Tadabbur Hari ini (52)
IMAN KEPADA ILMUWAN
IMAN KEPADA ILMUWAN
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)
Tetapi kita bukan scholars. Kita tidak terpelajar secara ilmu dan disiplin akademik. Kita tidak terdidik di Universitas apapun kecuali Universitas Maiyah yang cair, super liberal, dan agak abstrak. Kita hanya dikasih tahu idiomatik Qur`ani tentang “laisa kamitslihi syai`un” dan “walam yakun lahu kufuwan ahad”.
لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ
“Tiada satu pun yang sama dengan Allah. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surat Asy-Syura 11)
وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ
Pada umumnya ayat ini diterjemahkan: “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. (Al-Ikhlas: 4)
Tentu tidak salah bahwa “ahad” dipahami sebagai “seorang (pun)”. Tapi kita tidak puas. Kita merasa perlu pemaknaan yang lebih luas: ya apapun, makhluk apapun, itu semua “ahad”. Ya Malaikat ya Jin ya apa dan siapapun saja. Tidak hanya “seseorang” tapi juga segala “sesuatu”.
Tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa bagi umumnya masyarakat modern terutama kaum ilmuwannya yang pandai-pandai dan canggih, pandangan kita itu, termasuk yang kita lakukan dengan tulisan Tadabbur ini adalah perilaku “GR”, subjektif, dan primordial.
Seperti anak kecil yang asyik berkhayal dengan boneka atau apapun di tangannya. Bisa jadi bagi orang-orang pandai dan cendekia, kita ini lucu. Al-Qur`an dengan Al-Fatihahnya yang kita asyik-asyiki sendiri ini kegiatan naif, romantik, dan menggelikan. Tidak bisa diterima sebagaimana orang menerima ungkapan-ungkapan yang ilmiah, aktivitas rasional, terutama yang menurut mereka bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Kita tidak mengerti fisika, apalagi sampai ke tataran dhonn tentang lubang hitam. Teori atau prasangka pengetahuan tentang lubang hitam atau blackhole yang awalnya dicetuskan pada abad ke-18 oleh John Michell dan Pierre-Simon Laplace, selanjutnya dikembangkan oleh astronom Jerman bernama Karl Schwarzschild, pada tahun 1916, dengan berdasar pada teori relativitas umum dari Albert Einstein, dan semakin dipopulerkan oleh Stephen William Hawking, yang dipercaya sebagai manusia ilmuwan jenius Inggris.
Kita juga semakin bengong tatkala diasumsikan lebih lanjut bahwa Lubang hitam terbagi menjadi 4: lubang hitam bermassa menengah, lubang hitam primordial, lubang hitam bintang, dan lubang hitam supermasif yang sering kali ada di pusat suatu galaksi.
Kita tidak punya bekal apapun untuk menerima atau menolak asumsi lubang hitam itu. Kita juga tidak punya hak untuk menagih kepada sang Ilmuwan mana bukti-bukti materiil tentang lubang hitam. Emang punya rekaman kamera dari gadget atau stetoskop dia. Atau mungkin ada bukti-bukti kasat mata yang lain, karena lubang hitam itu ranahnya memang kasat mata. Kalau itu sebatas “hisab” pemikiran dan simulasi imajinasinya ilmuwan, kita hanya punya peluang untuk percaya atau tidak percaya. Dan kalau memang hanya itu peluangnya, mending sekalian saja kita percayanya sama Allah. Sehebat-hebat ilmuwan, kita tidak bersikap sampai mengimaninya. Kita memilih beriman kepada Tuhan saja.
قُلۡ أَتَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَمۡلِكُ لَكُمۡ
ضَرّٗا وَلَا نَفۡعٗاۚ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
“Katakanlah: Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 76)
Akan tetapi kita sangat menghormati, menjunjung, dan berterima kasih kepada semua ilmuwan, para inovator dan inventor, yang nyata-nyata sudah menyumbangkan sangat banyak hasil ijtihadnya kepada peradaban ummat manusia.
Tetapi dengan permohonan agar kita jangan disalahkan kalau tidak memutlakkan mereka, tidak mentuhankan dan menyembah mereka.
Emha Ainun Nadjib
20 Juni 2023.