UPACARA BESAR PROKLAMASI NUSANTARA

(Sinau Bareng di Lapangan Perumahan Bumi Mojopahit Asri, Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Mojokerto, 5 November 2022)

PROKLAMASI NUSANTARA

  1. PUNCAK KESADARAN NUSANTARA MENEMUKAN DAN MENYATAKAN BAHWA SELURUH PENDUDUK BUMI ADALAH SATU UMMAT DI DUNIA, DAN BANGSA NUSANTARA ADALAH BAGIAN YANG SEIMBANG DAN AKTIF DARI KESATUAN ITU.
  2. BANGSA NUSANTARA MULAI HARI INI BERJUANG UNTUK MENJUNJUNG KESATUAN SATU UMMAT MANUSIA, MEMPERINDAH KEHIDUPAN DUNIA SERTA SALING MENYEJAHTERAKAN BERSAMA SATU UMMAT MANUSIA DI BUMI.
  3. BAHWA SATU UMMAT NUSANTARA MENYATU DAN BERGANDENG TANGAN DENGAN SELURUH UMMAT MANUSIA DI BUMI UNTUK SALING MENGHORMATI,  MENYAYANGI, MELINDUNGI DAN MENYEJAHTERAKAN DI DALAM KESATUAN ITU.

5 November 2022

Masyarakat Maiyah Nusantara

***

Ya. Ada Upacara besar di Maiyahan Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Bumi Mojopahit Asri, Sabtu, 5 November 2022 lalu. Sebagaimana Maiyahan yang selama ini kita ikuti secara langsung, hampir pasti Sinau Bareng ini tersajikan lengkap dengan kejutan-kejutannya. Malam itu, tanpa kita sadari sebelumnya, sebenarnya kita sedang menghadiri dan ikut menjadi bagian dalam sebuah upacara besar.

Proklamasi Nusantara dan Umat yang Satu

Mengapa upacara besar? Betapa tidak, pada momentum Maiyahan di Mojokerto itu terjadi pembacaan Proklamasi Nusantara.  Sebuah proklamasi tidak pernah menjadi sesuatu yang kecil, mungil, mini, apalagi kerdil. Ia pasti dilatarbelakangi oleh sebuah konsep besar, apalagi yang ini nyata-nyata lahir sosok Mbah Nun.

Kami semua turut membacakan butir demi butir dalam proklamasi itu satu persatu mengikuti pembacaan yang lantang di atas panggung. Setelah pembacaan Proklamasi Nusantara, lagu Indonesia Raya berkumandang dengan megah dan gagah dinyanyikan bersama oleh seluruh jamaah yang dengan kompak berdiri. Tak sedikit yang menitikkan air mata haru.

Pembacaan Proklamasi Nusantara ini bukanlah pernyataan untuk membuat sebuah negara, sebab hal ini bukan bicara tentang hardware, jasadiah, ataupun jasmaniah. Pembacaraan Proklamasi Nusantara ini sesungguhnya merupakan sebuah dimensi ruhaniah, cara berpikir dan cara bersikap batin sebagai perwujudan syahadat anak-anak Maiyah kepada Allah. Anak-anak Maiyah yang menyatakan taat kepada Allah atas ayat Al Qur’an yaitu Al Baqarah ayat 213 dan Ali Imron ayat 103.

“Kaanannaasu umatan waahidah”

Manusia itu umat yang satu.

Al Baqarah: 213.

“Wa’tashimu bihablillahi jami’an wa la tafarroqu”

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah membuat firqah-firqah (golongan-golongan).

Ali Imron: 103.

Mbah Nun berkali-kali menyatakan kembali bahwa manusia adalah umat yang satu, dengan pemimpinnya yaitu Kanjeng Nabi Rasulullah Saw, yang merupakan pemimpin untuk semua makhluk, bukan pemimpin umat Islam saja. Berangkat dari ayat itu, Mbah Nun mengajak seluruh yang hadir untuk berlaku seperti Rasulullah di mana yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi adalah menghapus firqah-firqah.

