MENAKAR RUANG AJAR

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi November 2024)

Mbah Nun di dalam buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya” pada judul: Apa Ada Angin di Jakarta, menanyakan beberapa hal yang menurut kami masih relate dengan keadaan sekarang.

Di dalam tulisan tersebut Mbah Nun mempertanyakan, apakah desa adalah udara permai daun-daun yang hijau, dan kota adalah tiang-tiang listrik yang kering, kebisingan suara serta kehidupan yang pengap? Apakah desa perlambang dari sejuk damai kehidupan, dan kota adalah ekspresi dari kekerasan, kekejaman dan kekeringan kebudayaan?

Mbah Nun mengutip puisi gurunya, Umbu Landu Paranggi, untuk membaca keadaan pada saat itu dan perenungan sikap Umbu.

Apa ada angin di Jakarta

Seperti di lepas desa Melati

Lihat juga

Apa cintaku bisa lagi cari

Akar bukit Wonosari

 

Yang diam di dasar jiwaku

Terlempar jauh ke sudut kota

Kenangkanlah juga yang celaka

Orang usiran kota raya

 

Pulanglah ke desa

Membangun esok hari

Kembali ke huma berhati

 

Mbah Nun mereflesikan puisi Umbu yang mengalami kelahiran keduanya di kota Jakarta. Tapi, Umbu memilih menoleh ke kampung halamannya. Umbu mempertanyakan apa ada angin di Jakarta? Angin adalah nafas hidup, harapan, keceriaan masa depan, jaminan kebahagiaan. Bisakah Jakarta sebagai lambang paling tajam dari sebuah kota urban menawarkan itu semua? Seperti yang Umbu gambarkan sebagai desa Melati.

Desa sebagai fenomena kultur. Setidaknya lebih murni dan lebih ‘diri kita sendiri’. Umbu memilih desa Melati karena punya imajinasi dan nuansa yang harum dan karib di batin manusia. Yang merangsang cinta. Apakah cinta Umbu bisa menemukan akar bukit Wonosari. Tentu Umbu memaksudkan akar tidak sekedar akar pepohonan melainkan lebih ke pengertian kebudayaan. Bisakah Jakarta simbol kota, memiliki akar Wonosari. Ialah sumber penyerap kehidupan yang benar-benar menumbuhkan kebudayaan manusia seperti yang didambakan oleh setiap cita-cita peradaban.

Umbu berharap kota mampu menyediakan kekasih bagi cinta kemanusiaan yang sesungguhnya. Cinta senantiasa ada dan bertumbuh di mana pun manusia berada. Tetapi, bisakah sebuah lingkungan menjawab hasratnya?

Kami mencoba membawa roh puisi atau lagu karya Guru Umbu tersebut ke ranah dunia pendidikan kita. Seperti yang semakin sering kita dengar, kian banyak orang tua atau wali murid yang memperkarakan atau memanjangkan persoalan tindakan guru kepada anaknya.

Guru melakukan tindakan fisik atau perilaku lain yang di waktu-waktu sebelumnya adalah hal biasa dalam suasana pembelajaran di sekolah, menjadi ajang unjuk gigi orangtua atau wali mendemonstrasikan posisi, kuasa dan status sosialnya. Atas tindakan para guru itu, mereka melakukan penuntutan secara hukum.

Yang lebih menyedihkan, tuntutan ini disertai desakan ganti rugi secara material. Fenomena apalagi ini? Para orangtua tersebut mendapat kesempatan mendapat rejeki nomplok dari “derita” yang disandang anaknya akibat perlakuan para guru.

Tim Tema akhir-akhir ini menggelisahkan banyaknya kasus guru yang banyak dilaporkan wali murid karena dinilai melakukan tindak kekerasan kepada muridnya. Kalau kita pandang pada sisi guru, terutama guru honorer yang gajinya sedikit tapi tanggung jawabnya besar karena harus mampu mengantarkan anak didiknya mengenali dan menggali potensi dirinya melalui sekolahan. Sedangkan mungkin saja sang guru banyak dihadapkan dengan murid yang bandel atau kurang bisa menghormati marwah gurunya, sehingga gurunya melakukan tindakan yang dinilai kekerasan.

Sedangkan kalau kita pandang dari sisi murid dan wali murid yang berharap kepada guru agar murid tersebut bisa menemukan apa yang ia cita-citakan, malah mengalami tindak kekerasan. Apakah memang cara pendekatan dan respons guru kepada murid yang bandel itu salah?

Atau benar dari apa yang digelisahkan Umbu pada puisinya, pada keadaan sekarang ini tidak mampu menyediakan kekasih bagi cinta kemanusiaan yang sesungguhnya. Sehingga cinta tidak hadir pada kondisi sekarang ini. Serta tidak bertumbuh di dalam hati masing-masing dari guru dan murid atau di antara kita semua. Sehingga yang terjadi adalah respons kesalahpahaman dan tidak ada yang mau mengalah.

Kenapa tidak kita cicil saja membangun lingkungan yang bisa menjawab hasrat sebuah cinta kemanusiaan yang sesungguhnya. Kita mulai belajar dan menelusuri kembali Huma Berhati. Kembali ke rumah hati kita. Supaya lahirlah cinta yang sesungguhnya di tengah keringnya kota yang terkenal keras, kejam dan kering kebudayaannya. Tentu yang akan kita bahas bukan dikotomi antara desa dengan kota. Tapi sikap dan pola ekspresi kita hidup di zaman super canggih artificial inteligence sekarang ini, agar tidak melupakan rumah hatinya, tempat di mana tumbunya cinta kemanusiaan yang sesungguhnya.

Bagaimana caranya? Mari kita bahas pada majelis ilmu Bangbang Wetan edisi November 2024 nanti malam di Stikosa AWS.

(Redaksi Bangbang Wetan)

Lihat juga

Back to top button