TIDAK MENYERAH DENGAN RAHMAT ALLAH

Ada email masuk ke redaksi. Tidak ada identitasnya. Sengaja kami tayangkan disini di rubrik Maiyah Wisdom — untuk berbagi hikmah.

Sebenarnya saya sudah lama ingin mengirim email ini, tapi entah mengapa selalu minder kalau sudah mau menyusun kata.
Sekarang saya nekat saja. Perkara dibaca atau tidak, saya tidak peduli. Yang penting saya sudah menyampaikan apa yang perlu saya sampaikan.

Perkenalkan, saya adalah seorang laki-laki punya istri dan satu anak yang masih berumur 2 tahun. Hidup saya pas-pasan. Dalam artian pas butuh pas ada, jadi bagi saya itu efesien sekali, tidak perlu sulit memikirkan tabungan, menjaga kerajaan bisnis dan lain sebagainya. Saya tinggal di sebuah kota kecil diantara dua kota besar. Profesi saya adalah pedagang kecil yang Alhamdulillah melalui dagang itu Allah mencurahkan Rahmatnya kepada keluarga saya.

Langsung saja. Runtuh hati saya ketika mendengar mbah Nun sakit. Hampir setiap hari saya menangis walau hanya sebentar. Buka website caknun.com, direfresh terus-menerus menunggu kabar terbaru dari mbah Nun. Istri saya menyarankan agar terus-menerus mendoakan mbah Nun agar diberi kesembuhan oleh Allah.

Posisi saya ini sebenarnya tidak jelas. Apakah saya termasuk jama’ah Maiyah? Saya tidak tahu. Apakah saya mengidolakan mbah Nun? Tentu tidak! Saya tidak mengidolakan mbah Nun. Saya mengidolakan Rasulullah Muhammad, yang mana saya dikenalkan lebih jauh kepada Muhammad salah satunya diantarkan oleh mbah Nun. Saya tidak mengagumi sosok mbah Nun. Saya mengagumi cara beliau berfikir, memandang, mendengar, bertindak dan bersikap.

Saya belum pernah dep-depan langsung di depan mbah Nun. Saya tidak bernyali untuk itu. Pasti saya bergetar, menangis dan batal cinta saya kepada beliau. Sebenarnya pingiiin banget saya bertemu mbah Nun, salaman, memeluk barang sebentar, tapi saya tahu diri, saya itu orang yang labil dan belum teteg hatinya. Saya takut kalau bertemu langsung cinta saya malah memudar dan hanya kepada sosok jasad beliau, hanya fisiknya saja. Padahal fisik itu tidak awet. Selain itu saya juga sampai sekarang sebisa mungkin merahasiakan dari orang lain kalau saya sering baca buku mbah Nun, baca artikel dan esai di website, nonton youtube caknun.com dan juga sesekali ikut di mocopat syafaat. Pengecut memang. Saya takut kalau2 saya berbuat jelek dan orang tahu kalau saya itu sering ngangsu kawruh bersama jamaah maiyah, nanti yang kena jeleknya bukan cuma saya, tapi mbah Nun dan saudaraku di maiyah juga kena.

Pernah ada yg tak sengaja tahu saya baca buku mbah Nun, trus dia nanya: “kamu pengikutnya caknun ya?”
Aku jawab: “Ngapain Cak Nun diikuti? Cak Nun itu orang nggak jelas. Wong ngikuti nabi Muhammad saja susahnya setengah mati, masak mau ngikuti Cak Nun?”
Mohon maaf jika perkataan saya ini terkesan merendahkan mbah Nun. Tapi demi Allah saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya menghindarkan mbah Nun dari fitnah akibat kerendahan dan kehinaan diri saya.

Saya mengenal mbah Nun sejak SMA. Waktu itu saya tidak sengaja mendengarkan lagu wirid orang tertindas di tape milik warung makan. Saya tertarik dengan nada dan liriknya. Lalu ketika saya bersih-bersih gudang asrama, saya menemukan buku mbah Nun Anggukan Ritmis Kaki pak Kiai.” Buku itu sudah rusak, jadi saya hanya bisa baca beberapa bagian saja. Dan saya langsung tertarik dengan cara berfikir mbah Nun.

Beberapa tahun berikutnya saya baca buku mbah Nun dari pinjaman karena saya tidak punya uang buat beli buku, dan waktu itu Caknun.com belum serapi sekarang. Youtubnya pun kayaknya belum ada. Hanya orang2 yg upload dari kamera yang masih burek.

Lalu Alhamdulillah saya berkesempatan melanjutkan pendidikan di Jogja. Saya dangat senang karena ada mocopat syafaat. Di sini saya bisa menatap mbah Nun dan mendengar lantunan musik Kiai Kanjeng secara langsung. Saya juga tidak rajin2 amat berangkat mocopat syafaat, karena saya harus bekerja untuk hidup di Jogja.

Pernah saya punya kesempatan salaman langsung dengan mbah Nun, tapi saya urungkan. Karena saya kasihan kepada beliau dan takut kalau beliau kecapekan. Jadi saya salaman hanya dalam hati saja dari kejauhan.
Sebenarnya masih banyak cerita pengalaman saya saat bersama jamaah maiyah.

Hidup saya benar-benar pernah hancur dan saya hendak memutuskan bunuh diri. Trus saya ingat kalau malam itu tanggal 17, jadi saya mengurungkan bunuh diri saya dan berangkat ke Kasihan, dan berencana mengeksekusi diri saya sepulang dari mocopat syafaat. Tapi apa yang terjadi? Sesampainya di Kasihan, di lokasi terlaksananya mocopat syafaat saya duduk di jalan kecil bersama dengan jamaah lainnya. Waktu itu saya datang sekitar pukul 22.00, dan sedang melantunkan “Duh Gusti”.

Entah mengapa saya tiba-tiba menangis tapi karena malu saya sembunyikan sebisa mungkin supaya kanan kiri saya tidak tahu. Entah sebuah kebetulan atau memang dengan cara itulah Allah menegurku, mbah Nun menjelaskan tentang hidup agar terus berjuang. Pokoknya orang-orang kecil itu harus punya cara untuk bahagia dalam keadaan apapun. Hidup harus mencari keindahan. Tidak apa-apa menyerah, yang penting tidak menyerah pada rahmat Allah.

Saya makin menangis, menyadari kebodohan saya yang berencana mengakhiri hidup hanya karena sebuah masalah.

Pulang dari mocopat syafaat, saya nggak jadi bunuh diri. Tapi saya malah punya sebuah pandangan baru yang bikin saya senyum-senyum sendiri. Habis subuh mau gak mau saya melihat matahari terbit. Entah bagaimana kok semua kelihatan indah? Langitnya, tanamannya, udaranya, semuanya terlihat indah. Padahal setiap hari saya ya lihat itu, tapi saya baru menyadari pagi itu kalau ternyata dunia ini indah. Indah sekali.

Terakhir. Saya terus-menerus berdoa untuk keselamatan dan kesehatan mbah Nun, khususnya, dan seluruh manusia pada umumnya. Salam cinta saya kepada seluruh keluarga besar mbah Nun, progress dan saudaraku jamaah Maiyah.

Lihat juga

Back to top button