Maiyah adalah sebuah contoh nyata “Kaannaansu umatan waahidah”, di mana di Maiyah bisa berjalan dengan tertib, bahagia, gembira, bersama-sama, bahkan sampai jam berapa pun usainya acara. Di dalamnya tidak ada keributan, bahkan tidak ada masalah dengan hadirin lelaki dan perempuan yang tempatnya berbaur. Maiyah bukan golongan, ormas, maupun aliran Islam (seperti Sunni atau Syiah). Maiyah adalah sebuah peran yang menaati Allah untuk menyatukan semua makhluk-Nya. 

Sebagaimana Mbah Nun mengambil secara empirik falsafah Jawa yang bersedia menggendong, menyangga, menjunjung, memikul, memangku dan mempersatukan umat manusia (bukan umat Islam saja), Indonesia kelak di kemudian hari adalah Indonesia yang akan menggendong seluruh dunia. Nusantaralah yang akan mengambil peran itu. Inilah sesungguhnya semangat agung dari Proklamasi Nusantara yang dilaksanakan pada Sabtu, 5 November 2022 itu. 

Keris Kyai Sengkelat dan Keris Kyai Condong Roso

Mengapa upacara besar? Sebab pada rangkaian pembacaan Proklamasi Nusantara itu, pada saat dinyanyikan bersama lagu Syukur karya Husein Muttahar, ada dua bilah keris pusaka Majapahit yang menjadi saksi. Dua bilah keris digenggam tegak ke udara, yaitu Keris Kyai Sengkelat dan keris Kyai Condong Roso yang masing-masing dibawa oleh Pak Muhamad dan Pakde Mustofa, sahabat-sahabat Mbah Nun. 

Keris Kyai Sengkelat memiliki luk tiga belas, dan karena warnanya kemerahan, maka keris tersebut dinamakan Keris Kyai Sengkelat (bersemu merah). Mbah Nun mengungkapkan bahwa dahulu, Kerajaan Majapahit, memiliki seorang Mpu pengrajin keris yang bernama Mpu Supa (Mpu Supo). Mpu Supa memiliki anak bernama Mpu Supa Anom. Mpu Supa adalah salah satu murid Sunan Kalijaga. Keris Kyai Sengkelat adalah pusaka Kerajaan Majapahit, yang proses pembuatannya dibidani dan dipamori oleh Mpu Supa. Mbah Nun mengisahkan, singkat cerita keris ini dicuri dari Kerajaan Majapahit oleh Prabu Minakjingga dari Blambangan, dibawa ke Blambangan, Banyuwangi. 

Melihat hal tersebut, Sunan Kalijaga tidak tinggal diam, beliau memerintahkan putra Kyai Supa, yaitu Kyai Supa Anom untuk membuat keris tiruannya. Keris tiruan tersebut ditinggal di Blambangan, dan keris Kyai Sengkelat yang asli tetep kembali ke Majapahit. Adalah Pak Muhammad, sahabat Mbah Nun dari Sidoarjo, yang diizinkan Allah untuk mendapatkan kembali Keris Kyai Sengkelat tersebut. Keris Kyai Sengkelat ini adalah milik semua masyarakat Mojokerto, tandas Mbah Nun.

Sedangkan Keris Kyai Condong Roso, menurut Pak Muhammad, memiliki peran yang sangat dekat dengan Raden Wijaya pada saat menentukan di mana lokasi dan posisi pusat pemerintahan Majapahit. Dengan keris Kyai Condong Roso tersebut, Raden Wijaya mengikuti kemana arah ‘condong’-nya Sang Keris, yang akhirnya tertancap di tanah yang bernama Majapahit. Tanah yang dinamakan demikian karena di tempat itu terdapat pohon Maja yang buahnya memiliki rasa pahit. 

Pak Muhammad menambahkan bahwa sebaiknya anak-anak muda zaman sekarang memahami bahwa tanah Jawa adalah tetesane surganing Jagad (tetesan surga jagat raya). Sehingga dengan demikian, generasi muda memiliki kepercayaan diri yang kuat dan kebanggan menjadi dan sebagai orang Jawa, sehingga tidak kehilangan identitasnya. Wong Jowo ojo ilang Jawane (orang Jawa jangan sampai kehilangan ke-Jawa-annya). Ini sesungguhnya adalah ungkapan keprihatinan di mana anak muda zaman sekarang mulai terindikasi tidak mengenal akar budaya dan leluhurnya.

