PUASA DAN PENGENALAN AKAN BATAS

Mengeja setiap kata yang disusun oleh Mbah Nun hingga menjadi sebuah teks yang utuh memang selalu menarik. Seolah, pembacanya memang dipaksa masuk dalam belantara penafsiran yang jalurnya harus ditempuh secara perlahan pada titian-titian pemahaman pembaca yang bisa jadi masih rapuh. Namun, itulah bentuk linuwih-nya Mbah Nun; mengajarkan kemandirian berpikir tanpa penjelasan eksplisit dan memaksa bekerja sangat keras untuk memahami konteks masalah yang dibahas tanpa menyuruh dengan nada suara yang tinggi. 

Lewat teks, Mbah Nun memang gemar memantik nalar dan perenungan yang mengantarkan banyak orang sampai pada titik tertentu seraya bergumam “iya juga ya” atau ekspresi-ekspresi lainnya. Setidaknya, hal itu yang lagi-lagi saya alami ketika hadir dan diizinkan mengikuti kegiatan Bedah Buku “Tuhan Pun Berpuasa” pada Sabtu (27 Mei 2023) yang diselenggarakan oleh Majelis Masyarakat Maiyah Cirrebes sebagai rangkaian kegiatan Pameran Arsip 70 Tahun Mbah Nun.

Mas Khairul Fahmi adalah pihak yang diberi amanah untuk menjadi pembedah. Sejauh yang saya coba lihat dan pahami, Mas Fahmi sangat prigel dalam mengaitkan satu dan dua wacana yang ditulis Mbah Nun untuk kemudian ditafsirkan dengan cara yang sesederhana mungkin. Lima esai yang dibaca dan kemudian dibedah oleh Mas Fahmi cukup mampu membuka keran pertanyaan dan tanggapan yang semakin menghidupkan atmosfer sinau bareng yang jauh dari kesan indoktrinasi atau dogmatisasi.

Dasar Konseptualisasi

“Tuhan Pun Berpuasa” yang dipegang oleh Mas Fahmi dalam acara tersebut seingat saya adalah buku yang di-republish oleh Penerbit Buku Kompas. Secara pribadi, saya memang memiliki kesan tersendiri pada buku tersebut. Bagamaina tidak, sejak membaca judulnya, saya langsung mengernyitkan dahi. 

Puasa sebagai salah satu rukun Islam dan difirmankan oleh Allah Swt. bahwa “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa …” tentu telah menjadi pemahaman umum. Namun, Tuhan berpuasa adalah sebuah frasa yang harus dipahami secara hati-hati agar tidak terjebak pada penghakiman yang keliru.

Pada punggung buku tersebut, kita dapat menemukan kompas berpikir Mbah Nun sehingga arah pemaknaannya juga tidak menciptakan sengkarut dalam pikiran.  “Allah tetap memancarkan cahaya matahari tanpa memperhitungkan berbagai pengkhianatan manusia terhadap-Nya. Allah “berpuasa” menahan diri dari murka-Nya terhadap manusia,” katanya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa “puasa” dimaknai secara luas oleh Mbah Nun. 

Ketika derajat pemikiran kita baru sampai pada pemahaman “puasa” sebagai aktivitas menahan makan/minum dan hal-hal lain yang membatalkan sejak dari subuh sampai maghrib, Mbah Nun justru melanglang-buana pada keyakinan bahwa Allah Swt., sebagai pemilik kuasa adikodrati, justru berpuasa dengan sangat agung. Allah Swt. dengan segala kuasa yang dimiliki justru menahan diri untuk menggunakan kekuasaannya yang teramat besar itu. Kalau Tuhan tidak berpuasa (menahan), bisa jadi saat manusia seperti saya berbuat dosa atau berkhianat atas nikmat-Nya, seketika hukuman langsung mendera tubuh ringkih ini. 

