,
“Itu (Muhammad) sedang menghapal Al-Qur’an, Dok….”
Seketika saya terbelalak, demikian juga para residen, perawat dan fellow yang mengelilingi Muhammad. Akhirnya saya geser duduk saya, kali ini lebih dekat lagi. Saya tertegun, seperti petinju yang kena hook kiri, kemudian lanjut kena upper cut.
“Hapal berapa ayat atau berapa surat?,” lanjut saya.
Muhammad hanya senyum malu, sambil ngelendot ke ibunya, sebagaimana anak umur 6 tahun yang kalau ditanya malu dalam menjawabnya.
“Baru 2 juz, Dok,” ibunya menimpali.
Kali ini bukan saya saja yang tercengang, tetapi semua yang ada di deket bed no 2 itu terbelalak. Sungguh ini di luar estimasi saya. Seorang Muhammad, yang menderita sakit yang tidak sekadar sakit gigi atau sakit kepala, tetapi sakit yang berat, sakit kanker atau tumor yang bersifat ganas, yang membutuhkan effort besar dalam rangka penyembuhannya. Ehh bagi seorang Muhammad, yang masih berumur 6 tahun, malah membuat ‘sakit’ bukan menjadi sesuatu yang berat. Bahkan ‘dikesampingkannya’ sesuatu yang berat itu. Malah dia lebih memprioritaskan menghapal Al-Qur’an sebagai sesuatu yang utama.
Saya tertunduk malu, mulut saya tercekam, melihat diri saya sendiri. Dibandingkan Muhammad yang masih berumur sangat belia, menderta sakit pula, dibandingkan saya yang sudah masuk usia senja. Lha paling banter kalo jadi imam sholat bacaan andalannya adalah Qulhu…, Qulhu… dan Qulhu terus.. (Al – Ikhlas).
Saya mensyukuri bahwa saya dipertemukan oleh Allah dengan guru-guru yang sangat hebat ini. Guru sejati di dalam kehidupan. Yang membutuhkan support yang sangat besar dari siapapaun yang bertanggung jawab atas rahmat penyakit ynag dideritanya.
Mulai dari deteksi dini, proses pemeriksaan awalnya di fasilitas kesehatan tingkat satu, kemudian ke tingkat dua dan seterusnya, di mana prosesnya sangat berliku, berjenjang, dan butuh waktu. Belum lagi fasilitas diagnostik yang belum standar (kata lain kalau tak boleh dibilang jauh dari standar) sehingga akurasi (ketepatan) diagnosisnya masih ada yang meleset. Belum lagi kalau sudah ketemu diagnosis penyakitnya obatnya sangat terbatas bahkan kadang tidak tersedia. Kalaupun tersedia kadang tidak terjamin kontinuitasnya.
Kita memang punya penduduk yang sangat besar dengan luas wilayah yang sangat luas. Kalau nenek moyang kita menyebut negara yang ‘gemah ripah loh jinawi’, ini memang betul, negara yang kaya dengan aneka tambang, minyak, emas, batubara, nikel, besi dan banyak lagi.
Inilah yang kita hadapi.
Di lain pihak saya menghadapi kondisi yang boleh dibilang jauh dari ideal. Bayu, Muhammad, Noureen, Aldi, dan anak-anak yang lain, yang juga berhak atas kekayaan alam yang ada ini. Tetapi kenyataan memang berbeda.
Maka kepada siapa kita berserah diri dan pasrah?
Allah menunjukkan jawabannya atas kondisi antagonis ini. Pasien saya yang bernama Muhammad, diangkat menjadi guru saya. Maka bergurulah kepada Muhammad. []
NH174