TEMUKAN DIRIMU DALAM LAYAR BESAR PERAN KEHIDUPAN

(Liputan Majelis Ilmu Juguran Syafaat Purwokerto, Edisi Mei 2023) 

Salah seorang jamaah pernah bercerita kepada saya, bahwa sebelum mengenal Maiyah Ia mengikuti sebuah thariqah di sebuah pedalaman Banyumas sana. Setelah lama terlibat di sana, kemudian singkat cerita ia mendapati ketidakcocokan dan ia kemudian berhenti datang kesana.

Dari penuturan ceritanya, saya menangkap bahwa pilihannya untuk kemudian aktif bermaiyah adalah pilihan untuk berpindah dari thariqah lama ke thariqah baru. Namun, dengan tidak disangka-sangkanya, ternyata suasananya jauh berbeda. Ketika di sana ia terforsir dalam beban wirid yang begitu banyak dengan diiringi rasa cemas kalau wirid tidak maksimal nanti hajatnya tidak tercapai, sedangkan kesibukannya di Maiyah lebih banyak pada perkara-perkara teknis. 

Apabila mencermati yang disampaikan Kusworo yang pada Juguran Syafaat edisi Mei lalu (13/5) berposisi sebagai moderator, maka mengerjakan perkara teknis dengan sesempurna mungkin bisa jadi ia bernilai thariqah juga. “Salah satu bentuk thariqah yang diambil penggiat adalah kesediaan untuk mengambil peran. Implikasinya, ia bersedia memperoleh tanggung jawab lebih. Misalnya, datang menjadi harus lebih awal, dan seterusnya,” ujar Kusworo. 

Ya demikianlah, thariqah ini kan kalau orang Barat bilangnya exercise. Maka ukurannya bukan hasil berupa terkabulnya hajat, tetapi komponen-komponen diri apa saja yang meningkat karena dilatih dengan terus-menerus. 

***

Ulung-ulungan microfon di sesi awal bertujuan untuk sedikit lebih mengenal satu sama lain yang hadir. Yang jamaah lama menjadi lebih akrab, yang jamaah baru tidak merasa newbe-newbe amat. Hadir malam hari itu Budi, pemuda asli Kebumen yang tinggal dan bekerja di Purbalingga. Ia mengerjakan editing foto di sebuah studio foto di timur Alun-Alun Purbalingga. 

Hadir juga Veto, mahasiswa tingkat akhir dengan jumlah semester yang tabu untuk disebutkan. Ada juga Anggi dari Cipaku, sebuah pedesaan di pinggiran Purbalingga. Ada Rama, mahasiswa Universitas Perwira Purbalingga (Unperba), ia mencari side job dengan mengulik Youtube Short. 

Usai perkenalan, Kusworo mengestafeti forum. “Kemarin libur lebaran pada plesir kemana saja?”, Jamaah menimpali “Tidak kemana-mana”. Kemudian ia menyampaikan hikmah plesir. “Anak kecil kalau hari biasa susah diajak bangun pagi. Tapi kalau tahu besok mau plresir, dia menjadi semangat bangun pagi. Hidup itu begitu mas, mba, temukanlah harapan-harapan besar yang menjadikanmu semangat bangun pagi,” urai Kusworo. Pemaknaan yang relate dengan ini, nanti di puncak sesi Mas Agus Sukoco memaparkan analogi ‘Dibangunkan oleh Pak Lurah”. 

***

Talent atau performer Juguran Syafaat malam hari itu diisi oleh Kang Riswanto, Mas Toto dan Fery. Sedangkan petugas tata suara oleh Fadel. Lagu Bismillah dari album Wakafa dibawakan dengan apik dan syahdu. Kemudian Hedi terlibat di diskusi sesi pertama. Ia me-recall lagi pembahasan edisi lalu tentang konsep jamaah. Ia mengibaratkan konsep jamaah itu seperti membikin rujak. Ada gula yang manis, ada garam yang asin dan bumbu-bumbu yang beragam. Justru karena beragam, rujak menjadi enak. 

“Betul Mas Hedi,” timpal Kusworo. “Ada orang yang dari kecil kecenderungannya adalah istiqomah, jadi sholat itu selalu entheng. Ada orang yang bakatnya ber-zakat, katuranggan-nya adalah menyantuni. Konsep jamaah memadukan semua itu,” lanjutnya. 

