RIHLAH UKHUWAH MAIYAH
Perjalanan (Rihlah) dengan agenda utama mengikuti Silatnas Maiyah yang dihelat di Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta pada hari Ahad 11 Desember kemarin sangat memberi kami kegembiraan dan kebahagiaan yang sangat mengesankan. Bagaimana tidak, perjalanan kami mewakili simpul Maiyah Papperandang Ate Mandar sejak dini hari 7 Desember 2022 berangkat dari Tinambung Polewali Mandar menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dengan rute Makassar–Semarang; kami tiba Rabu siang 7 Desember di Bandara Ahmad Yani dan langsung disambut salah seorang saudara Maiyah kami di Semarang yaitu Mas Wakijo yang sejak beberapa jam lalu menunggu kami di bandara.
Setibanya di Kota Lumpia Semarang kami yang berjumlah 6 orang langsung dibawa Mas Wakijo menuju sebuah Rumah Makan yang menyajikan makanan khas Jawa. Nah, dari sinilah perjalanan Rihlah Ukhuwah Maiyah kami mulai setelah makan siang. Kami diantar menuju ke Kota Batik Pekalongan. Perjalanan yang terbilang jauh itu mengantarkan kami bertemu dengan saudara kami di Simpul Maiyah Suluk Pesisiran yang menghimpun anak-anak muda di Pekalongan. Di Pekalongan Mas Djoko Pitoyo, salah seorang sesepuh Maiyah Suluk Pesisiran, menyiapkan tempat istirahat di Aula Yayasan Al-Ma’shum, Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan di mana beliau menjadi ketuanya.
Di Pekalongan tiba maghrib Rabu itu kami disuguhi makan malam dan beberapa saat kemudian saudara-saudara simpul Maiyah di sekitar Pekalongan berdatangan atas koordinasi Mas Djoko. Bahkan saudara dari Cirebon Simpul Maiyah Cirrebes datang mengendarai motor dengan perjalanan sekitar 4 jam untuk menyambut kami. Setelah beberapa saudara Maiyah berkumpul kami pun saling berkenalan dan mengikuti diskusi perihal Masa Depan Maiyah yang menjadi tema Silatnas tahun ini. Diskusi asyik dan gayeng ini tak terasa berlangsung sampai jam 3 dinihari dan membuahkan beberapa pemahaman atas kondisi simpul-simpul Maiyah yang hadir pada malam itu serta bagaimana aktivitas Maiyahan sebelum dan selama masa pandemi ini.
Besoknya, Kamis pagi, kami diajak keliling dimulai dari ziarah di makam Habib Ahmad bin Mustofa Al Attas dan Habib Hasyim Bin Umar Bin Yahya. Sehabis itu kami diantar Mas Djoko menuju pasar Pekalongan untuk belanja oleh-oleh batik. Sehabis itu ke masjid Agung Pekalongan untuk menunaikan shalat dhuhur. Setelah shalat kami menikmati makan siang kuliner khas Pekalongan dan singgah sejenak di Markas Kanzus Shalawat pimpinan Habib Luthfi Bin Yahya.
Tak terasa hari sudah sore dan Jamaah Maiyah Maneges Qudroh simpul Magelang telah menunggu kami di markasnya yang terletak di Desa Borobudur. Udara Magelang yang terasa dingin menyambut kami setelah diantarkan langsung oleh Mas Djoko. Para aktivis Maiyah Maneges Qudroh telah berkumpul malam Jumat itu dengan sambutan yang hangat dan langsung mempersilakan kami untuk duduk dan menikmati sajian kopi dan makan malam. Begitu terasa erat persaudaraan atau Ukhuwah Maiyah di mana kami yang belum berkenalan langsung merasa bersaudara dengan password Maiyah meskipun tanpa ada hubungan darah tapi terasa sudah sangat akrab.
Di Magelang juga sudah menunggu Mas Akbar asli Wonosobo tapi tinggal dan banyak beraktivitas di Yogya. Mas Eko sebagai tuan rumah menyediakan tempat istirahat di panti Pesantren Daarus Sundus di mana beliau bertugas sebagai pimpinan pondok ini. Setelah dibuka diskusi oleh Mas Djoko, Mas Eko menyambut dengan memperkenalkan semua aktivis Maiyah Maneges Qudroh yang hadir malam itu. Kemudian, giliran kami memperkenalkan semua saudara Mandar yang berkesempatan ke Jawa. Pak Ahmad Saihu, salah seorang cucu KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo, ikut juga membersamai dalam rombongan Mandar sekaligus mengantar putranya yang dalam tahap penyelesaian S2 di UNY langsung ikut larut melebur dalam ukhuwah Maiyah ini.
