MENILIK ULANG PENDIDIKAN DIRI
(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Juguran Syafaat Edisi September 2023)
Your job is not your career. Begitulah kira-kira kurang lebihnya pesan Mas Agus Sukoco kepada Mas Andi di Juguran Syafaat malam hari itu. Pesan nasihat yang disampaikan dengan tok-melong, tanpa tedeng aling-aling selayaknya percakapan karib dua orang sahabat. “Sudah tidak usah pakai dalil-dalil, tidak usah pakai quote-quote. Mas Andi malam ini nggitar saja…,” tukas Mas Agus.
Lalu Mas Andi menimpali bahwasannya dirinya tahun-tahun belakangan ini aktif di kegiatan pendampingan PAUD. Dirinya meramu berbagai metode pembelajaran baru yang diinspirasi oleh Maiyah. Tentu sebagai seorang sahabat ia ingin berbagi update terkininya kepada sahabatnya yang sudah begitu lama tidak bertemu berinteraksi.
Tuntas Mas Andi memamparkan sejumlah metode dan pengalamannya, Mas Agus menimpali lagi, “Itu bagus sekali Mas Andi. Tapi saya tahu, bakat otentikmu itu Nggitar. Di Purbalingga ini siapa yang berani mengalahkan seorang Andi Peterson?,” Mas Agus mengafirmasi.
“Menjadi peracik metode pendidikan itu kan berangkatnya karena ada job pekerjaan di PAUD-PAUD itu kan? Anda bisa hebat di situ tetapi tidak akan menjadi maestro di situ,” lanjut Mas Agus. “Tetapi di dalam bermusik, Anda itu piawai betul, itu pemberian Allah, tetapi kenapa di bidang itu Anda masih berkecil hati dan berendah diri, itu yang jadi masalah selama in ikan? Padahal di situ Anda bisa menjadi maestro,” lanjutnya lagi.
Suasana gemes, seru, tapi tetep gerrr!!! Memang bukan sekali ini saja Mas Agus berekspresi gemas dengan sedikit geram ketika melihat seseorang memiliki bakat otentik tertentu, tetapi justru dirinya tidak sungguh-sungguh mengolah bakat itu justru gojak-gajek tidak jelas pada banyak bidang yang lain.
Daripada suasana semakin mengeskalasi, saya yang berposisi menjadi moderator malam hari itu kemudian menengahi mengambil mic. “Apa yang disampaikan Mas Agus kepada Mas Andi barusan tadi, teman-teman semua perlu ketahui, itu adalah sebetulnya nasihat untuk kita semua yang ada di ruangan ini”.
“Nasihat bahwa kita mesti lebih sungguh-sungguh lagi terhadap keutamaan atau fadhilah yang dianugerahkan Allah langsung kepada kita, baik itu bentuknya bakat, keahlian, dll. Itu dari Allah langsung lho, bukan kita yang mengarang sendiri. Oke sekarang satu nomor dulu dari Mas Andi,” lanjut saya.
Kemudian sejumlah nomor dibawakan oleh Mas Andi berkolaborasi dengan teman-teman KAJ membuat hangat suasana. Kalau urusannya job, bisa apa saja di depan mata kita kerjakan. Tetapi kalau meniti karier, sudah ada guidance langsung dari Allah bernama fadhilah diri. Semakin sungguh-sungguh kita meniti, semakin dekat kita pada kemanfaatan yang paling maksimal. Bonusnya kemudian adalah menjadi maestro di bidang masing-masing.
***
Tengara jam 20.00 Majlis Ilmu Juguran Syafaat dimulai dengan doa munajat dipimpin oleh Mas Aji. Dilanjutkan dengan tartil tilawah dipimpin oleh Hedi. Keduanya adalah penggiat muda Juguran yang istiqamah sejak edisi awal-awal hingga hari ini.
Ruangan joglo barat Waroeng Juguran kemudian semakin ter-atmosfieri oleh hadirnya jamaah masbuk yang berbondong-bondong memasuki venue acara setelah sebat dulu di parkiran bawah. KAJ mengestafeti dengan sejumlah nomor shslawat. Kemudian nomor lagu “Bismillah” dibawakan dengan begitu apik dan syahdu oleh Mas Tri Martoto, gitaris kawakan KAJ.
“Kalau Mas Toto membawakan ‘Bismillah’ itu ngena banget, sepertinya dari hati banget ya?,” Kusworo yang berduet menjadi moderator dengan saya, seusai menyapa jamaah kemudian memantik Mas Toto untuk terlibat sharing.