“Ciri jamaah adalah rasa nyaman dan kemesraan,” terang Hedi. Secara Saur manuk Kusworo merespons bahwa yang membuat tidak mesra itu karena perkara dapur—ibadah mahdlah dibawa-bawa ke ruang tamu, “Sekarang pada rebut yang bener kompornya merk ini, yang betul cara masaknya seperti ini, tapi mereka lupa apa yang harus dihidangkan,” ungkapnya dengan sedikit gathik

***

Sesi beranjak semakin gayeng, tiba saatnya moderator mempersilakan jamaah untuk memberikan respons, pantikan atau pertanyaan apa saja. “Dari sekolah kita tidak cukup dilatih untuk mempunyai skill bertanya. Kalau pertanyaannya wagu, nanti ditertawakan seisi kelas, makanya suka meneng bae,” papar Kusworo. “Nah teman-teman, Bertanya adalah bagian dari apa yang dinamakan sebagai meresikokan diri,” lanjutnya. 

Kusworo kemudian mengutip sebuah quote, “Untuk menjadi expert, harus mau menjadi badut dulu.” Artinya, ditertawakan bukan hal yang masalah. Oleh karena itu di forum Maiyahan bertanya sesederhana apapun, merespons sekonyol apapun, tetap diapreasi.  

“Dibalik risiko, coba pikirkan benefit dari bertanya. Satu mendapat jawaban, dua dalam ilmu psikologis, ketika sesuatu itu diverbalkan, maka hal itu juga sebagai bagian dari terapi diri sendiri,” lanjutnya lagi. Quote berikutnya yang disampaikan oleh Bapak muda beranak satu itu adalah “Mampu mencurahkan apa yang menjadi masalah, itu sudah setengah solusi.”

Kemudian Rohmah dari Prigi menjadi perespons pertama, iya mengutip quote “Siapa yang melihat keluar itu mimpi, sedangkan siapa yang melihat ke dalam itu bangun”. Ia mencurahkan perasaannya bahwa kerap menjadi beban atas apa yang sudah diomongkan sebelumnya. Seakan ia tidak percaya diri.

“Nah inilah perlunya kita memeriksa lagi, ketika kita bicara di depan umum, kalau kita inginnya tampil bagus, maka akan terasa beban. Tapi kalau kita niatnya tampil jujur, semua mengalir,” respons balik dari Kusworo.

***

Respons berikutnya dari jamaah putra, ia mengaku tidak nyaman di circle-nya karena merasa kurang dihargai, dan bahkan kadang di-bully

Respons balik lagi-lagi diborong oleh Kusworo yang memang cukup piawai dalam bab olah mental, “Mas, di rumah komunikasi dengan keluarga baik?”. “Baik”, jawabnya. “Nah kalau di lingkar terkecil yakni keluarga lingkungannya masih baik, alhamdulillah. Karena bisa jadi bukan kamu yang salah, tetapi teman-temanmu yang mereka mempunyai masalah di keluarganya, dan circle pergaulan jadi pelampiasannya,” Kusworo mengurai. 

“Yang saya alami, semakin usia bertumbuh, apalagi sudah merisikokan diri berkeluarga, ada fakta bahwa: ora kabeh wong seneng karo dhewek. Dan harus lebih siap disalahpahami juga,” urainya lagi. 

Kukuh kemudian ikut urun respons. Ia membenarkan betapa pentingnya kesehatan mental bersumber dari kondusifnya di dalam keluarga dan hubungan dengan orangtua. 

“Dulu di kampung saya ada preman. Preman paling ditakuti di Pasar Wage, pasar terbesarnya Purwokerto. Tetapi segarang apapun sang preman, dia kalau mendapati perkelahian pasti melerai. Dan tahu apa? Dia di rumahnya sangat menghormati ibu bapaknya. Dan nyata! Di akhir hayatnya beliau ditampung oleh seorang ulama. Kemudian sudah meningalkan dunia hitam, sregep sembahyang. Husnul khotimah insyaallah,” Kukuh mengisahkan. 