Setelah menempuh perjalanan jauh kami dipersilakan beristirahat di aula Pesantren tersebut agar besoknya kami fit untuk berkeliling tamasya di Candi Borobudur dan sekitarnya. Hari Jumat yang cerah dengan cuaca yang bersahabat mengawali aktivitas pagi itu dengan agenda wisata ke Candi Borobudur dan beberapa tempat wisata di sekitarnya. Dengan menaiki mobil antik VW kami bergerak menuju Candi Borobudur yang baru dalam sejarah hidup kami masuk lewat jalur VVIP memasuki lokasi Candi hanya sekitar 20 Meter. Kami jalan kaki melihat-lihat kondisi Candi terkini. Wisata kami di Candi ini terbilang istimewa. Mungkin adalah salah satu berkah Maiyah dengan fasilitas aktivis Maiyah Magelang. Kondisi Candi Borobudur sejak 2019 lalu tak bisa lagi dinaiki oleh para pengunjung. kami hanya berkeliling di bawahnya sambil menikmati salah satu keajaiban dunia itu.
Udara Magelang yang cukup segar dengan atap mobil VW yang sengaja dibuka mengantarkan kami dari Candi Borobudur ke Candi Pawon yang terletak tak jauh dari Borobudur. Setelah keliling dan Jumatan kami diajak makan siang di Rumah Makan Gali Pensiun, milik salah seorang aktivis GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah) yang ikut tergabung dalam FAUIB (Forum Aliansi Umat Islam Bersatu) yang salah satu komandannya adalah Mas Anang yang juga aktivis Maiyah simpul Magelang.
Setelah itu kami sowan ke Pak Tanto Mendut sahabat Mbah Nun yang tinggal di Mendut. Beliau bercerita dan mengupas tentang seksualitas dan perempuan Jawa-Mandar, dan sore mulai tiba, kami kembali lagi menuju ke Aula Pesantren tempat menginap kami selama di Magelang. Sehabis cuci badan dan shalat maghrib kami diundang oleh Pak Habib ketua Yayasan Daarus Sundus ke tempat beliau yang tak jauh dari pesantren Daarus Sundus yakni di Komplek Pesantren Fatimah Azzahra. Bersama istri beliau yang baru melaksanakan ibadah umrah kami disambut, ternyata saat itu beliau syukuran dengan para ibu-ibu majelis ta’lim. Kami di rumah itu disuguhi air zam zam, kurma, dan makan malam.
Sesuai agenda sebelumnya pada malam Sabtu itu sehabis Isya’ para aktivis Maneges Qudroh mengadakan Sarasehan Maiyah kumpul- kumpul dalam rangka sinau bareng, membicarakan Mandar, Mbah Nun, Imam Lapeo, Bunda Cammana, dan Papperandang Ate Teater Flamboyant. Ruangan aula yang cukup luas dipadati para jamaah yang hadir. Sarasehan dibuka dengan tawashshulan dan wirid Maiyah. Setelah itu kami dipersilakan memperkenalkan diri dan berbicara tentang Mandar hubungannya dengan Mbah Nun dan sebagainya.
Sarasehan asyik tersebut berlangsung sampai jam 12 malam. Malam itu rencana kami akan langsung ke Yogyakarta tapi berhubung sudah larut malam dan Mas Akbar yang akan mengantarkan kami ke Jogja menyarankan kami untuk istirahat dulu dan besok pagi-pagi sekali baru ke Jogja.
Nah, setelah dua malam menginap di Magelang pada Sabtu pagi 10 Desember kami berangkat ke Yogya. Kami bertiga berangkat duluan bersama Pak Ahmad Saihu dan Mas Walid putra beliau yang kuliah di Yogya menuju asrama Polewali Mandar Todilaling yang terletak di Jalan Tamansiswa. Adapun Mas Aslam, Bang Udin, dan Bang Abu Bakar menyusul ke Jogja bersama Mas Akbar langsung ke Kadipiro Jogja. Siangnya setelah bertemu Cak Zakki dan Mas Helmi tanpa terencana Mbah Nun datang di Kadipiro dan kami yang baru saja jalan-jalan di Malioboro segera balik ke Kadipiro untuk sowan kepada Mbah Nun dan bertemu para saudara aktivis Maiyah Kenduri Cinta Jakarta yang juga baru tiba di Kadipiro.
