TUJUH PULUH SATU: JALAN SUNYI, KERINDUAN INI
Kebaikan itu menular. Contoh sederhananya mungkin acap terjadi di sekitar kehidupan kita. Seorang suami pulang kerja, sesampainya di rumah ia memberi amplop (yang berisi uang) kepada sang istri lalu memintanya untuk membuatkan kopi. Tak berselang lama, secangkir kopi disajikan di atas meja. Lengkap dengan kudapan pisang goreng, emping, dan kacang rebus. Padahal yang diminta hanya kopi, tetapi sang istri memberi suguhan yang lebih. Meski tanpa diminta. Mungkin itu yang dinamakan cinta. Kebaikan dibalas kebaikan. Dan kebaikan itu menular.
Di momen milad gurunda tercinta Mbah Emha Ainun Nadjib ke-71 tahun, saya hanya ingin banyak bersyukur seraya menghaturkan sembah nuwun. Terima kasih kepada orang-orang yang telah hadir dan berjasa dalam episode kehidupan yang saya jalani. Melalui wasilah Maiyah (dan tentu saja figur Mbah Nun), saya dipertemukan dengan orang-orang baik, dan diajarkan hal-hal kebaikan. Dan benar, kebaikan itu menular. Lewat sirkel Maiyah, relasi saya semakin luas bahkan lintas batas.
Flashback belasan tahun lalu.
Awal melingkar di Kenduri Cinta, saya dipertemukan dengan Mas Baim. Seingat saya, beliau koordinator utama KC. Seorang pribadi yang lembut, ulet, kooperatif, dan merangkul. Seturut persentuhan dengan Mas Baim di KC, saya belajar bagaimana mengelola sebuah forum. Belajar menjadi manusia di belakang layar. Belajar tentang peran, tugas, dan tanggung jawab. Melalui akses Mas Baim pula, saya berkesempatan belajar menulis opini dan reportase di website Kenduri Cinta. Sampai suatu ketika, saya diberi ruang untuk tampil di panggung KC membacakan puisi sendiri dan karya-karya Mbah Nun. Bahkan disaksikan langsung oleh beliau. Itu menjadi pengalaman mahal, tak terlupakan.
Dari Mas Baim, kemudian saya mengenal para penggiat KC. Ada Mas Fahmi, Mas Tri, Mas Gandhie, Mas Munzir Masjid, Mas Beben, dan Mbak Inna Kamarie. Di forum KC, saya juga bisa bertatap muka langsung dengan Presiden penyair Sutardji Calzoum Bahri, penulis lagu religi Sajadah Panjang (Bimbo) Taufik Ismail, serta guru sekaligus pelaku tasawuf Dr. Syekh Nursamad Kamba. Di depan beliau-beliau ini saya merasa seperti manusia paling bodoh sedunia. Awam. Dan berlumur kotoran.
Di KC pula, diperjumpakan saya dengan Bang Dik Doank, Mbah Sudjiwo Tejo, dan tentu saja guru alim nan humoris Romo Yai Noor Shofa Thohir. Beberapa kali saya sempat berkunjung ke KJD (Kandank Kurank Doank) kediaman Bang Dik. Dan sekali bersilaturahmi ke rumah Yai Noor Shofa Thohir di wilayah Semper, Jakut. Rasanya itu semua tidak mungkin saya alami, jika tidak diperjalankan Tuhan melalui pintu Maiyah.
***
Bergeser ke Yogya. Forum Pitulasan Mocopat Syafaat. Melalui MS, akhirnya saya bisa bertemu dengan orang-orang terdekat Mbah Nun. Mulai dari Bu Roh (pengelola perpustakaan EAN di Kadipiro), Romo Iman Budhi Santosa, Pak Toto Rahardjo, Pak Mustofa W Hasyim, Yai Muzzamil, Pakde-pakde Kiai Kanjeng, Letto bersama Mas Sabrang, Cak Zakki, Mas Ale, serta tim redaksi caknun.com.
Dari para beliau, kita sekalian ngangsu kawruh. Bu Roh mengajarkan tentang pengabdian dan kesetiaan. Romo Iman adalah teladan laku dan lelaku istiqomah pada satu bidang yang digeluti. Sehingga mumpuni menjadi ahli. Pak Toto adalah seorang pendobrak tulen. Inovator pendidikan. Dengan keberanian dan idealismenya, beliau mendirikan SALAM. Sekolah/ sanggar belajar yang berbasis alam dan sesuai minat-bakat anak. Kalau saat ini pemerintah tengah gembar gembor tentang kurikulum merdeka, maka Pak Toto adalah salah satu pionirnya. Jangan salah sangka kepada Pak Mustofa. Beliau ini seorang Muhammadiyah yang sufi. Zuhud terhadap dunia. Prinsip hidupnya ialah jujur dalam hidup. Dan sesekali menertawakan hidup. Panjang umur, nggih Pak Mus. Serta almarhum Yai Muzzamil yang senantiasa mengingatkan kita para jamaah untuk terus melibatkan Allah dan Rasulullah dalam hal apa pun. Apa saja yang terjadi dalam realitas sehari-hari mesti dihikmahi sebagai sunnatullah. Takdir-Nya Allah. Yang mengandung qada dan qadar-Nya.
