TIDAK REBUTAN MENJADI TUHAN
Kalau soal paseduluran di Maiyah jangan ditanyakan lagi. Kesaksian yang cukup melimpah itu dapat dibaca di Wisdom of Maiyah. Sebelumnya tidak pernah berjumpa tapi rasanya seperti bertemu sahabat lama. Langsung gathuk.
Beberapa hari ini saya mengalami hal serupa. Bukan hanya belum pernah bertemu. Saya bahkan tidak menduga akan bertemu sedulur Maiyah ini. Diskusi pun sambung-menyambung dari rentang maqamat masing-masing. Ini bukan pertemuan antar profesi, bukan antar sesama pengagum ideologi, bukan antar penghobi.
Silaturahmi ini sederhana saja: bertemunya manusia dengan manusia. Pertemuan yang mengalir dari hulu asal kejadian ketika Allah Swt. bertanya, “Alastu birabbikum? Qoluu balaa syahidnaa.” (Q.S. Al-A’raf: 172). Dialog ketika kita sedang bersaksi di hadapan Allah.
Pertemuan alastu birabbikum adalah peristiwa iman. Tidak rasional memang karena tidak ada bukti empiris. Tidak pula dapat dilacak melalui perangkat ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Modalnya hanya satu: iman.
Pertanyaannya bukan bagaimana merasionalkan peristiwa alastu birabbikum menggunakan metodologi riset, melainkan dalam perjumpaan itu mengapa Allah mengenalkan Diri sebagai Rabb?
Allah tidak mengenalkan Diri sebagai ilaah, yang berhak dan wajib disembah: alastu bi-ilaahikum, atau sebagai Malik, Sang Maha Raja: alastu bi maalikum, atau sebagai Asma dan Fungsi yang lain.
Rabb sering kali diterjemahkan sebagai Tuhan. Tidak salah walaupun keputusan itu belum akurat. Kita tidak bisa berkelit bahwa demikianlah bahasa dan kata memiliki keterbatasan kendati sikap pukul rata itu mencerminkan kesembronoan.
Budaya sinonimitas dalam berbahasa dan berkomunikasi menjadikan kita bebal terhadap nuansa dan makna kata. Kita gampang diombang-ambingkan kata. Hingga pada taraf yang mengenaskan: kita dijajah oleh kata.
Kita harus siap menerima akibat sinonimitas Rabb dengan Tuhan. Ini tidak sekadar teknik penerjemahan. Makna etimologis Rabb yang berarti pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur, penumbuh terdistorsi oleh kesembronoan itu.
Implikasinya bukan hanya menyentuh akurasi penerjemahan bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia. Lebih dari itu: praktik kehidupan politik, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya yang sarat dengan kemiringan dan kerakusan sesungguhnya diakari oleh kesembronoan sinonimitas kata.
Dalam peristiwa sehari-hari hingga lobi politik, deal ekonomi, rumus pendidikan, konsepsi budaya, manusia memerankan diri sebagai tuhan agar dapat menguasai simpul-simpul kekuasaan. Mereka tidak menampilkan sifat rabbaniy: orang yang meneladani sifat kepengasuhan Tuhan, melainkan sebagai ilaah: orang yang selalu ingin dipuja dan berkuasa. Padahal Allah Swt. yang asli Tuhan “berendah hati” mau mengenalkan diri-Nya sebagai Rabb.
.Dalam konteks kesembronoan sinonimitas pemerintah adalah tuhan yang maha benar dan perkasa, sedangkan rakyat adalah hamba yang lemah, miskin, dan bodoh. “Fungsi manajerial” Rabb dimanipulasi menjadi fungsi kekuasaan dan penguasaan.
Yang aneh dan absurd di tengah semua itu adalah paseduluran teman-teman Maiyah. Juga yang saya alami beberapa hari ini bersama sahabat yang namanya melambangkan pesona dan kharisma.
Tidak ada yang rebutan menjadi Tuhan karena setiap perjumpaan di semesta Maiyah adalah pertemuan kasih sayang.[]
Jagalan, 31 Oktober 2022