Tadabbur Hari ini (27)
KERAPUHAN PSIKOLOGIS DAN WUDLU KEHIDUPAN

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 6-7)

Dengan bermacam-macam bentuk dan wilayah kemajuan teknologi yang melapangkan kemudahan-kemudahan di jalanan peradaban, seolah-olah kita sedang menikmati anugerah Allah:

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ

Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka”. (Al-Fatihah: 7).

Tetapi itu tidak menjamin atau dijamin bahwa secara mainstream lantas kita punya kesadaran dan mindset berpikir yang melandasi segala perilaku sehari-hari, keputusan keluarga, masyarakat dan Negara.

Lihat juga

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ

Dan apa saja nikmat yang ada padamu dari Allah-lah datangnya.” (An-Nahl: 53)

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ

Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan sanggup menghitungnya.” (An-Nahl: 18).

Bahkan yang lebih simple dan pragmatis: seluruh kenikmatan setiap hari bahkan setiap saat ini mungkin tidak membuat kita membaca ayat ke-2 Al-Fatihah “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin”.

Apalagi, kebanyakan kita mungkin juga tidak cukup ingat untuk peduli bahwa “jer basuki” itu “mawa bea”. Bahwa setiap kenikmatan dan kemudahan selalu ada ongkosnya. Dan ongkos kemudahan media itu sampai ke tingkat keruwetan karena disinformasi, kebiasaan menelan berita tanpa verifikasi, merebaknya fitnah, penistaan dan penghinaan tanpa kontrol, perpecahan sosial bahkan keluarga, suatu hari mungkin ongkosnya adalah perpecahan Negara.

Sean Parker, rekanan kerja Mark Zuckerberg yang menemukan dan mengglobalisasikan “Facebook” menyesali apa yang dibikinnya: “Facebook mendapatkan popularitas dengan cara memanfaatkan kerapuhan psikologis manusia”. Paralel dengan itu juga pencipta “Twitter”, “Iklan Pop-up”, “Instagram” dan apalagi “TikTok”.

Sementara kita juga bengong-bengong saja, merasa baik-baik saja, tidak melihat ada faktor-faktor yang mengancam, sehingga tidak ada kecenderungan untuk mengingat dan membutuhkan ayat ke-6 Al-Fatihah: “Ihdinas Shirathal Mustaqim”.

Sebenarnya konstelasi dan eksplorasi ilmu pengetahuan manusia juga punya kewaspadaan terhadap masa depan. Mereka punya paket misalnya Futurologi. Mereka punya bagian aktivitas yang mensimulasi masa depan.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Tetapi memang kita tidak serius-serius amat menggagas soal itu. “Qaddamat lighad” itu bisa nanti sore, besok pagi, minggu depan, bulan atau tahun depan, pasca Pemilu sebentar lagi, mulai dekade berikutnya, era yang akan menjelang dan seterusnya. “Ma qaddamat lighadin” itu bisa pakai ukuran angka: setahun, 5 tahun, 30 tahun, 50 hingga 100 tahun.

Kita tenang-tenang saja. Seakan-akan pasti aman sampai Kiamat. Tidak mungkin terjadi hal-hal yang di luar perkiraan kita. Sampai suatu hari “mak bedunduk”. “Innallaha Khobirun bima ta’malun”. Allah mengabarkan secara empiris dan bukti langsung produk dari kelalaian kita terhadap masa depan.

Maka di tengah kekuasaan teknologi global yang memanfaatkan kerapuhan jiwa kita, yang makin membuat kita sangat tergantung dan dikendalikan hampir mutlak — mungkin itu bisa mendorong kita untuk coba melakukan “wudlu kehidupan” lagi, hard reset agar operating system yang baru agak lebih fresh dan suci, maka bagaimana kalau kita coba memperbaharui perjumpaan kita dengan Al-Fatihah.

Emha Ainun Nadjib
25 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button