Tuhan begitu agung menahan diri-Nya. Tuhan begitu agung berpuasa. Dengan kuasa yang tak berbatas, Tuhan justru tak mengumbar kuasa-Nya untuk murka. Bagaimana dengan kita sebagai manusia biasa? Sudah sampai mana kita mampu “menahan” diri? Sebagai sebuah dasar konseptualisasi, pemahaman “puasa” yang semacam ini memang harus dipahami secara berangsur-angsur hingga benar-benar meresap pada laku dan cakap kita sehari-hari. 

Dengan konseptualisasi semacam ini juga, “puasa” dapat berlangsung seumur hidup bukan hanya saat Ramadan. Dalam hidup, keterampilan tubuh dan pikiran untuk “menahan” tampaknya menjadi sesuatu yang krusial. Sebab, kita tak dapat membayangkan jenis masalah macam apa yang akan terjadi apabila kita tidak pandai “menahan” diri dalam kehidupan kita. Perilaku korupsi atau penyalahgunaan wewenang hanya contoh kecil ketidakmampuan kita untuk menahan diri; untuk berpuasa.

Puasa dan Batas

Dalam “Tuhan Pun Berpuasa”, ada kutipan yang sangat menarik bagi saya. Kutipan itu adalah sebagai berikut.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini: ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan

Kehidupan dengan segala parameternya memang cenderung menuntut manusia untuk melampiaskan dan menumpahkan hasrat. Keinginan akan selalu menemukan cara untuk dapat terwujud melalui mekanisme apapun; tanpa peduli mekanisme yang halal atau tidak. 

Terus-menerus mengikuti hasrat dan keinginan akan membawa pada titik keserakahan yang menihilkan sebuah keniscayaan bahwa manusia adalah makhluk berbatas. Karenanya, kesadaran pada batas adalah hakikat manusia. Terlebih lagi, sebagai manusia yang beragama, sudah sepatutnya kita punya kecakapan untuk menahan, mengendalikan, dan memahami batas sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt. 

Oleh sebab itu, saya pribadi mencoba memahami bahwa puasa dalam makna “menahan” hanya dapat dilakukan ketika kita memang menyadari batas. Hari ini, tantangan terberat kita adalah menyadari bahwa intelektualitas dan rasionalitas adalah sesuatu yang berbatas. Apabila kita terlalu mengagung-agungkan intelektualitas dan rasionalitas, yang hadir justru kejumudan dan arogansi intelektualitas. Cukup sering kita melihat perdebatan atas nama intelektualitas dan rasionalitas hanya berakhir pada fanatisme semata. Fanatisme pada kebenaran manusia adalah sesuatu yang sia-sia. Sebab, bagi saya, kebenaran versi manusia yang dengan penuh lelah kita perjuangkan, bisa jadi ibarat hantu yang kita lihat seolah berkelebat dan tidak pernah berhasil kita jerat.

Perdebatan tanpa ujung adalah bukti nyata bahwa kedua belah pihak tidak cakap “menahan” arogansi masing-masing dan berupaya menjadikan kebenarannya sebagai kebenaran umum. Saya tentu tidak membantah bahwa rasionalitas akan mampu mengarahkan kita pada kematangan penafsiran atas keragaman pengalaman. Nalar sangat berperan dalam memungkinkan manusia mengenai bermacam kehendak yang menjadi pemicu tindakan. Namun, lapisan-lapisan kehendak bisa jadi ditentukan tidak secara utuh oleh nalar.

Nalar pasti berbatas. Di perbatasan itu, kita sering melihat nalar, kehendak, dan emosi saring bergulat. Jauh di dalam hati manusia, bisa jadi ada daya irasional yang secara sembunyi-sembunyi selalu mencari cara untuk memuaskan hasrat memenangkan pertarungan yang akhirnya justru menabrak batas-batas kemanusiaan bahkan naudzubillah batas-batas dogmatis dari Allah Swt. Oleh sebab itu, belajarlah “berpuasa”, belajarlah menahan. Sebab, Tuhan pun berpuasa.

Lihat juga

Back to top button