desir

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Poci Maiyah Tegal Edisi Desember 2024)

Abu Nawas pernah ditanya rajanya, “Apakah bintang di langit besar atau kecil?”

Jawab Abu Nawas, “Tergantung, Paduka,”

“Tergantung bagaimana maksudnya?” tanya raja.

“Dengan logika indera, penglihatan anak kecil, bintang di langit itu kecil. Dengan logika orang dewasa, bintang di langit itu besar, sebab fakta ilmu pengetahuan. Tapi dengan logika orang beriman, bintang di langit tetap kecil, sebab yang menciptakannya lebih besar bahkan dari bintang yang paling besar.”

Dalam simbolisme paradigma berpikir sains, ada tiga cara pandang (paradigma) berpikir secara mendasar. Pertama adalah cara pandang epistemologis, yaitu cara berpikir dikotomi, salah-benar, besar-kecil, baik-buruk, dan hal-hal semacamnya. Kedua adalah cara pandang aksiologis, yaitu besar itu karena apa, kecil itu sebab apa, salah itu kenapa dan benar itu bagaimana, dan hal-hal semacamnya. Terakhir adalah cara pandang ontologis, paradigma ini agak membingungkan. Contohnya, besar tapi kecil, seperti cerita Abu Nawas di awal tulisan. Konsep-konsep awal menjadi bias. Apakah bintang itu kecil? Jika kecil, mengapa besarnya berjuta-juta kali ukuran bumi? Apakah api itu panas? Jika panas mengapa Nabi Ibrahim tidak terbakar? Dan hal-hal semacamnya.

Lihat juga

Banyak hal, yang secara ontologis kita anggap kecil, seperti desir angin, tapi ternyata membawa hal-hal besar di dalamnya. Desir, hembusan angin pelan yang di dalamnya membawa, baik partikel-partikel material kehidupan, maupun ruh, dari kata “ro-ha” (راح) yang menyegarkan, “rii-ha” (ريح) angin/gas, dan “ruu-hu” (روح) partikel cahaya yang mengandung kehidupan di dalamnya. Desir angin membawa partikel materil berupa serbuk sari, misalnya, yang akan membuahi putik bunga pepohonan berbuah. Desir angin membawa partikel atom, “dza-ro” (ذري) atom, dan turunan dari atom yang disebut “dza-ro-ya”, “dzu-ri-ya”, lidah jawa menyebutnya dzuriyah, keturunan atau anak cucu. Dan bahkan, unsur hara tanah, tanpa udara (gas), hal yang tidak nampak oleh mata, menjadi sumber kehidupan unsur tanah. Hal kecil (atom / ذري) yang melahirkan hal yang lebih kecil (adz dzariyat), tapi dari hal terkecil itulah kehidupan bersumber. Seperti Nabi Muhammad yang menjadi dzuriyah terbaik Nabi Adam, apakah Nabi Adam yang lebih utama atau Nabi Muhammad? Jawabannya, ini adalah cara pandang ontologis, agak susah menetapkannya.

Dalam konteks bernegara, misalnya, apakah harus perubahan dari seorang presiden? Ataukah bisa dari rakyat kecil? Apakah rakyat harus menunggu dan diam saja, tanpa melakukan produktifitas yang, mungkin tidak besar, tapi bermanfaat untuk orang-orang sekitar? Seperti dalam Al-Qur’an, untuk menyelamatkan semua manusia, tak harus menjadi superhero yang bisa memanjat dinding atau terbang, tak harus juga nyaleg atau nyapres. Melainkan cukup dengan merawat atau memelihara kehidupan satu orang saja. Begitu juga dengan pembunuhan, dengan membunuh satu manusia, itu seperti melakukan genosida, pemusnahan umat manusia (Al-Maidah: 32).

Dalam lingkar sinau bareng Poci Maiyah inilah, kita sebaiknya belajar untuk tidak meremehkan hal-hal kecil, atau remeh. Al-Qur’an sendiri, itu berawal dari sebuah titik, yaitu Ba (ب)، lalu ke bismillah, ke alfatihah, dan lalu ke Al-Qur’an sepenuhnya.

Tegal, 3 Desember 2024

(Redaksi Poci Maiyah/Abdullah Farid)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button