Mas Toto hanya merespons dengan senyum menyeringaikan gigi gaya khasnya, lalu Kang Riswanto sohib kental Mas Toto yang duduk disebelahnya kemudian menyahut menimpali. “Bahwa memang lagu ini sangat mewakili perasaan kita semuanya ya. Artinya, bahwa memang setelah kita bermunajat, dan berdoa, memasrahkan hati dengan lagu ini kepada Allah misalnya. Masalah berat yang sedang menimpa di hidup kita tidak langsung ujug-ujug selesai. Tetap minimal bahwa, batin kita menjadi lebih kuat menghadapi,” urai penggiat dengan sapaan akrab Kang Ris tersebut.
***
Malam hari itu merupakan edisi Juguran ke-126. Sejak edisi pertama kali tahun 2013 lalu, belum pernah libur satu bulan pun. Meski pandemi melanda, jalan terus sebisa-bisanya. Secara khusus malam hari itu Juguran mencoba mengangkat harta karun terpendam berupa ilmu, yakni buku setebal 48 halaman karya Mbah Nun tahun 1987.
Buku terbitan perdana 36 tahun yang lalu yang mayoritas yang hadir malam hari itu belum lahir. Buku itu berjudul “Ikut Tidak Lemah”. Terdapat sub judul di bawahnya, “Ikut Tidak Melemahkan. Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang yang Lemah.”
Dalam interpretasi saya, ide yang diangkat di buku ini adalah mengenai fenomena pemiskinan struktural. Pesan kewaspadaan bagi kita yang ditakdirkan mengemban jabatan formal maupun sosial di segala levelnya, agar jangan sampai kita menjadi bagian dari pencipta atau pekerja bagi aturan atau kebijakan yang bertendensi melemahkan orang banyak.
Mbah Nun dalam buku tersebut menggunakan sebutan orang pertama “aku”. Belum menggunakan kata ganti “saya” sebagaimana tulisan-tulisan di tahun-tahun belakangan ini. Beliau mengungkapkan bahwasanya fenomena kemiskinan bukanlah seperti benang kusut, melainkan seperti benang yang terjalin begitu rapi dan sistematis.
Yang menarik dari buku ini, menurut saya, saya paparkan malam hari itu adalah bahwasanya Mbah Nun muda kala itu tidak menitiberatkan pembahasan pada protes sosial dalam segala bentuknya. Melainkan melalui buku ini beliau memberikan penekanan utama justru pada mengevaluasi lagi pendidikan diri di antara kita.
“Pendidikan orang sekarang mengajarkan pada pengetahuan dan kecanggihan. Pendidikan orang kemarin mengajarkan pada sikap dan kejujuran. Kalau yang kemarin tidak kita bawa hari ini, maka hari esok kita hanya meneruskan dan memperbesar kecemasan hari ini.” Demikianlah sebuah kutipan dari buku tersebut.
Mbah Nun mengungkapkan betapa jauhnya jarak antara anatomi persoalan kemiskinan dengan keberadaan orang miskin itu sendiri. Mungkin ini yang menyebabkan beliau lebih berfokus pada pembenahan wilayah mikro yakni pendidikan, ketimbang yang lebih makro misalnya kritik atas kebijakan tertentu dari pemerintah.
Pada buku tersebut Mbah Nun juga merekamkan kepada kita fenomena di masa-masa itu, diantaranya tiga hal: Pertama, bahwa ulama model baru saat itu sudah mulai abai pada ilmu pengetahuan tentang jiwa manusia, sehingga ceramah agama cenderung menjadi nasihat tentang iman yang diulang-ulang sebagai falsafah yang abstrak.
Bahwa manusia tidak diberi kesempatan untuk dewasa seperti orang yang melakukan sholat di depan todongan senjata. Itu yang banyak terjadi, bukan?
Kedua, orang sudah mulai meninggalkan praktik tasawuf yang Budhistik. Sebaliknya, mulai terbuka dengan pembangunan cara berpikir dan penalaran. Makrifat tidak lagi dimaknai sebagai peristiwa klenik belaka, melainkan lebih operatif bagi kehidupan. Beliau mencatat empat jenis kegiatan makrifat yang operatif, yakni (1) memakrifati kehidupan, (2) memakrifati problem secara tepat, (3) memakrifati kebenaran yang sejati, dan (4) memakrifati cara yang penuh hikmah untuk mengatasi masalah.
