WASPADA SEJATI
(Mukaddimah Ma'syar Mahamanikam Samarinda Kaltim 20 November 2022)
Dinamika kehidupan selalu berselimut waspada. Setiap manusia, sejak lahir hingga dikebumikan memperoleh dan melakukan kewaspadaan terhadap apapun. Kewaspadaan terhadap area kehidupan masing-masing membuat manusia memiliki kebudayaan terukur. Untuk apa yang boleh dan tidak, baik dan buruk, bagus dan tidak bagus, harus dan jangan dilakukan. Kewaspadaan ini juga berlaku pada sosial masyarakat hingga lahir kesepakatan dalam organisasi, perserikatan, hingga negara.
Lebih luas, waspada tidak bisa dilepaskan dari berkehidupan semua makhluk alam semesta termasuk tumbuhan dan hewan menjalankan kewaspadaan dalam lingkup sunnatullah. Padanya tidak peru ada kesepakatan bersama, seperti kewaspadaan manusia yang kompleks. Pada khazanah alam semesta tidak akan ada manipulasi. Sementara manusia hidup pada koridor kehidupan horisontal sekaligus vertikal. Untuk itu perlu pemagaran dengan kesadaran waspadanya. Dalam kehidupan, manusia dianugerahi akal, hati, dan imajinasi ditambah peresmian dari Allah sebagai khalifah-Nya di muka bumi, bersifat dinamis dan penuh kreativitas dan perubahan-perubahan sehingga memungkinkan adanya manipulasi. Dalam menjalani sunatullah kevertikalannya, manusia harus terus terhubung dengan Tuhan. Kualitas keterhubungan dengan Tuhan menentukan perilaku waspada pada koridor horizontalnya.
Kompleksnya kehidupan manusia memerlukan dimensi atau semesta kesadaran waspada yang luas. Waspada yang sejati. Dalam Islam kita kenal budaya takwa. Yaitu selalu dalam kesadaran mengingat bahwa kehidupan ini berjalan atas kuasa Tuhan yang memang Tuhan, yang layak di-Tuhankan, yang tunggal, Allah Swt. Jika kesadaran ini tidak penuh, maka terjadi fenomena yang dikenal sebagai kufur, syirik, dan kemunafikan.
Demi menjaga kesadaran penuh, telah Allah wahyukan formula, kiat-kiat, proses, komposisi, dan bahan-bahannya kepada manusia melalui Jibril. Dan teraplikasi secara lengkap pada perkataan dan perbuatan Rasulullah sebagai seorang prima-jenius yang tak ada tandingannya. Wujudnya berupa rukun Islam dan rukun Iman. Namun manusia abad ke-21 terus mengalami penurunan kemampuan merumuskan dan menyepakatinya.
Kiranya perlu kembali kepada waspada sejati. Menangkal manipulasi yang berada di sekitar kita selama dua puluh empat jam penuh. Hingga menempatkan dengat tepat yang memang layak untuk disembah, ditaati, didukung, dibela, diperjuangkan. Dilakukan dengan hati-hati (takwa). Seperti sedang berjalan kita perlu alas kaki untuk menghindari terinjak duri. Dijiwai dengan waspada. Seperti sebelum makan perlu mencuci tangan, memastikan bersih alat makan dan memasak, berpengetahuan tentang manfaat, cara memasak, dan bagaimana bahan masakan diperoleh. Dengan jiwa diisi kesejatian bahwa makhluk adalah yang menyembah bukan disembah. Kembali pada hakikat tidak ada hak makhluk menilai sesama makhluk apalagi sampai pada melebeli sesama makhluk kecuali Tuhan sendiri yang berkenan memberikan kelapangan hati hingga dengan sangat terukur seperti Rasulullah melebelkan lebel tertentu ke sebuah subjek. (Redaksi Mahamanikam)