Kenapa orang begitu leluasa sambat dan mencurahkan keluh-kesah. Karena di Maiyahan mereka merasa lebih tentram. Mbah Nun selalu mencontohkan, bagaimana kepada siapa saja tidak pernah memberikan penghakiman. Memiliki penerimaan diri yang tinggi terhadap siapa saja. 

***

Turut bergabung malam hari itu Mas Agus Sukoco dan Mas Igo Saputra. “Kalau konsep acaranya tidak menciptakan suasana yang egaliter, hanya searah, pasti Anda tidak datang. Kalau Anda carinya ceramah pengajian, pasti Anda larinya tidak kesini”, urai Mas Agus. 

“Kalau ceramah pengajian seolah-olah yang bicara harus orang suci, tetapi kalau di sini bisa saja yang ngomong lebih tidak suci dari yang mendengarkan itu sangat mungkin. Di sini lebih banyak adalah berbagi pengalaman hidup dan hikmah-hikmah atasnya,” urainya lagi. 

“Banyak orang beragama justru makin jumawa karena merasa makin banyak mengumpulkan bahan-bahan untuk mendefinisikan sebagai orang baik. Misalnya pulang dari masjid lihat anak muda tongkrongan, wah kerak neraka pasti itu,” Mas Agus menyampaikan dengan ironi. 

“Nah terkait tema, untuk menjadi inti, patron di sosial masyarakat tidak harus menempati posisi formal lurah atau pejabat dulu. Tetapi semua orang harus menemukan dirinya di dalam kesadaran nukleus,” lanjutnya. 

Kemudian Mas Agus menyampaikan sebuah analogi, “Kalau Anda bermain film sebagai pemeran utama di film berjudul ’Pengemis Budiman’, meskipun di sana ada Jokowi lewat, ada Luhut, pemain utamanya siapa? Ya, tetap Anda. Maka temukan dirimu dalam layar besar peran kehidupan Anda”. 

“Suatu ketika saya jalan-jalan di Purbalingga, saya bikin judul film saya sendiri ‘Agus di Sabtu Pagi’, nanti ketemu bupati, itu ya figuran, pemeran utamanya tetap Saya. Jadi tiap hari, buatlah judul film diri anda sendiri. Lakonnya adalah diri Anda sendiri. Bisa mulai malam hari ini, buat film sendiri. Biar Agus di depan, Kusworo di depan, pemeran utamanya adalah Saya. Apa judul filmnya? ‘Pemuda Bingung Sedang Ngaji’,” kelakar Mas Agus ditimpali gerrrr tawa jamaah.  

***

“Mulailah dari persepsi paling optimal pada diri sendiri. Allah saja mengajarkan, Ana ‘indadhonni ‘abdi bi, sebuah hadits Qudsi yang artinya ‘Sesungguhnya Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku.’,” Mas Agus mengafirmasi. 

Estafet mic berikutnya jatuh giiran pada Mas Igo. Ia berbagi pengalamannya dulu ketika masih kuliah, yakni di Fakultas Kehutanan IPB. Ia bercerita pengalamannya ketika menemani mengerjakan skripsi tentang katak. Spesies katak paling beracun justru yang warnanya yang sangat menarik. Kemudian ular, yang paling berbisa juga yang paling menarik. 

“Banyak ciptaan Tuhan yang indah-indah cukup disawang ya mas, gak boleh dipegang,” timpal Kusworo mencairkan suasana.  

Mas Igo yang juga seorang pecinta alam kemudian berbagi tips dari pengalamannya ekspedisi di alam. Tips menangkap katak “Sangat mudah, senter matanya nanti dia akan mode freze”. 

Dia juga berbagi insight-nya tentang film yang baru saja ia tonton, “The Last of Us”.

“Film ini menceritakan tentang sebuah keadaan dimana manusia itu kemudian dikuasai oleh jamur kordiset. Kordiset ini menguasai nucleus-nya manusia. Dan manusia terancam punah dengan invasi jamur. Dan penelitian ilmiah memang menemukan bahwa spora jamur itu yang paling mematikan. Ini menjadi tantangan dari inti sel, yang di dalamnya ada DNA, dan proses manusia berkeputusan berpangkal dari situ,” ulas Mas Igo.   

