REPORTASE TAWASHSHULAN LINGKAR MAIYAH SEDULUR PASURUAN

Rabu malam, awal tahun Hijriah terasa begitu cerah. Di sepanjang jalanan Pandaan menuju Prigen masih tampak beberapa kelompok anak dan Shohibul masjid berpawai obor untuk merayakan tahun baru Islam, meskipun rata-rata masjid di desa-desa berpawai obor saat malam tahun baru. Iring-iringan tersebut mengelilingi jalan raya dengan berbusana muslim sembari membawa obor yang dibuat dari bambu. Tak hanya itu, untuk menambah meriahnya suasana, mereka juga memainkan alat musik rabana dan gendang.

Sepanjang perjalanan, shalawat dan pujian kepada Allah Swt. dilantunkan bersama-sama untuk menunjukkan rasa syukur. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua dapat bergabung memeriahkan suasana pawai, itu menjadi simbol menjalin silaturahmi sesama manusia untuk memaknai arti Muharram yang bermakna terlarang, yang artinya dalam bulan ini haram untuk memulai peperangan dan pertumpahan darah.

Obor melambangkan sebuah cahaya dan petunjuk dalam perjalanan spiritual. Sebagai cahaya yang menerangi jalan untuk menuju tahun baru, juga melambangkan petunjuk dan arahan dalam menjalani kehidupan yang lebih baik dan bermakna.

Senada dengan itu, di malam Rebo Legi pasaran Jawa kelahiran Mbah Nun Paseduluran Maiyah Pasuruan menghelat Tawashshulan yang isinya serangkaian doa yang ditujukan untuk mendoakan kesembuhan dan kesehatan Mbah Nun dan sebuah ikhtiar doa pengharapan baik di masa-masa yang akan datang, baik bagi pribadi jamaah, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan semesta.

Di antara dinginnya hawa pegunungan Prigen dan temaram malam, para sedulur Maiyah khusyuk melantunkan wirid dan shalawat. Sapuan-sapuan musik hasil kolaborasi antara grup shalawat Gawat Darurat dan Padhang Howo semakin mengantarkan kekhusyukan dalam bertawashshul.

Lihat juga

Setelah hikmadnya wirid dan sholawat, kegiatan dilanjutkan dengan saling memperkenalkan diri dan percakapan tentang tema ‘Merangkai Cahaya Di Awal Warsa.’

Percakapan dibuka oleh Pak Kodir, salah satu jamaah Padhangmbulan generasi awal. Beliau mengungkapkan rasa syukurnya atas terangkainya ikatan silaturahmi antara jamaah Maiyah di Pasuruan secara lintas generasi. Hal tersebut membuat semangat beliau semakin besar dalam bermaiyahan. Beliau mengapresiasi kesungguhan para generasi muda Maiyah Pasuruan dalam menyerap, memegang, dan memercikkan cahaya-cahaya dari Mbah Nun.

Obrolan dilanjutkan dengan saling memperkenalkan diri dan saling berbagi cerita dan pengalamannya tentang persentuhan masing-masing dengan Maiyah dan terutama Mbah Nun.

Seperti kita ketahui bersama, ciri khas diskusi Maiyah adalah obrolan serius namun santai yang mampu menyentuh banyak sisi dan aspek, yang memiliki spektrum luas. “Nggladrah” namun tetap pada alur ruh utama tema, itulah yang membuat Sinau bareng Maiyah menjadi istimewa, membuat betah meski duduk berlama-lama. Ada keikhlasan untuk saling berbagi, ada kerendahan hati untuk bertanya dan mencari solusi, ada kedewasaan hati untuk saling menghargai pendapat dari setiap diri.

Diskusi mengalir, mulai dari Mas Agus Wirajati, Mas Dimas, Mas Jufri ikut bercerita.

Kami kedatangan teman Jama’ah Maiyah lama yang ikut berbagi kisah disini, beliau adalah Mas Yudi Rahmat Malang Penggiat Maiyah Religi Malang dan Kaji Haris Penggiat Bangbang Wetan Surabaya sekaligus pemimpinnya Umat Protolan.

Jika menilik Piramida kebutuhan Maslow, terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Semua itu ada di Maiyah.

Mbah Nun pernah menulis; Maiyah adalah apapun yang kita alami — kegembiraan atau kesedihan, kekayaan atau kemiskinan, kesepian atau tidak kesepian, di kesunyian atau di keramaian, dalam keadaan sehat atau sakit, dalam kekalahan atau kemenangan — selalu kita bersama Allah dan Rasulullah. Malam itu semua bersama-sama saling merangkai cahaya untuk lebih meneguhkan diri sebagai “manusia.” Seperti yang tertuang dalam puisi Mbah Nun :

“Manusia mengembarai langit
Manusia menyusuri cakrawala
Tidak untuk menguasainya
Melainkan untuk menguji dirinya
Apakah ia bertahan menjadi manusia
Tidak untuk hebat, kuasa, atau perkasa
Melainkan untuk setia sebagai manusia”

Pada intinya, menapaki tahun yang baru, Paseduluran Maiyah Pasuruan menghaturkan doa dan harapan atas kesadaran sebagai manusia yang tak berdaya apa-apa, agar seluruh zeptosecond dalam kehidupan senantiasa diliputi oleh cahaya Ilahi, dan segala daya dan kuasa senantiasa mendapat pertolongan dari Allah Yang Maha Agung dan Tinggi.

(Redaksi Lingkar Maiyah Sedulur Pasuruan)

Lihat juga

Back to top button