Pak Muhammad, yang diminta untuk membawakan dua bilah keris pusaka Majapahit yang melegenda, yaitu Keris Kyai Sengkelat dan Keris Kyai Condong Roso pada acara Maiyahan di Mojokerto ini dari Sidoarjo memungkasi kisahnya tentang Keris Kyai Condong Roso dengan sebuah doa, mudah-mudahan perkumpulan yang terjadi malam itu menjadi silaturahmi yang bermanfaat, Allah menganugrahi panjang umur, memberikan rejeki yang barokah, serta memberikan negara yang ke depannya menjadi negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghafur.

Pusaka bukanlah klenik atau syirik. Pusaka adalah penghormatan kita kepada sesuatu yang bermakna di masa silam. Mbah Nun memberikan permisalan untuk pengertian tersebut, yaitu andaikan Ibu kita sudah tidak ada, sedangkan masih ada jilbabnya, dan jilbab ini kita pakai, itu dinamakan pusaka. 

Dengan kehadiran Keris Kyai Sengkelat dan Keris Kyai Condong Roso, Mbah Nun menunjukkan keseriusannya di dalam sumpah Proklamasi Nusantara. Tidak masalah bagi Mbah Nun bila orang-roang menganggap ini semua bagaikan mimpi. Bukankah semua orang juga bermimpi? 

Kehadiran dua bilah pusaka pada momentum pembacaan Proklamasi Nusantara itu adalah sebagai bentuk penghormatan kepada sesuatu yang bermakna di abad 13 lalu. Sebab, Indonesia tidak akan ada jika tidak ada Majapahit. Tidak ada Majapahit, jika tidak ada Singosari. Tidak ada Singosari jika tidak ada Kediri. Demikian seterusnya. Pun sama pula, tidak ada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, jika tidak ada Nabi Isa, Nabi Musa, hingga terus ke awal, nabi Adam. Pesan Mbah Nun, kita tidak boleh kehilangan kesadaran terhadap alur waktu yang ditakdirkan oleh Allah Swt, supaya Allah memberkahi semua, serta Allah akan membimbing bangsa Indonesia

Intinya, Mbah Nun memiliki cita-cita besar bahwa bangsa nusantara adalah bangsa pengayom dunia. Bahwa pulau Jawa dan Nusantara adalah pusat kemakmuran dunia atas takdir Allah Swt, makanya alamnya paling kaya, dan manusianya paling tangguh di seluruh dunia. Harapannya nanti saat krisis tahun depan hingga 2 tahun berikutnya itu, Insya Allah tidak akan terlalu mempengaruhi rakyat kecil yang merupakan rakyat nusantara yang memang sudah tanggguh sejak dulu. Buktinya kita semua dijajah Belanda selama 400 tahun, namun kita tidak memendam rasa benci. Kita tidak marah-marah, dan juga tidak membunuh orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia. Hal itu karena saking jembar (betapa luasnya)-nya hati rakyat Indonesia. Mbah Nun memberikan afirmasinya bahwa rakyat Indonesia sangat tangguh dan tidak akan terkena krisis yang bermacam dunia akan mengalaminya. 

“dari yakinku teguh

hati ikhlasku penuh

akan karunia-Mu

tanah air pusaka

Indonesia merdeka

syukur aku sembahkan

ke Hadirat-Mu, Tuhan”

Lagu Syukur yang dinyanyikan pada 5 November 2022 itu menjadi sebuah momentum yang memberikan resonansi yang berbeda-beda bagi masing-masing jiwa yang hadir pada Maiyahan malam itu.

Bumi Mojopahit Asri

Mengapa upacara besar? Teorinya, pembacaan sebuah naskah bisa saja dilakukan di mana saja. Tetapi, sebagaimana pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang harus terjadi di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat, sebagaimana itu pulalah pembacaan naskah proklamasi Nusantara memilih dunung-nya. Dan dunung itu ada di tlatah Majapahit, yaitu (yang sekarang termasuk di dalam wilayah administratif) Kabupaten Mojokerto. Tidak baen-baen, nama dunung itu adalah bumi Mojopahit asri. Bumi-nya Majapahit yang asri. 

