TUNDUK DAN MENYEMBAH KEPADA-NYA
Manusia memang suka dikasih iming-iming. Senang diberi imbalan. Bungah dikei hadiah. Apapun bentuknya. Berapa pun harganya. Asal tidak mbayar alias gratis, pasti banyak orang yang mau.
Beberapa malam lalu (11/4), DKM masjid di komplek tempat tinggal saya mengadakan kegiatan donor darah. Donor dilaksanakan bakda shalat tarawih. Satu hari sebelumnya, Pak RT lewat WAG menginformasikan sekaligus menghimbau kepada seluruh warga komplek (yang sehat jasmani & rohani) agar turut berpartisipasi dalam kegiatan donor tersebut.
Awalnya grup WA sepi. Tak ada satu pun yang merespons cuitan Pak RT terkait donor darah. Namun grup menjadi riuh setelah Pak RT mensyer foto bantal leher yang unyu sebagai souvenir untuk para pendonor.
Belum lama ini, saya sempat mau donor darah di kantor kecamatan. Sayang, setelah dicek petugas, kadar Hb (hemoglobin) saya tinggi. Darah terlalu kental. Katanya kurang minum air putih. Kurang makan buah dan sayur, dan disuruh mengurangi minum kopi. Nah, yang terakhir ini rasanya agak sulit. Akhirnya saya ditolak, dan gagal donor. Terkadang niat baik memang tak selalu berbuah baik. It’s okay.
Jujur, malam itu saya agak malas untuk donor. Sedikit parno, khawatir kalau sampai ditolak lagi. Namun istri membujuk saya agar ikut donor. Alasannya bukan karena donornya, tapi lebih karena souvenir bantal leher yang bakal didapat jika saya sedia mendonorkan sekantong darah. Alamaaak. Alhasil, saya pergi ke masjid dengan tujuan donor cum meluluskan keinginan istri untuk memperoleh bantal leher yang unyu itu. Terbukti, manusia memang gampang luluh dengan iming-iming dan imbalan.
***
Tak terasa, kita sudah memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Ada yang sudah kendur, ada yang masih semangat, ada pula yang malah tambah semangat. Salah satu yang membikin semangat ialah berburu Lailatul Qadr. Apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul-qodri khoirum min alfi syahr. Malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan (QS. Al-Qadr: Ayat 3).
Lailatul Qadr mulia lantaran para Malaikat Allah (termasuk Jibril) berbondong-bondong turun, dengan cahaya cemerlang, gemilang, penuh kesejahteraan. Kedatangan mereka untuk menyampaikan ucapan selamat, melimpahkan ampunan, mengabulkan hajat bagi orang-orang yang melaksanakan puasa Ramadhan atas perkenan-Nya.
Dan cara paling akrab—efektif dalam menjemput Lailatul Qadr di kalangan kita yakni dengan beriktikaf di masjid selama 10 hari. Terutama di malam ganjil (21, 23, 25, 27, 29). Selama di masjid ada yang nderes ngaji, berdiam diri, berdzikir, hingga mendirikan shalat sunnah.
Pertanyaannya, jika tidak “diiming-imingi” kemuliaan Lailatul Qadr berupa ampunan, kabulnya hajat, pahala yang besar, apakah kita masih sedia untuk iktikaf? Apakah kita rela “bermalam-malam” berada di masjid? Apakah sanggup tumakninah berdzikir, qiyamul lail, mengaji, dan mengkhatamkan Al-Qur’an?
Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh, andaikan surga dan neraka itu tak pernah ada, masihkah kita bersujud kepadaNya? Andai surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kita menyebut asma-Nya? Jangan-jangan kalau tidak diiming-imingi surga, kita tidak mau menyembah Allah? Atau mungkin kalau tidak diancam dengan neraka, kita tidak akan tunduk kepada-Nya?
Hal tersebut selaras dengan doa sang cucu Nabi Muhammad Saw, Robiah Al-Adawiyah yang berbunyi, “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku.”
Ramadhan demi Ramadhan telah kita lalui. Puasa demi puasa telah kita jalani. Khataman demi khataman telah kita ulangi. Adakah naik kelas kualitas keimanan kita? Sudahkah tulus ikhlas sembahyang kita kepada-Nya? Dengan atau tanpa iming-iming dan imbalan, kewajiban manusia adalah wajib tunduk dan menyembah kepada-Nya. Maka, sepanjang hari, seumur hidup, kita senantiasa berdoa, iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.
Gemolong, penghujung Ramadhan 1444 H