SUUDHDHON APIK
(Mukaddimah Majelis Maiyah SabaMaiya Wonosobo Edisi Juni 2023)
Tema ini berawal dari obrolan pitulikuran bulan Mei. Ada cerita tentang seseorang yang gagal ikut serta dalam politik praktis, sebut saja gagal nyaleg karena tidak lolos verifikasi oleh partainya.
Yang membuat akal kami tergelitik untuk berpikir lagi meskipun agak ngawur adalah cletukan salah satu jamaah menghikmahi cerita itu “itu adalah suudhdhon apik buat orang yang gagal tadi”. Dari statement itu kami spontan tertawa lepas, bukan karena menertawakan kenaifan namun kontradiksi dalam diksi suudhdhon apik tersebut.
Bagaimana mungkin suudhdhon bisa berujung kebaikan? Apa boleh bersuudhdhon dalam konteks tertentu? Lalu bagaimana implementasinya agar suudhdhonbisa dipakai untuk kebaikan? Bukankah suudhdhon.ini bagian dari penyakit hati berbahaya yang bisa membunuh iman seseorang dan membuat kita jauh dari nilai-nilai agama.
Ber-suudhdhon tentu kita sepakati sebagai sesuatu yang tidak baik. Tetapi terlepas dari nilai baik-buruk menurut moralitas keagamaan atau tata nilai apapun, suudhdhon adalah sesuatu yang bersifat instingtif. Ia tumbuh sebagai sebuah naluri pertahanan. Naluri seperti itu tentu sangat penting bagi manusia untuk melindungi diri. Insting alamiah itu akan melahirkan kewaspadaan.
Coba kita bayangkan, jika sebuah society menjadi apatis karena dianggapnya setiap prasangka buruk selalu dianggap hal terlarang dan dosa. Coba kita bayangkan apa jadinya critical thinking tanpa adanya prasangka buruk, bagaimana penegakan hukum berjalan tanpa diawali dengan suudhdhon? Apa jadinya pemerintah yang agung tanpa kritik sinis penuh prasangka akan kejanggalan sistem dan mekanismenya?
Suudhdhon kepada suatu objek tanpa sebab, tidak dipungkiri merupakan bencana besar dan menjadi bias yang membahayakan masyarakat. Meski demikian, Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, tidak sepenuhnya prasangka dilarang Allah Swt. Menurut Imam Al-Qurthubi, dhon (berprasangka) dalam syariat ada 2 yaitu terpuji dan tercela.
Dhon yang terpuji adalah yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya. Sementara, dhon yang tercela adalah kebalikan lnya. (Tafsir Al-Qurthubi, 16/332). Di antara dhon yang boleh adalah dhon kepada orang yang secara lahiriah (personal), atau terbiasa melakukan kedhaliman secara terang-terangan.
Banyak variabel yang menjadikan seseorang ber-suudhdhon apik, khususnya dalam berpolitik dan bernegara. Apalagi jaman sekarang, dimana kita harus tanggap terhadap dinamika politik di tempatnya masing-masing, agar tidak menjadi objek empuk bagi manusia-manusia yang oportunis.
Untuk menjadi nasi yang pulen, padi harus melalui berbagai proses; dibebeg, ditampih, baru diliwet menjadi nasi yang maknyos konsumsi, meski ujungnya nanti sama, menjadi tai juga. Mungkin begitulah proses ekosistem yang berjalan.
Persoalannya adalah suudhdhon yang dibiarkan tumbuh bebas, akan menjadi destruktif bagi jiwa kita. Suudhdhon yang tidak diberi limitasi akan berkembang menjadi kecurigaan-kecurigaan yang justru membuat kita mengalami berbagai kecemasan. Naluri dan insting perlindungan yang berlebihan malah berakibat kita mendapat musuh berbahaya, yaitu rasa waswas yang muncul dari dalam diri kita sendiri.
Berangkatl dari guyonan pagi buta kemarin, edisi SabaMaiya bulan Juni ini akan mengurai dan sinau, mendiskusikan bagaimana bers-suudhdhon apik dengan proporsional, baik dalam bermasyarakat, bernegara serta dalam menjaga kerukunan berumah tangga.
(Redaksi SabaMaiya)