Puasa Ramadhan, Latihan Menjalani “Puasa-puasa” Panjang Berikutnya
Perasaan dilematis menggelayuti benak saat memasuki penghujung Ramadhan. Ada perasaan begini, jangan cepet-cepet lebaran dong. Sebab, diri ini merasa belum maksimal dalam beribadah di bulan suci Ramadhan. Puasa kadang masih marah-marah dan sering ghibah. Tarawih ndak full. Tadarus ngos-ngosan. Sodaqoh masih kurang. Dan kemalasan ibadah sunah lainnya. Plis, tolong Ramadhan jangan undur diri dulu. Kalau bisa durasinya diperpanjang. Dua atau tiga bulan mungkin. Rasanya masih ingin berlama-lama berpuasa.
Namun di sisi lain, kami juga ingin lekas bersua Idulfitri. Pasalnya agenda lebaran/ syawalan telah menanti. Mulai dari halal bihalal trah/ keluarga besar, dengan rekan kantor, lingkungan RT, hingga paguyuban. Disusul acara silaturahmi ke tempat saudara, reuni bareng alumni, mabol (main bola) dengan tim kesayangan, dan tak lupa kongkow—ngopi bareng dengan para kolega. Itu semua mengasyikkan sekaligus membahagiakan.
Lalu bagaimana ini Tuhan? Secepat inikah Ramadhan berlalu? Padahal ibadah sebulan kami belum apa-apa. Apakah kami layak berlebaran? Apakah kami pantas melantunkan takbir kemenangan? Kami mengaku kalah melawan hawa nafsu. Kami lebih menuruti kemalasan dan kealpaan ibadah demi ibadah. Kami benar-benar payah.
***
Di tengah kegalauan hati, saya diingatkan kembali dengan salah satu taddabur puasa yang dijabarkan oleh Mbah Nun. Menurut beliau, Ramadhan itu adalah latihan puasa untuk menghadapi “puasa-puasa” yang sesungguhnya di sebelas bulan lainnya. Mak deg. Kata-kata tersebut seperti dituturkan langsung oleh Simbah di hadapan saya. Kalimat itu saya timbang ulang-ulang. Saya resapi dalam-dalam.
Ada benarnya jika Ramadhan ini semacam ajang latihan. Ospek. Masa orientasi dan training. Selama sebulan penuh kita dilatih pola hidup disiplin. Disiplin ibadah. Disiplin makan. Disiplin aktivitas (kerja). Disiplin istirahat/ tidur. Disiplin waktu. Disiplin emosi. Dan disiplin lain-lain.
Dalam rentang 30 hari seluruh indera kita dilatih untuk menahan diri. Menahan pandangan yang tak elok, menahan lisan yang kotor, menahan tenggorokan yang kering, menahan perut yang lapar, menahan tangan dari perbuatan yang jahil, serta menahan diri dari pikiran dan hati yang busuk. Semua direm. Dikendalikan. Seluruh perangkat tubuh dilatih hanya untuk mengerjakan hal-hal yang baik.
Puasa Ramadhan merupakan momen penyucian hati. Pembersihan diri. Penenang jiwa. Penebal iman. Pemandu ibadah. Pemacu rasa syukur. Pemicu rasa sabar. Puasa adalah penawar penyakit. Penjaga stamina. Pembentuk ideal berat badan. Dan fungsi kesehatan jasmani dan rohani bagi setiap diri manusia yang menjalankannya.
***
Sejujurnya, kami menangis ditinggal Ramadhan. Sedih yang tak terperikan. Sementara itu, kami pun tak kuasa menyeka air mata bersiap menyambut hari raya. Dan semua coba kami bungkus dengan rasa syukur yang tulus. Alhamdulillah, Ya Allah. Terima atau tidak, kita telah sama-sama melewati masa training sebulan yang bernama Ramadhan. Harapannya, semoga mental disiplin menahan diri yang terajut sepanjang Ramadhan, dapat menjadi bekal baik bagi kita untuk menjalani “puasa-puasa” panjang di masa berikutnya.
Selamat lebaran. Lahir dan batin mohon dimaafkan. Salam.
Gemolong, 7 April 2024