Lalu berikutnya, rekaman fenomena yang dicatat dalam buku tersebut adalah adanya perebutan kebenaran, antara kebenaran individual yang diklaim oleh kalangan Barat. Dan kebenaran orang banyak yang dipeluk oleh kelompok Sosialis (Timur). Mbah Nun saat itu sudah menawarkan jenis kebenaran yang ke-3, yakni kebenaran yang sejati, atau kebenaran dari Allah. Ketiga jenis kebenaran ini sejak tahun itu hingga tahun ini masih konsisten di-“kampanye”-kan di berbagai kegiatan Maiyahan.
Hari ini orang miskin dikenal dengan sebutan dhuafa, berangkat dari asal kata dho’if yang berarti lemah. Padahal, di buku ini sudah dikategorikan ada golongan kedua selain dhuafa, yakni kaum mustad’afin. Alias orang yang tertindas, atau orang yang dilemahkan.
***
“Ada orang yang bekerja keras 24 jam sekalipun bagaimana kerasnya bekerja tetap saja miskin. Karena sistemnya memang tidak mempeluangi. Inilah salah satu bentuk pemiskinan struktural yang kita tidak merasa penting menyadarinya,” Mas Agus merespons.
Namun, kita tidak berdaya melawan sistem. Maka anjuran Mas Agus terhadap jamaah yang rata-rata berusia milenial dan zilenial malam hari itu adalah bahwa kita tidak wajib bekerja. Yang wajib adalah kita bermanfaat. Bahwa dengan bersungguh-sungguh menjadi orang yang bermanfaat, itu lebih besar mempeluangi untuk kita mendapatkan jalan rezeki.
Selain sejumlah nomor lagu dari KAJ, malam hari itu Mas Andi Peterson menyumbangkan tiga lagu yang begitu apik, berjudul “Kepastian”, “Janji Cinta”, dan “Langkahku”.
“Lagu-lagu Mas Andi ini tahun 94-an sangat terkenal di Purbalingga, dinyanyikan anak-anak SMA, bahkan jadi lagu wajib para pengamen jalanan,” testimoni dari Kang Ris. Memang betul ketika lagu-lagu itu dinyanyikan yang seangkatan dengan mereka yang hadir malam hari itu menyanyi bersama semua membuat makin hangat suasana.
Testimoni berikutnya dari Fadel, musisi muda Purbalingga, “Saya sudah sering dengar namanya, baru kali ini ketemu orangnya (Mas Andi)”.
Demikianlah, kalau Mas Agus Sukoco mengekstrapolasi pemahaman dari kupasan buku “Ikut Tidak Lemah” pada penguatan sinau menempuh fadhilah diri sesungguh-sungguh mungkin sampai level maestro, berikutnya respons dari salah seorang penggiat Sekolah Alam Perwira Purbalingga. Ia menyampaikan empat pilar dalam pembelajaran sekolah alam yakni tauhid, entrepenership, leadership, dan penalaran.
Ulasan berikutnya berangkat dari respons Muji, jamaah dari Desa Limbangan, “Limbangan Pride!”, ia memulai merespons dengan slogan kebanggaan mereka itu. Ia berkeluh kesah sebagai aktivis pemuda desa, seringkali inisiatif membuat event-event besar yang meramaikan desa, meskipun sukses, tetap saja mencapat cibiran dari sejumlah orang-orang yang mestinya dituakan. Bukannya memberikan apreasiasi dan menguatkan, malahan mencibir dan melemahkan.
Ia mengaku sedih bagaimana timnya yang tadinya banyak orang sebagian sudah mulai kendor dan tidak aktif lagi. Padahal ia masih sangat bersemangat mendinamisasi desa dengan berbagai program kepemudaan. Dalam dua bulan terakhir saja mereka sudah sukses membuat dua acara besar, yakni tabligh akbar tingkat nasional di lapangan desa dan sarasehan budaya menggali sejarah desa.
***
Hawa dingin mulai menyeruak, Letak Waroeng Juguran di Desa Padamara tengah-tengah antara kota Purwokerto dan Purbalingga ini memang di dataran yang sudah mulai agak meninggi jadi terasa dinginnya. Lewat pukul 00:30 WIB, Juguran Syafaat saatnya dipungkasi.
Saya hanya men-stabilo satu hal, seminimal-minimalnya kita tidak bisa memberikan kontribusi pada hal baik disekitar kita, minimal kita lebih teliti lagi pada sikap kita, ada tidak ya sikap kita yang ternyata membikin lemah teman kita. Jangan-jangan sudah menambah lemah orang lain tanpa sadar.