Dari KiaiKanjeng kita belajar apa? Sederhana tapi mendalam. Dedikasi dan cinta. Itulah bahan bakar dan spirit yang melanggengkan perjalanan mereka (KiaiKanjeng) sejak dulu hingga sekarang. Ribuan titik disinggahi. Milyaran manusia disapa, ditemani, dihibur hatinya. Tanpa pamrih. Walau letih. Musik dan manusia KiaiKanjeng adalah simbol samudera yang menampung dan mewadahi apa saja. Serupa harmoni. Orkestra sejati.
Lalu Letto bagaimana? Letto telah mempersembahkan keindahan, kecerdasan, sekaligus daya kritis. Lewat lagu, Mas Sabrang dkk merangsang seluruh indera kita untuk mendengar, mengamati, meraba, merasa. Memikirkan, menalar, mempertimbangkan, mengolahnya. Tidak ada lagu Letto yang tidak mengajak kita untuk berimajinasi, berefleksi, syahdan berkontemplasi. Lagu di dalam album-album Letto menjadi bukti kekayaan bahasa (kata-kata), keindahan nada, hingga kedalaman makna. Tidak percaya? Silakan menikmati dan menyelami nomor lagu Letto, dan kita akan tenggelam larut di dalamnya. Karya-karya Letto berikut pemikiran Mas Sabrang baiknya mesti ditulis secara khusus dan rinci. InsyaAllah next ya…
Berwajah sangar, dan tak banyak cakap. Namun tandang gawe. Itulah sosok Cak Zakki. Patok Maiyah. Orang yang berdiri paling depan. Sebagai benteng. Tameng. Tidak ada yang lebih berat melebihi beban pundaknya Cak Zakki. Sehat dan kuat nggih, Cak! Jangan lupakan pula Mas Ale. Orang yang selalu stand by di sisi Mbah Nun. Mengawal, menggandeng, dan membukakan jalan bagi langkah Mbah Nun. Mas Ale adalah orang pertama yang memastikan keamanan dan kenyamanan Simbah. Dan itu bukan pekerjaan mudah. Dari beliau berdua kita belajar tentang etos disiplin.
Lantas siapa saja tim redaksi caknun.com? Adalah Mas Harianto, Mas Helmi, dan Mas Jamal Jufrie. Ini komposisi dulu. Mas Har ialah seorang moderator ulung. Ia cakap berinteraksi dengan jamaah/ audiens. Juga terampil membuat suasana forum menjadi hangat, gerrr, dan cair. Pembawaannya bernas sekaligus jenaka. Setiap kali beliau memaparkan sesuatu selalu diselipi dengan jokes yang sarat mengundang tawa. Itulah gaya khas beliau. Lalu Mas Helmi. Beliau redaktur yang sangat teliti, cermat, kaya perspektif, dan tidak buru-buru. Mas Helmi selalu punya sudut pandang menarik yang kebanyakan orang tidak memikirkannya. Khususnya terkait tulisan. Tulisan saya berkali-kali dikoreksi oleh beliau. Baik judul, isi, sampai esensi. Berkat input dan wawasan dari Mas Helmi, tulisan-tulisan (artikel, esai, opini, reportase) yang tayang di caknun.com, MaiyahID, maupun buku-buku yang disusun dan diedit oleh beliau selalu terasa segar, otentik, informatif—-edukatif.
Selanjutnya Mas Jamal. Beliau ini seorang akademisi, traveller, cum peneliti. Kalau tidak salah, saat ini beliau sedang berada di USA menemani sang istri yang tengah menempuh pendidikan S3 di sana. Oh ya, Mas Jamal ini sangat hobi jalan-jalan. Dan setiap perjalanannya ke pelbagai negara selalu diabadikan lewat gambar dan tulisan. Membaca catatan tulisan Mas Jamal di caknun.com, kita semacam diajak jalan-jalan online sembari mengais nilai dan hikmah di dalamnya. Beliau bertiga (Har, Helmi, Jamal) mengajari kita, khususnya saya untuk tekun membaca (iqra), mencatat/ menulis (qolam), dan meng-implementasi-kannya.