Mbah Nun menyatakan bahwa inilah dulu tempatnya sekitar pada abad 13, Nusantara didirikan. Maka Mbah Nun membikin sesuatu juga di tempat yang sama ini, untuk mengantisipasi hal-hal yang akan menyusahkan mulai tahun besok. Mbah Nun mengajak semua yang ada di tempat tersebut untuk memenuhi dengan hawa kasih sayang, Rahman-Rahim-Nya Allah Swt., dan memenuhi napas jamaah Maiyah dengan Raufun Rahim-Nya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. 

Jika ditilik dari sisi sejarah, lokasi untuk Proklamasi Nusantara adalah pas di Mojokerto. Hal itu bukan sesuatu yang disengaja dan direncanakan jauh-jauh hari oleh Mbah Nun. Bahkan saat siang harinya, sama sekali belum terniatkan oleh Mbah Nun untuk membuat acara ini di Mojokerto. Sama sekali tidak ada.

Begini ungkap Mbah Nun, kurang lebih:

“Tapi Allah yang meletakkan saya di sini

mulane dongane Robbi Anzilni Munzalan Mubarokan wa anta Khairul munzilin

Allah sing ndeleh aku ndik kene

Allah sing ndeleh awakmu ndik kene

Di tempat yang tepat di waktu yang tepat, 

untuk proklamasi bersama-sama masa depan Nusantara. 

Soale sing tak pikir gak mik awakmu, Rek

Mwlainkan juga anak-anakmu, adik-adikmu sing isih cilik-cilik

mene-mene iku yok opo nek ngene iki terus

Dadi mugo-mugo Allah nylametno bangsa Indonesia. 

Mugo-mugo Allah nyayangi wong Jowo kabeh, wong Nusantara kabeh. ngono yo?” 

Terjemahannya:

“Tapi Allah yang Meletakkan saya di sini

Makanya doanya adalah Robbi Anzilni Munzalan Mubarokan wa anta Khairul munzilin

Allah yang Menempatkan aku di sini. 

Allah yang Menempatkan engkau semua di sini. 

Di tempat yang tepat di waktu yang tepat, 

untuk proklamasi bersama-sama tentang masa depan Nusantara. 

Sebab yang kupikirkan bukan hanya kamu saja, Rek

Melainkan juga anak-anakmu, adik-adikmu yang masih kecil-kecil, 

Besok-besok itu seperti apa jadinya jika keadaan seperti ini terus?

Jadi, semoga Allah menyelamatkan bangsa Indonesia. 

Semoga Allah menyayangi orang Jawa semuanya, orang Nusantara semuanya. Begitu ya?”

Garuda dan Nagasasra

Sebuah acara, identik dengan dresscode peserta yang menghadirinya. Demikian pula dengan upacara, dan apalagi, upacara besar. Malam itu, secara tidak sengaja dan tersadari sebelumnya, pakaian yang saya kenakan adalah atasan yang terbuat dari tenun Baduy dengan patchwork perca kain NTT yang membentuk simbol lambang negara, Garuda. Kebetulan, saat itu saya pun mengenakan kain jarit batik bermotif Nagasasra. Dua-duanya adalah local brand, bikinan anak-anak muda dari Kabupaten Ngawi.   

Garuda dan Nagasasra. Kombinasi ini bukan dengan sengaja saya siapkan sebelum berangkat ke Mojokerto dari Ngawi. Itu semua mengalir begitu saja. Seperti hanya mengalirnya acara Pembacaan Proklamasi sebagaimana yang diungkapkan Mbah Nun.

Garuda dan Naga (Nagasasra). Garuda, adalah lambang negara Indonesia yang keberadaannya sudah ada sejak sekian lama menyebar di berbagai wilayah Indonesia, di antaranya pada kompleks percandian kuno. Sedangkan Naga di dalam kosmologi Jawa merupakan perlambang dari kekuatan pelindung, penjaga, dan pengayom. 

***

Upacara besar pada 5 November 2022 ini semacam menjadi sebuah preambule dan rangkaian peristiwa bagi 5 hari kemudian, yaitu 10 November 2022. Sebuah peristiwa bersejarah terjadi 729 tahun yang lalu, tepatnya, 10 November 1293, bertepatan dengan tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka. Pada hari itu Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.

Dirgahayu Nusantara.

Lihat juga

Back to top button