SECUIL SURGA DI ANGKRINGAN DAN MAIYAHAN
Tanggal 17 nanti, rencananya saya akan merapat ke Majelis Mocopat Syafaat edisi Mei. Sudah lamaaa rasanya tidak menikmati aura pitulasan secara langsung. Mumpung esoknya libur (18/5), maka kesempatan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Siapa pun saja yang pernah hadir di acara Mocopatan, hampir pasti ada rasa kangen untuk datang ke sana lagi. Menimba ilmu, seraya melepas rindu.
Jenak. Santai. Gayeng. Kondisi itulah yang jamaah rasakan ketika melingkar di forum Mocopat Syafaat. Duduk lesehan berjam-jam menyimak paparan dari para narasumber. Ada pula sesi diskusi, tanya jawab, workshop, suguhan musik, hingga ragam persembahan hiburan yang lain. Kopi, udud, gorengan, nasi bungkus, dan mie rebus tersedia di lapak sekitar lokasi. Itu semua sangat membantu agar mripat tidak ngantuk, dan perut krucuk-krucuk (laper).
Kalau boleh dianalogikan, suasana Maiyahan tak ubahnya seperti ngangkring di Angkringan. Siapa yang tak pernah ngangkring (Yogya), atau ngehik (Solo)? Saya yakin kita semua pernah. Bahkan mungkin ngangkring telah menjadi ritual sehari-hari. Mbuh esuk, awan, sore, opo mbengi, selalu disempatkan untuk ke Angkringan. Pokoke nek sedino ora ngangkring/ngehik malah aneh. Kurang lengkap rasane. Ada yang mengalami kayak gitu?
Lalu apa tujuan ngangkring? Ya sudah jelas makan dan minum. Itu yang utama. Di sana (Angkringan) tersaji nasi, lauk, gorengan, cemilan, hingga aneka wedangan. Ada teh, kopi, susu, wedang jeruk, wedang jahe. Nah, kalau ngangkring, saya paling suka minum wedang jahe gula batu. Oh ya, tak ketinggalan rokok filter yang biasanya dijual eceran.
Kegiatan di Angkringan tidak hanya berhenti pada urusan makan dan minum saja. Di sela atau seusai makan, terjalinlah interaksi. Ngobrol. Sharing. Rembugan. Tukar pendapat. Udar roso. Cerito. Dll. Antara pembeli dengan pembeli. Antara penjual dengan yang jajan. Atau sesama rombongan yang duduk lesehan melingkar dan makan bersama. Sama seperti Maiyahan, suasana jenak, santai, dan gayeng juga tercipta di gelaran tikar, dan bangku-bangku Angkringan.
Allah Swt berfirman dalam surah Al Insan ayat 17.
“Wa yusqouna fiihaa ka-sang kaana mizaajuhaa zangjabiilaa. Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe.”
Ayat 5 – 22 surah Al-Insan menggambarkan tentang tempat yang amat indah bernama surga. Surga yang diberikan Allah kepada orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan salah satu kenikmatan di surga itu disebutkan pada ayat 17 di atas. Bahwa di surga nanti mereka diberi segelas minuman bercampur jahe. Sik-sik. Sebentar. Kok jahe. Kenapa jahe? Bukankah tempat yang identik menjual wedang jahe itu Angkringan? Bukankah kita biasa beli dan menikmati minuman jahe juga di Angkringan? Bukan di tempat lain!
Dengan memakai logika tadabbur sederhana, kita bisa mencerna (memahami-menghikmahi) surah Al-Insan ayat 17, dari dua sisi. Sisi manusia (dunia), dan sisi Tuhan (akhirat). Dari sisi manusia dapat diartikan, jika ingin mencicipi “surga”, caranya gampang. Cukup datang dan minumlah wedang jahe di Angkringan. Engkau akan merasakan hangat, nikmat, dan tubuh menjadi sehat. Nikmat paling nikmat adalah sehat. Adakah yang lebih berharga dari itu?
Sedangkan dari sisi Tuhan, seolah-olah Dia ingin mengabarkan kepada kita (manusia), bahwa kehidupan di surga kelak itu bikin jenak, santai, dan gayeng. Tidak ada susah-payah. Nelangsa dan gelisah. Adanya sukacita. Gembira. Menggembirakan. Persis dengan suasana Maiyahan/ saat di Angkringan. Wallahu a’lam.
Sampai jumpa di Mocopatan, kawan.
Gemolong, 10 Mei 2023