***
Bergeser ke timur. Menuju Padhangmbulan. Pertama kali menginjakkan kaki di tanah Menturo, Sumobito, Jombang, yakni pada 2016 silam. Saya beserta rombongan Jamaah Maiyah Gemolong menghadiri acara bertajuk; “Ihtifal Maiyah”, mensyukuri 63 tahun Mbah Nun. Hadir ke Jombang, tanah kelahiran Mbah Nun menambah pundi pengetahuan saya tentang silsilah keluarga besar Menturo. Dapat bermuwajahah dengan Cak Fuad, Cak Mif, Cak Nas, Cak Dil, Lik Ham, Mas Syaiful, dll. Juga menziarahi leluhur Menturo, Mbah Muhammad (Ayahanda) dan Ibu Halimah (Ibunda Mbah Nun). Mbah Fuad bersama 15 saudaranya adalah tulang punggung Maiyah. Dan Padhangmbulan menjadi ibu kandung bagi majelis, forum, simpul, dan lingkar Maiyah yang tersebar di penjuru negeri. Dari Bani Muhammad, kita sinau tentang indahnya paseduluran, mengasihi, dan mengayomi sesama. Dari Mbah Fuad (berikut adik-adiknya) kita belajar tentang kesalehan, kesahajaan, kedermawanan, jiwa ngemong, serta istiqomah merawat ikatan silaturahmi.
Dulu, dulu sekali, di masa kecil saya, satu-satunya hiburan yang ada di rumah hanyalah radio. Radio merupakan barang mewah. Lewat radio, kami menyetel berita, lagu klenengan, dangdut, pop, hingga campur sari. Tak ketinggalan di malam hari memutar wayang semalam suntuk, ketoprak, hingga ludruk. Ludruk merupakan seni tradisional Jawa Timuran yang sangat kocak dan menghibur. Segala kompleksitas kehidupan sehari-hari ditampilkan melalui gerak tari, musik, dan komedi.
Setelah ribuan purnama, untuk kali pertama saya menyaksikan ludruk ya di Majelis Padhangmbulan, Jombang. Di situlah akhirnya saya bisa melihat dan mendengar secara live pentas ludruk yang dimainkan oleh sang maestro Cak Kartolo dan rekan. Sumpah menggemaskan. Membikin tawa terpingkal-pingkal. Cak Kartolo is legend.
***
Sungguh saya tidak mampu bayangkan, andai tak diperjalankan Tuhan bergaul dengan Maiyah—-bersentuhan dengan Simbah. Hampir mustahil saya bisa bertemu dengan orang-orang saleh, figur hebat, tokoh mahsyur, Jamaah Maiyah Nusantara, yang banyak memberikan pelajaran berharga dan warna warni bagi hidup saya. Itu adalah pengalaman mewah dan megah. Bagi saya, mereka dapat berperan sebagai sahabat, saudara, orang tua, dan guru. Teladan dan pandu. Dan itu berlangsung dalam lingkaran besar bernama Maiyah. Pada intinya, semakin banyak melakukan perjalanan, semakin banyak berinteraksi dengan orang-orang, membuat kita mawas hati dan bisa menempatkan diri.
Dan sebentar lagi (27 Mei 2024), Mbah Nun menjajaki usia 71 tahun. Nyaris satu tahun lalu, terakhir kali menjumpai beliau di acara #SastraEmha edisi Juni 2023. Sampai kini belum bersua lagi. Benar kata orang bijak, rindu itu berat. Dan saya tidak kuat. Hari demi hari, malam demi malam, minggu berganti bulan, dan berbulan-bulan kami menahan rindu. Rindu suara lantang itu, rindu wajah teduh itu, rindu senyum, tawa, canda itu, rindu jabatan dan dekapan hangat tubuh itu. Saat ini yang ada hanya rindu, rindu, dan rindu. Mungkin rindu kami anak-cucu ini sebagaimana rindu yang dialami Mbah Nun dulu kepada Sang Mahaguru (Umbu Landu Paranggi). Rindu yang begitu dalam, berlarut-larut, getir, nan pilu. Rindu yang Simbah tumpahkan dalam syair puisi sendu.
Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendendangkan lagu bisu, sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Cinta yang tak ‘kan kutemukan bentuknya
Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak-detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu
Kuanyam hari dan malam dalam nyanyian
Kurajut waktu dengan darah berlaut-laut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut
(Jalan Sunyi, 1991-1994)
Jika rindu tertunda waktu, atau tak berjodoh dengan temu, biarkanlah kami menempuh jalan sunyi. Menikmati kerinduan ini.
Mbah Nun, sugeng rahayu. Sesekali bertamulah, temui kami di ruang rindu.
Gemolong, 23 Mei 2024