TAHUN KATA-KATA

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya edisi 2024)

Pemilu, baik itu pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pilleg), maupun pemilihan kepala daerah (pilkada), selalu digadang-gadang sebagai tonggak lima tahunan yang membawa harapan akan perubahan. Setiap kali pemilu tiba, rakyat Indonesia disuguhi janji-janji manis dari para calon pemimpin. Mereka berbicara tentang kelanjutan pembangunan, harapan baru, dan peran penting anak muda, khususnya generasi Z, dalam membangun bangsa. Kata-kata ini membahana di telinga kita, namun sering kali hilang tak lebih dari lima pekan setelah pemilu usai.

Pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, di mana aspirasi rakyat dihargai melalui pemungutan suara. Namun, kenyataan yang terjadi sering kali berbeda. Seperti halnya sampah, suara kita sekadar dipungut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA). Setelah pemilu selesai, aspirasi dan harapan rakyat sering kali terlupakan. Janji-janji yang dulu terdengar indah, seperti kelanjutan pembangunan, harapan baru, dan perhatian terhadap anak muda, menguap begitu saja. Kata-kata seperti “parcok”, “es teh”, “goblok”, “makan siang gratis”, dan “guru bangsa(t)” yang dulu sering terdengar, kini hanya menjadi kenangan.

Dalam buku “Indonesia Bagian dari Desa Saya” hlm: 189, Mbah Nun mengatakan, “ Tingkat verbalisme tersebut di samping menunjukkan semacam taraf rendah soal teknik persuasi, juga mencerminkan suatu sikap mental tertentu dari kecenderungan masyarakat kita di dalam mencapai sesuatu.

Sebenarnya nampak agak ironis: kita cenderung memulai sesuatu dengan dan lewat kata, sementara alam simbol sesungguhnya sangat hidup dalam semesta kejiwaan masyarakat kita. Pada hampir setiap aspek kehidupan kebudayaan kita dewasa ini tak pernah ada hari yang terlewat oleh kenyataan kesenjangan antara dua rumusan klasik: kata dan perbuatan.

‘Satunya kata dan perbuatan’ sampai detik ini  tetap bertahan sebagai acuan konsepsi. Dalam porsi yang lebih kongkret kita melihat, timbulnya ‘alergi’ masyarakat terhadap yang bernama seminar, musyawarah, penataran, karena karena telah mengalami polusi, tidak lain karena lestarinya kesenjangan itu. Hobi kita untuk mencanangkan slogan-slogan, tema-tema verbal, oleh lembaga-lembaga resmi sampai organisasi mahasiswa atau pelajar, sangat menggarisbawahi gap antara kata dan perbuatan,”

Lihat juga

Ironisnya, pemilu yang seharusnya menjadi momen untuk memperkuat demokrasi dan menghargai suara rakyat, sering kali berubah menjadi ajang untuk meraih kekuasaan semata. Rakyat yang berharap akan perubahan, sering kali harus menelan kekecewaan. Namun, harapan tidak boleh padam. Setiap pemilu adalah kesempatan baru untuk memperjuangkan aspirasi dan harapan kita. Meskipun realita sering kali tidak sesuai dengan harapan, kita harus tetap berjuang untuk perubahan yang lebih baik.

Menyatunya kata dan perbuatan, menurut Mbah Nun, tetap sukar beranjak dari spanduk dan folder-folder dan katalog kegiatan. Hal tersebut bukan saja menganalogikan bahwa kita masih merasa di tengah perjuangan memanifestasikan konsep-konsep, tetapi juga sekaligus merupakan peluang bagi terjalinnya pergaulan mesra antara kesetiaan dan pengingkaran. Antara kata dan perbuatan terjalin suatu relasi akrobatik yang mobile, orang-orang yang hidupnya mewahlah yang menganjurkan hidup sederhana.

Maka, cara respons dan manifestasi kita terhadap gap antara kata dan perbuatan akan kita diskusikan di Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Desember 2024, yang diselenggarakan pada Kamis, 19 Desember 2024, di Pendopo Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya

(Redaksi Bangbang Wetan)

Lihat juga

Back to top button