Mas Igo memaparkan bahwa Nukelus adalah inti sel, mengandung sebagian gen di dalam diri kita. Mengatur metabolisme sel. Sel itu kan satuan terkecil manusia. Jadi nukleus intinya inti. Lalu di dalam DNA itu tersimpan karakter yang membentuk kedencurungan diri. Termasuk yang diwariskan ke anak kita itu DNA. Jadi sangat penting keberadaan nukleus ini. Di dalamnya terletak tanggung jawab besar dalam mengendalikan pikiran, keputusan hidup, sampai sifat yang diturunkan ke anak turun. 

Kemudian Mas Igo meluaskan bahasan, menggeser ke titik pandang sejarah, “Orang kita tidak percaya diri lagi, tidak menjadi pemeran utama, adalah sejak munculnya feodalisme di masyarakat, yakni pasca Sultan Agung.”

“Peneliti Belanda saja sampai kebingungan, karena yang mereka baca dari catatan Portugis di mana mereka datang lebih awal ke Nusantara , orang Jawa itu percaya diri, bahkan sangar dan pemarah,” jelasnya. 

“Apakah bisa diubah?” tanya Kusworo.

“Sangat bisa!” jawab Mas Igo. 

“Itu kan yang dikerjakan dari dulu mulai dari para founding father. Glorifikasi Gajahmada, Sriwijaya, dan Majapahit. Termasuk yang diupayakan oleh Mohammad Yamin ketika menjadi menteri pendidikan meletakkan pada kurikulum pendidikan sejarah tentang kebesaran Bangsa Nusantara.  

***

Edisi Juguran Syafaat kali ini mengiris pengertian ‘tabiat’ yang berbasis gen dan ‘sifat’ yang cenderung dipengaruhi oleh lingkungan kepada satu ruas outcome yang sama yakni, membangun percaya diri menjadi subjek, menjadi pemeran utama. 

“Dengan percaya diri, kita menjadi lebih punya power,” Mas Igo menandaskan. 

Kita ini inferior akut. Kalau dibilang bangsa Melayu tidak bisa maju, tuh ada contohnya kok negara Melayu yang mau—Singapura. Kalau dibilang orang Jawa sulit diatur, apa benar begitu? Di luar sana diaspora Jawa banyak sekali yang sukses, mereka bisa kok ikut aturan di negara tempat mereka berada.  

Lanjut respons berikutnya dari Rifky, penggiat Simpul Maiyah Kanoman dari Pemalang. Ia mengaku kerap terkesan dengan tema-tema Juguran Syafaat, diantaranya tema ketika ia datang pertama kali “Rekayasa Bedug Maghrib”. 

“Wah, itu edisi Juguran awal-awal sekali,” timpal Kusworo. 

Kosakata Me-Nukleus sendiri bukan kosakata baru. Pada medio 2015-an pernah dilontarkan dan dielaborasi di forum Mocopat Syafaat. 

Merasa peran dirinya penting, adalah sikap ke dalam yang memberdayakan. “Yang kontraproduktif itu kalau diumum-umukan keluar. Sayalah pemeran utamanya! Ini sikap batin. Sikap ke dalam,” tandas Mas Agus. 

Kusworo mencontohkan sebuah exemplary dari Fikry. “Menekuni bidang foto dan videografi dan berhasil mengerjakan irisan antara menafkahi keluarga dan berkontribusi untuk kebersamaan di Maiyah,” ujar Kusworo. “Bahkan ketika pandemi, lebih dari setahun ruangan dan peralatan Juguran disana, sehingga sampai hari ini belum ada satu bulan pun yang libur.”

Fikry kemudian merespons, “Ini nggak tahu yah antara saya menjadi lebih bijaksana, atau sedang drop karena minim pencapaian, rasa-rasanya kok enggan pegang mic. Saya saat ini di fase, kayaknya lebih tepat teman-teman lain yang bicara.”

“Sebenarnya ngobrol di Juguran ini sama saja dengan ngobrol-ngobrol di luar forum. Bedanya kalau di luar kan mau jeda diem-dieman lama tidak masalah, kalau di sini kan begitu mentok prosedurnya harus lempar mic ke yang lain supaya tidak senyap,” Fikry menjelaskan tentang manajemen forum Juguran. 

“Kemudian, kalau di sini kebanyakan ngomong, itu kelihatan bohongnya. Kalau terlalu sedikit ngomong, kelihatan bodohnya, hehehe,” Fikry berkelakar. 