Pertemuan yang sangat kami rindukan dengan Mbah Nun setelah beberapa tahun beliau tidak sempat ke Mandar membuat kami cukup terharu. Di usia hampir 70 tahun beliau masih aktif membersamai anak-anak cucunya di Maiyah di berbagai Simpul. Mbah Nun dengan wajah yang sumringah menyelipkan dalam dialog kami pengingat dan nasihat yang berharga bagi kemajuan Islam dan kehidupan beragama. Beberapa saat kemudian ditemani Mas Gandhi, Mbah Nun pamit menuju kediaman beliau.
Hari sudah mulai sore dan beberapa perwakilan simpul mulai berdatangan di Kadipiro. Malam Minggu yang padat di Yogya membawa kami kembali ke Malioboro melihat suasana malam di Malioboro. Sementara itu di Yogya sehabis akad nikah Kaesang putra Jokowi Presiden RI, tampaknya Istana Negara di Yogya lagi ramai dengan pengamanan dari TNI-Polri tak lama berselang kami yang menikmati lesehan melihat rombongan presiden Jokowi keluar dari istana menuju ke Solo.
Setelah malam mulai larut kami kembali ke Kadipiro untuk beristirahat. Tampaknya banyak sudah perwakilan simpul Maiyah yang berdatangan dari berbagai daerah. Tampak terlihat ada juga yang nongkrong di SyiniKopi Kadipiro berbincang santai dan saling bersilaturahmi. Dari Mandar juga ada seorang yang baru tiba menyusul kami yaitu Bang Asmadi adik almarhum Bang Ali Syahbana yang sudah masuk masa purna Bakti di Pemkab Pasangkayu Sulbar. Kami pun memasuki kamar yang sudah disiapkan di kadipiro untuk rehat melepas lelah.
Hari Minggu pagi dimulailah kegiatan kami bersama perwakilan simpul dari berbagai simpul di berbagai penjuru dunia. Masing-masing perwakilan diminta memperkenalkan diri dan rombongannya serta mempresentasikan kegiatannya selama ini termasuk di masa Pandemi. Semua terlihat senang dan menikmati Silatnas ini dan pada sore hari Mas Sabrang yang baru tiba bersama grup Letto dari Bali mengisi Silatnas ini dengan berbagai wacana pergerakan Maiyah dan disambung dengan dialog dari yang mewakili teman-teman peserta Silatnas.
Malam harinya Pak Edi Junaedi aktivis senior mengisi dengan wacana peta politik hari ini dan bagaimana tren pergerakan Maiyah ke depan. Setelah itu ada umpan balik dari peserta. Tampak Mbah Nun mengamati diskusi ini dari luar aula Kadipiro. Beberapa saat kemudian baru saja tiba Romo Manu, Pak Muhammad yang menyerahkan Keris Kyai Sengkelat kepada Mbah Nun, dan beberapa sahabat Mbah Nun. Shalawat Mahallul Qiyam dinyanyikan dan Mbah Nun bersama para sahabat tamu pun menaiki traft yang telah disediakan.
Lalu Mbah Nun memperkenalkan satu persatu sahabat beliau yang hadir. Setelah melambari pertemuan Silatnas pada malam itu yang juga diisi dengan prosesi penyerahan Keris Kyai Sengkelat tersebut, Pak Muhammad “Sahibul Keris” dipersilakan berbicara mengapa sampai Keris itu diserahkan kepada Mbah Nun dan dilanjut tentang penjelasan Romo Manu, yang ahli membaca naskah naskah kuno di Jawa, perihal keris dan peradaban Jawa. Sampai sekitar jam 11 malam kegiatan Silatnas pun berakhir.
Hari Senin pagi setelah tuntas urusan di Yogya kami berlima diantarkan Mas Akbar bertolak menuju Jombang ke markas ibu Maiyah (Padhangmbulan) di Desa Mentoro Sumobito. Di sana telah menunggu Cak Nang, Lek Ham, dan Mas Pram Kepala Dusun Mentoro. Kami bersegera berziarah di Sentono Arum tempat makam ibu, ayah, dan para keluarga dekat Mbah Nun. Setelah ziarah, kami menuju Ndalem rumah Mentoro.
