PEPATIH DALEM DARI RAHIM RAKYAT

(Seri Memandang Kota Jogja)

Kita semua sangat menghargai jasa Jogja dan sejarah Jogja di mana Keraton memegang tampuk kepemimpinan dan pemerintahan selama bertahun-tahun. Termasuk ketika Sinuwun Sri Sultan HB IX dengan rela menggabungkan diri kepada Republik Indonesia. Belum lagi sumbangan harta benda dari milik Keraton sendiri. Juga bagaimana legawanya Sang Sultan IX ketika wilayahnya difungsikan sebagai institusi pendidikan yang sekarang kita kenal sebagai UGM. Secara radikal Sinuwun berujar, “Tahta(ku) untuk Rakyat.”

Lalu bagaimana jika tahta kasultanan tidak lagi untuk rakyat? Apa yang bisa rakyat lakukan sebagai fungsi kontrol? Kita tak sedang menggugat sejarah. Justru kita hargai sebesar-besarnya. Tulisan ini hanya mencoba menempatkan alternatif-alternatif jalan yang bisa ditempuh untuk Jogja yang kita cintai bersama. 

Kembali ke masa lalu sejak Kasultanan Yogyakarta lahir di bawah asuhan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan HB I), Jogja sebenarnya telah memahami pembagian kamar kekuasaan. Ruang pemerintahan diberikan kepada seseorang dengan gelar Pepatih Dalem. Dan fungsi negara sebagai “mandat rakyat” berada di tangan Sri Sultan. Sehingga, negara bisa melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. 

Sejarah mencatat, bahwa ketika terjadi penyelewengan penyelenggaraan pemerintahan dengan adanya tambahan toolporten atau kanal pajak dan pajak pangarem-arem yang disalahgunakan Patih Danureja III (sebagian literatur menyebut Patih Danureja IV karena menghitung Tumenggung Sindunegara sebagai Patih Danureja meskipun berperan sebagai patih pengganti), Pangeran Diponegoro menampar pipi patih yang korup itu. 

Hingga ketika masa Sinuwun IX, gelar Pepatih Dalem tidak difungsikan lagi mengingat banyaknya peristiwa Pepatih Dalem yang condong kepada kebijakan kolonial. Ini adalah cara praktis menghilangkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Mengingat saat itu masa jabatan Pepatih Dalem pun bisa tidak terbatas. Terbatas pada kebijakan Sultan saja. Tapi jika kita bandingkan pada regulasi pemerintahan pada saat ini, tentu bisa menjadi lebih menarik dan produktif jika elit pemerintahan bisa dipergilirikan. 

Bisa saja kedudukan keistimewaan Jogja dimodifikasi (bukan diambil). Sultan tetaplah raja yang merepresentasikan tahta untuk rakyat. Pemegang mandat rakyat. Sedangkan yang menjalankan fungsi pemerintahan adalah Pepatih Dalem yang muncul dari rahim rakyat Jogja. Sultan memberikan kewenangan untuk mengatur jogja kepada Pepatih Dalem sesuai undang-undang. Terkait bahwa Sultan berhak mencabut mandat Pepatih Dalem dalam masa tugasnya, bisa didiskusikan lebih lanjut dalam perumusan undang-undang. Misal, jika dibuktikan bersalah oleh hukum dan gagal melakukan pertanggungjawaban jalannya pemerintah, maka Sultan berhak memberhentikan Pepatih Dalem. 

Alternatif ini memberikan angin segar untuk pembaharuan dan inovasi di Jogja. Sultan tetap mendapat tempat di hati rakyat, tetapi juga berhak menjalankan perannya sebagai Kepala Nagari. Siapa tahu, salah satu faktor stagnasi di Jogja Istimewa disebabkan oleh jenuhnya terobosan-terobosan yang dilakukan oleh pihak itu-itu saja. Mungkin. 

Yogyakarta, 28.10.2022

Lihat juga

Back to top button