Tadabbur Hari ini (9), MENGABDI TIDAK SAMA DENGAN MENYEMBAH
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)
Atau ada probabilitas juga bahwa sebenarnya sudah ada jalan keluar dari Allah, hanya saja kita belum mengetahuinya karena serba sangat terbatasnya alat-alat kemanusiaan kita.
Atau bisa juga jangan-jangan ada dosa kita entah yang mana yang menghalangi kabulnya ikhtiar itu. Atau memang belum waktunya, karena bahkan siapa tahu Allah merencanakan tidak hanya solusi, tapi juga keindahan dan berkah yang lebih dahsyat.
Manusia tidak bisa memastikan itu, tapi manusia juga tidak bisa menyimpulkan bahwa tidak begitu. Posisi manusia hanya menerima apa adanya, ikhlas kepada qadla dan qadar, nerimo ing pandum. Kemudian berikhtiar dan berharap. Di atas pengharapan itu paling-paling ada husnudhdhon atau sangka baik kepada Allah dan akhirnya pol ya keyakinan.
Itulah algoritma iman. Itulah dasarnya kenapa kita tidak punya pilihan atau kemungkinan lain kecuali beriman kepada-Nya.
Atau ternyata kita belum punya mutu batin atau kualitas kejiwaan yang membuat Allah memperhatikan kita.
Mungkin juga kebodohan dan kebutaan kita ini keterlaluan, sehingga menutupi proses yang kita perlukan dan nantikan. Atau mungkin Allah sedang merancang kejadian besar, gunung meletus, tsunami meluap, kematian massal, keributan politik atau apapun yang membuat masalah kita menjadi kecil dan terkamuflase, ketelingsut atau dilupakan. Dan ada seribu kemungkinan lain, bahkan tak terhingga.
Manusia tidak tahu itu semua. Tidak sanggup membaca atau apalagi menetapkan dan merumuskan.
Allah sungguh-sungguh mutlak “Maha Maliki Yaumiddin”. Dan kita hanya mungkin, sehingga kita pastikan, untuk melakukan satu hal juga: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Menyembah hanya kepada Tuhan. Tidak boleh kepada orang tua, Guru, Kiai, Presiden, bahkan haram menyembah Rasulullah Saw.
Perlu ditegaskan dan diingat-ingat bahwa “na’budu” bisa berarti menyembah, bisa juga mengabdi. Kita harus mengerti persis penerapan proporsionalnya. Jangan sampai pengabdian kita kepada tokoh yang bukan Tuhan terseret sampai menjadi menyembah.
Banyak contoh dalam kehidupan budaya dan politik di mana seorang tokoh bukan hanya diabdi tapi juga disembah, diperlakukan sebagaimana Tuhan, alias dituhankan.
Fakta sejarah semacam itu akhirnya akan bisa menghancurkan tokoh yang dituhankan, rakyat yang menuhankan, bahkan hancur seluruh Negara dan sejarahnya.
Emha Ainun Nadjib
7 Mei 2023.