“Tapi di fase ini memang saya sedang meneliti diri sendiri, kenapa saat forum saya beberapa hal tidak nyantol, begitu pulang di kendaraan baru menemukan konteks untuk direspons. Tetapi forum sudah selesai,” curahnya. 

Ia kemudian melanjutkan, “Kalau ada pembicara kok didengarkan tidak enak, jangan-jangan set berpikirnya yang salah dari awal. Bukan berbagi, tapi show off. Di forum Maiyah ini sensitif sekali dengan energi-energi seperti itu. Mungkin karena di sini terbiasa dengan energi yang utuh dan murni.” 

“Maka pelajarannya adalah, kalau niat awalnya benar, tidak usah tidak percaya diri,” pungkasnya. 

“Kebijaksanaan lahir dari pengalaman kewirangan-kewirangan,” Mas Agus merespons dengan sebuah pengalaman di masa lalu. 

“Waktu itu tahun 2001 ada kabar Mbah Nun & KiaiKanjeng di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Belum ada Youtube. Informasi masih sulit. Saya datang dari awal. Belum ada jamaah yang datang. Kemudian ada satu orang menghampiri dan menyapa saya. Saya lalu bercerita banyak untuk menunjukkan bahwa saya memang begitu mengenal Cak Nun. Setelah saya mengurai panjang lebar siapa Cak Nun, kemudian momen yang terlewat di awal, kami saling berkenalan. Ternyata yang saya ceramahi tentang siapa Cak Nun tadi adalah salah satu dari personel KiaiKanjeng. Sontak saya mundur alon-alon, ngumpet di balik tenda Mie Ayam,” Mas Agus mengisahkan.  

“Jadi semakin banyak kewirangan, Anda itu makin mendewasa dan makin matang. Itu kalau Anda tidak putus asa duluan,” tandasnya. 

***

Tibalah di landing session. “Anda tidak perlu menjadi ustadz atau al-mukarom dulu untuk menjadi pemeran utama. Anda juga tidak perlu melakukan kudeta sosial dulu. Sejak sekarang saja, dari apapun posisi dan nasib Anda,” urai Mas Agus.  

Mas Agus mengajak untuk tidak berhenti dalam proses penumbuhan diri, “Saya punya analogi. Kalau ada pohon. Yang satu tumbuh subur, yang satu tidak tumbuh. Pasti ada masalah. Jangan-jangan tanah di sini tidak kompatibel, miskin humus. Maka yang harus kita lakukan adalah mendekat ke pohon yang subur itu”. 

“Hikmahnya adalah, kalau ada melihat rekan kita yang maju dan sukses. Mendekatlah, seperti mendekat ke pohon yang tumbuh di tanah yang subur itu. Jangan malah menjauhi dan mendengki. Sebab kita ini rendah daya apresiasinya. Padahal apresiasi adalah pintu untuk melahirkan kekaguman. Dari pintu kekaguman kita perlahan membuka diri untuk mempelajari bagaimana ia berproses menuju sukses,” ulasnya.  

Sebagai penutup, Mas Agus kembali menegaskan pentingnya membangun keberhargaan diri, “Kalau kita sedang tidur, ada Pak Lurah datang membangunkan, artinya ada yang penting dari kita, ‘wah ada hal penting apa ini sampai-sampai Pak Lurah harus membangunkan saya’. Nah, kita tidur, apakah bangun sendiri, mas? Kita tidak bisa bangun sendiri.”

“Kita bangun dari tidur karena Allah yang membangunkan kita. ‘wah, ada hal penting apa ini sampai-sampai Allah membangunkan kita?”. Maka doa bangun tidur diawali pujian kepada Allah. Ketakjuban terhadap hari yang akan kita mulai. Keberhaargaan terhadap sesederhana apapun yang kita kerjakan hari itu. Sekadar menyapu lantai adalah misi yang penting. Karena Allah yang membangunkan saya,” ulasnya. 

Sehingga tidak ada hari yang tidak mengandung misi penting. Demikianlah agama diberikan kepada manusia untuk menjalani makna. Karena fakta yang sama dimaknai dengan berbeda, maka berbeda pula hasilnya. 

Lihat juga

Back to top button