APAKAH KITA (HANYA) DIPERINTAH MEMBACA? 

Refleksi Malam Nuzulul Quran

Malam 17. Dan orang ramai merayakan Nuzulul Quran. Di sudut lain, orang lain sibuk berdebat. Apakah turunnya kitab suci benar tanggal 17 atau pada 10 hari terakhir. Lain orang, dengan bijak ada yang menjawab. Setiap sungguh ayat Al-Qur’an itu masuk ke hatimu, itulah sejatinya malam turunnya Al-Qur’an. Memetik penggalan ayat “tanazzalul malaikatu war-ruhu fiha bi idzni robbihim min kulli amr”. Bahwa malaikat yang dipunggawai Jibril As. itu turun berkali-kali membawa pencerahan kepada manusia. Hanya saja kerap kali manusia tidak menyiapkan dirinya untuk menerima pencerahan itu. Tidak menyelaraskan gelombang agar sama dan kompatibel dengan gelombang wahyu.

Lepas dari perdebatan itu, ada ayat yang kerap dinukil (selain surat Al-Qadr) di setiap peringatan Nuzulul Quran. Ialah lima ayat pertama surat Al-’Alaq. Iqro’ biismika ladzi kholaq. Lalu banyak mubaligh mulai menyampaikan sejarah bagaimana ayat pertama tersebut turun. Bercerita mulai dari Nabi Saw. yang uzlah di Gua Hira, sampai dalam dekapan selimut Khadijah. Kemudian setelahnya akan menyampaikan, bahwa ayat pertama adalah perintah membaca. Serta mengaitkan dengan pentingnya budaya literasi. 

Tetapi apakah benar perintah pertama di dalam surat tersebut adalah membaca? Jika kita melihat pada ayat yang tampak, memang benar surat tersebut dimulai dengan sebuah kalimat perintah “Bacalah”. Akan tetapi jika kita telaah lebih lanjut, juga terhadap skenario bagaimana ayat tersebut turun, maka bisa jadi perintah yang pertama bukan membaca, tetapi mendengar. Bagaimana bisa? 

Tentu bisa. Dengan beberapa kondisi yang dapat kita lihat sebagai latar belakangnya. Pertama, Jibril datang tidak dengan menyodorkan tulisan untuk dibaca, sehingga Rasulullah memberikan sanggahan kepada Jibril dengan mengatakan, “ma ana bi qori”, aku tak bisa membaca. Ada perbedaan pandang, apakah memang benar Rasulullah tidak bisa membaca. Pendapat ini menguatkan suatu teori bahwa untuk menjamin keaslian Al-Qur’an, maka diperlukan orang yang tidak bisa membaca dan menulis sehingga redaksionalnya terjamin. 

Pendapat ini mendapat bantahan dari sudut pandang lain, bahwa ketika penulisan perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah terlibat dalam pengoreksian poin-poin kesepakatan. Tetapi dalam pembahasan kali ini yang ingin disampaikan adalah ketika Nabi tidak mendapati teks untuk dibaca, maka nabi menyanggah perintah Jibril. Pengulangan kalimat perintah “bacalah” kepada Nabi dimaksudkan agar Nabi bisa dengan tenang mendengar perintah Jibril dan mendengar wahyu yang dibacakan. 

Lihat juga

Kedua, perintah mendengar ini lebih diutamakan sebagaimana nanti setelah ayat-ayat Al-Qur’an turun kepada Nabi kerap didapati urutan penyebutan kata sifat sami’un yang didahulukan sebelum sifat bashirun, alimun, atau sifat yang lainnya. Mendengar ini lebih meminimalkan dari konstruksi bias dalam sebuah penyampaian informasi. 

Dalam pendekatan pengetahuan modern, ditemukan pula respons syaraf yang berkembang akibat dari suara. Tak heran jika sebagian ibu disarankan oleh dokter untuk memperdengarkan alunan musik orchestra selama bayi yang dikandungnya berada di kandungan. Suara alunan musik tersebut dipercaya dapat merangsang pertumbuhan otak bayi. Meskipun tentu dapat dimodifikasi dengan memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an misalnya. 

Perintah kedua yang meskipun secara implisit mendahului dari kalimat perintah untuk membaca adalah perintah untuk bertanya. Setelah Jibril mengulang perintah untuk membaca, barulah ketika Nabi mengatakan “apa yang harus kubaca?” Jibril melanjutkan dengan ayat awal dari surat Al-’Alaq. Ya, bertanya itu penting. Bertanya adalah jendela ilmu. Sebuah verifikasi terhadap informasi yang masuk. Sebuah respons kesadaran. Dengan bertanya, berarti si penanya akan memahami dan melakukan verifikasi balik terhadap yang ditanyai. Apakah benar yang ditanyai memahami konteks dan apakah yang ditanyai memiliki kesadaran untuk merespons informasi sebelumnya. 

Dalam dunia banjir data dan informasi seperti dewasa ini, verifikasi amatlah penting untuk memastikan kebenaran informasi. Verifikasi bisa dilakukan dengan menyusun rangkaian pertanyaan. Apakah informasi yang saya terima benar? Apakah informasi tersebut masuk akal? Apakah informasinya bermanfaat? dan sederet pertanyaan lain untuk minimal mengurangi dampak dari bias informasi atau bahkan informasi palsu. 

Setelah mengalami perintah mendengar dan bertanya, barulah kita masuk dalam fase membaca. Membaca tidak hanya sekadar mengeja huruf atau aksara. Ia bisa berupa menelisik detail dan fase kehidupan diri kita sendiri dan lingkungan, menangkap gejala sekitar, memahami pola dan interaksi, mempelajari keterkaitan antara isim-isim atau benda-benda. 

Perintah di dalam ayat pertama jelas dan terang benderang. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Allah menegaskan bahwa diri-Nya-lah satu-satunya pencipta. Maka dalam proses pembacaan setiap kehidupan, kita akan menangkap gejala-gejala penciptaan-Nya. Bertanya memang penting dan merdeka, tetapi jangan sampai pertanyaan itu merangsek masuk ke area kekurangajaran. Salah satunya adalah pertanyaan yang justru bertanya terkait eksistensi Tuhan itu sendiri. 

Membaca kehidupan adalah proses panjang, sepanjang usia kita. Dan perintah membaca (juga perintah yang mendahuluinya) adalah perintah yang sepanjang usia juga. Paling tidak, dalam usaha-usaha jangka panjang, yang bisa dilakukan adalah mengatur ritme agar tetap konsisten menjalani perintah membaca. Meskipun kadang diperlukan jeda seperti spasi antar kata, atau koma antar kalimat, tetapi kita belum sampai pada akhir sebuah tulisan selama nyawa masih dikandung badan. 

Lihat juga

Back to top button