Kami berbincang-bincang dengan Cak Nang, Lek Ham, Mas Pram dengan disuguhi teh hangat dan jajanan Martabak khas Mentoro. Sehabis shalat isya di Musholla kembali kami disuguhi makan malam. Karena juga harus ke Malang sowan dengan Mbah Fuad Effendy yang sudah sangat sepuh kami pun pamit untuk beranjak menuju Malang. Diantarkan oleh salah seorang pegiat Padhangmbulan dan berpisah dengan Mas Akbar yang harus kembali ke Yogya.
Melalui jalur Batu Malang yang berliku-liku sekitar 3 jam perjalanan kami tiba jam 12 malam di Rumah Al-Manhal Markas Maiyah Malang Raya yang berhadapan dengan Rumah Mbah Fuad Effendy. Di tempat ini Cak Dil, Cak Haris, Cak Yasin dan kawan-kawan aktivis Maiyah Malang Raya sudah berkumpul menanti kami. Setelah rehat disuguhi kopi dan makanan khas Malang kami memperkenalkan diri.
Tampak raut wajah kegembiraan dan ketulusan dari wajah-wajah saudara Maiyah yang menyambut kami di berbagai tempat membuat perjalanan ini tidak begitu melelahkan. Setelah diskusi sejenak di tempat itu penggiat simpul Maiyah Malang menyediakan dua kasur dan dua orang teman Maiyah yang pandai memijat. Kami pun dipijat dan kelelahan yang kami rasakan hilang seketika. Sekitar jam dua kami masuk kamar dan beristirahat.
Selasa pagi 13 Desember kami diperkenankan oleh Mas Amal putra Mbah Fuad Effendy untuk sowan dan berkunjung ke rumah beliau. Dengan raut kegembiraan dan penuh senyum Mbah Fuad menyambut kami. Setelah perkenalan kami ditanyai tentang kegiatan kami di Papperandang Ate dan beliau juga menjelaskan tentang kegiatan di Rumah Maiyah al-Manhal yang beliau dirikan.
Karena kami memaklumi kondisi beliau yang sudah sepuh kami tak boleh berlama-lama dan kami pun berpamitan untuk bertolak menuju ke Surabaya diantarkan oleh Cak Haris sesepuh Bangbang Wetan simpul Maiyah Surabaya yang sekitar setahun lalu hijrah dan menetap di Malang. Perjalanan yang kami lalui lewat Sidoarjo terasa asyik diselingi canda Cak Haris. Melewati Porong tempat Lumpur Sidoarjo kami tiba di Surabaya, di Kayoon Heritage. Cak Rahmad sesepuh Maiyah Bangbang Wetan bersama Mas Dudung dkk sudah menunggu kami. Dan sepertinya menjadi tradisi Maiyah kalau sudah tiba waktu makan kami disuguhi siang itu kopi, jus, dan makan siang di Kayoon Heritage yang dikelola oleh Cak Rahmad disulap menjadi Cafe dan tempat Maiyahan Bangbang Wetan.
Karena habis Maghrib jam 19.00 jadwal keberangkatan pesawat kami dari Bandara Surabaya, maka setelah bersilaturahmi dengan JM Bangbang Wetan, kami bergerak menuju Bandara Juanda diantarkan Mas Ilyas JM Bangbang Wetan. Tetapi sebelum masuk Bandara, kami mampir di rumah sedulur Mandar kami di Sidoarjo yaitu Bu Nadirah. Beliau sudah menjadi warga Sidoarjo bersama anaknya. Kami dipersilakan mampir dan diberikan oleh-oleh khas Sidoarjo. Perjalanan yang terasa singkat tapi sungguh sangat berkesan buat kami pada rihlah ukhuwah Maiyah tahun ini.
Betul-betul terasa berkah Maiyah mengalir dan memerciki kami. Persaudaraan Maiyah sangat erat terasa sejak hari pertama kedatangan kami di tanah Jawa sampai tiba saat harus kembali ke tanah Sulawesi. Berkah, berkah, berkah dan alfu mabruk buat semua saudara kami yang telah susah payah mengurus kami selama di Jawa. Jazakumullah ahsanal jaza’ dan sampai bertemu lagi di lain waktu dan kesempatan.
Jawa-Mandar, 7-14 Desember 2022