SUMPAH TERMUDA, MEMAKNAI PERJALANAN SEBAGAI MANUSIA YANG SEMESTINYA

(Liputan Sinau Bareng Edisi ke-66 Semesta Maiyah Lamongan, 30 Oktober 2022)

Majelis Ilmu Semesta Maiyah Lamongan sudah melingkar pada penyimpulan edisi ke-66 pasca memperingati 6 tahun perjalanannya pada bulan September kemarin. Seperti biasanya, Maiyahan diawali dengan Wirid PadhangmBulan, Duh Gusti, dan Mahallul Qiyam yang dipimpin oleh Mas Oni dan Mas Salis.

Kita kembali menyelami samudra ilmu Allah sebagai kewajiban manusia untuk selalu menuntut ilmu dari lahir sampai liang lahat, belajar saling mengisi dan mengeksplorasi apa yang ada dalam pikiran kita. Sumpah Termuda menjadi tema kita pada edisi ke-66 ini, menyambung moment peringatan Sumpah Pemuda yang kata “Pemuda”-nya diganti menjadi “Termuda” atau bisa diartikan paling awal.

Mas Hummam membuka dan memoderatori diskusi kali ini dengan memantik ayat Al-Qur’an (al-A’raf: 172). Diwujudkan melalui persaksian yang termaktub dalam ayat tersebut, menjelang manusia dilahirkan ke muka bumi, ruh yang mendiami manusia sebelumnya telah melaksanakan sumpah kepada Tuhannya, sebagai Dzat Sesembahan.

Dilanjut dengan sedikit memaparkan Mukadimmah yang sudah dibagikan melalui grup WhatsApp. Sumpah termuda adalah ikatan ikrar makhluk yang paling awal (muda, maskumambang) kepada sang Khalik, bersaksi bahwa Dialah Dzat Yang Disembah dan layak, satu-satunya, tiada yang lain. Yang kemudian ditiupkan ruh sebagai isi dari wadah jasad yang kemudian lahir (mijil) ke muka bumi dengan sebutan manusia yang kita kenal selama ini.

Pengetahuan kita tentang sumpah termuda atau sumpah paling awal kepada kita sampai saat ini terbatas pada teks dan wacana. Proses panjang itu tentu membutuhkan refleksi mendalam selama kita terlahir menjadi manusia. Pada perjalanan panjang manusia, fitrah bahwa manusia telah bersaksi kepada Tuhannya akan selalu membayangi langkah manusia, tetapi fitrah tersebut seakan terhapus akibat dari pola manusia yang bertingkah semaunya menuruti sisi “gawan” dari manusia, yakni nafsu yang berlebih.

Kemudian teman-teman aktif menyambung diskusi. Respons disampaikan oleh Cak Harianto, yang pertama kenapa kita disuruh bersumpah, berarti sebelumnya sudah ada informasi mengenai keberadaan Tuhan bahwasannya kita sudah menyaksikan dan mengalami peristiwa-peristiwa. Seperti ketika kita menemukan pasangan, sebelumnya pasti sudah mendapatkan informasi-informasi, bahwasannya orang itu perhatian, sederhana, sopan, dst. Tidak mungkin tanpa ada peristiwa atau informasi sebelumnya tiba-tiba kita disuruh bersumpah.

Yang kedua, mengnapa terminologi dalam ayat tersebut disampaikan alastu birobbikum kok tidak alastu billah, Tuhan Yang Paling Maha (Raja di Raja), seakan-seakan Tuhan itu menakutkan. Di situ robbi, Maha Pengasuh, agaknya konteks yang ingin Allah bangun disitu adalah hubungan kemesraan antara Hamba dengan Tuhannya, bukan atasan-bawahan, Allah mengajak bermesraan dengan Hamba-Nya.

Tanggapan lain dari Mas Agus yang menyatakan bahwa sepertinya kita sebagai manusia berjalan kembali akan kesucian kita ketika ruh itu ditiupkan dan akan menyatu bersama-Nya kembali, berusaha menjalani kehidupan dengan memaknai setiap sumpah yang tidak hanya kita ucapkan tapi kita berusaha memaknai setiap saat. Sehingga, harapannya, kita nantinya semoga akan fitrah kembali seperti awal kita diciptakan. Meneruskan perjalanan sebagai manusia yang semestinya.

Kita berjalan kembali berusaha merasakan kemurnian-kemurnian sebagai manusia, bahwa menjadikan Allah Swt. sebagai sesembahan, jelas menjadi tujuan semua makhluk. Dengan keadaan manusia bagaimanapun tentu “kerinduan” untuk menyapa, sumpah akan menjadi teman di ruang sepinya manusia. Beberapa menit waktu menjelang tengah malam Mas Hummam memungkasi.

Pertemuan kita diedisi ke-66 ini diakhiri dengan wirid Hasbunallah dan Sohibu Baity dipimpin oleh Mas Oni dan Mas Salis. Sampai bertemu kembali di kemesraan-kemesraan selanjutnya.

Lihat juga

Back to top button