PENDIDIKAN POLITIK DI BANGBANG WETAN

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Edisi Januari 2024)

Shohibu baiti… Ya shohibu baiti…

Imamu hayatii… Ya Imamu hayati…

Mursyidu imanii… Anta syamsu qolbiy…

Qomaru fuadi… Ya qurratu ‘aini…

Syafi’u nashibiy… Ya maula jihadiy…

Ufuqu Syauqi… Ya baabu akhirati…

Nomor Shohibu Baiti dan kehadiran Mas Sabrang MDP membuat spesial majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Januari 2024. Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Januari 2023 berlangsung pada Sabtu (27/01/2024) di Pendopo Taman Budaya Cak Durasim, Genteng, Surabaya. Pukul 21.30 WIB, nomor Shohibu Baiti mengiringi jamaah untuk melantunkan syair Shohibu Baiti. Pengiringan dan pelantunan Shohibu Baiti sesuai arahan Koordinator Simpul yang mengimbau untuk mentradisikan kembali Shohibu Baiti di setiap majelis rutinan simpul. 

Jamaah dampak bergembira malam itu oleh penampilan ludrukan Cak Robert dengan Cak Ipul dari The LUNTAS (LUdrukan Nom-noman Tjap Arek Suroboyo). The LUNTAS mampu mengajak jamaah tertawa bersama dari ludrukan-nya yang mengangkat peristiwa perobekan bendera Belanda terjadi di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan, Surabaya. Peristiwa ini terjadi sebelum Pertempuran 10 November meletus. Peristwa itu terjadi pada 19 September 1945 silam, peristiwa perobekan bendera Belanda dilakukan oleh pemuda Surabaya.

Setelah Shohibu Baiti selesai dilantunkan, Mas Sabrang MDP, Pak Suko Widodo, Gus Ghozi Ubaidillah (pengasuh Ponpes Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum), serta Pak Autar dari Unesa hadir duduk di atas panggung menemani jamaah sinau bareng. 

Pak Suko membuka diskusi dengan sharing kondisi sosial saat ini. Saat ini orang mengalami turbulence yang luar biasa. Saat ini orang terkaget-kaget sehingga tidak tahu bedanya sahur asem dengan blimbing sayur. Tapi kondisi terkaget-kaget tersebut tidak ada hubungannya dengan politik. Kita tidak perlu takut menghadapi hal itu karena kita cukup dewasa menghadapi hal tersebut. Pak Suko malam itu mengajak jamaah semangat untuk mengabsorsi pikiran masing-masing dengan pertanyaan: sebenarnya saya punya negara apa tidak? Sebenarnya saya di mata bangsa seperti apa? Kebutuhan saya di kelurahan itu apa? Karena representasi negara ada di kelurahan. Ternyata setelah direnungi kebutuhan kita di kelurahan hanya KTP, sedangkan makan dan lain sebagainya kita harus cari sendiri. 

Tidak Putus Asa Selagi Ada Kesempatan

Berikutnya, Gus Ghozi merespons tema berjudul Generasi Karipan. Gus Ghozi mengawali kalimat dengan merasa bangga karena bisa duduk di majelis ilmu Bangbang Wetan malam itu. Gus Ghozi berharap dengan adanya majelis ilmu Bangbang Wetan bisa membangunkan anak muda yang karipan dari pergeseran zaman yang kepengin serba instan, cenderung tidak mau berproses seperti generasi terdahulu. Karipan dalam perspektif pesantren tidak sepenuhnya salah. Kita tidak mencari orang yang bangun siang (karipan) itu salah apa tidak, karena yang dicari adalah prosesnya sehingga membuat karipan. Rasulullah beserta para sahabatnya pernah mengalami karipan, kisah tersebut bersumber pada salah satu kitab yang dipelajari di pesantren. 

Rasulullah beserta para sahabatnya kala itu sedang berada pada perjalanan malam yang meletihkan. Rasulullah khawatir ketika beliau beserta para sahabat beristirahat karena letih tidak bisa bangun untuk melaksanakan sholat Shubuh. Sahabat Bilal menjamin kepada Rasulullah bahwa beliau yang membangunkan sehingga tidak akan bangun kesiangan. Ternyata ketika Rasulullah bangun matahari sudah terbit dan terang benderang. Sahabat Bilal masih tidur karena keletihan. Akhirnya Rasulullah membangunkan sahabat Bilal dan mengingatkan, “Kita masih beruntung karena masih diberi kesempatan bangun, karena bisa saja Allah mengambil nyawa kita.” Maka dari itu Rasulullah mengajak untuk tidak boleh putus asa karena karipan, serta bersegera melaksanakan kewajiban yang tertunda, salah satunya ya sholat Shubuh. 

Jadi generasi karipan itu bukanlah orang-orang yang sengsara dan tidak selamat, selama masih bisa mengubah diri salah satunya mengikuti majelis ilmu Bangbang Wetan yang belajar berbagai macam hal dari agama, sosiologi sampai logika.

Kearifan Lokal yang Tergadaikan

Pak Autar dari Unesa ikut merespons kondisi sekarang ini. Pak Autar melihat bahwa kearifan lokal kita sekarang ini seperti tergadaikan. Kearifan lokal tergadaikan maksudnya menyelesaikan masalah tanpa masalah. Masalah yang sebenarnya terjadi itu seperti tidak ada masalah, padahal sangat bermasalah. 

Pertama, ketergadaian kearifan lokal kita adalah kita ini berhadapan dengan kondisi dimana orang diam dianggap bodoh. Tapi sebenarnya kearifan itu berangkat dari diam, keheningan dan kesunyian. Dari diam itu kita memendam dan meredam sesuatu yang bergejolak sebelum dia selesai untuk kita ucapkan. Kondisi sekarang ini justru banyak orang yang berbicara semaunya sendiri, dan hal itu dianggap benar. 

Kedua, kearifan lokal yang tergadaikan adalah berpikiran terbuka. Kalau orang berpikiran terbuka sekarang ini dianggap liberal, kebarat-baratan. Padahal identitas arek Suroboyo harus memiliki berpikiran yang terbuka. Keterbukaan arek-arek Suroboyo itu dengan perhitungan, bukan apa kata hati yang meluncur begitu saja. 

Ketiga, kearifan lokal yang tergadaikan adalah empati. Kalau sekarang ini kita sedang berempati dengan orang lain dianggap sok suci. Padahal empati itu bagian dari kearifan kita. Ada persoalan di sekitar, kita selesaikan bareng-bareng. Kita bisa melihat tanda-tanda orang kehilangan empati yaitu ketika ada orang berbicara dia sibuk dengan dirinya sendiri. 

Keempat, kearifan lokal yang tergadaikan adalah ego. Ego kita sekarang ini sedang berhadapan dengan sesuatu yang nyata, dimana kita merasa bisa segala-galanya. Pak Autar bedoa semoga kita menjadi manusia yang arif, memiliki keyakinan bahwa kita adalah seorang hamba yang berkiblat pada kekuatan Allah. Serta kita memiliki keyakinan bahwa Allah yang meridhoi setiap langkah yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Manusia Bereaksi pada Informasi yang Dianggap Riil

Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Mugo-mugo dulur sehat semua. Waras,” Sapa Mas Sabrang kepada jamaah yang hadir malam itu. Mas Sabrang mengajak jamaah untuk membahas karipan (bangun telat). Ada angle yang menarik untuk dibahas dari disorientasi bangun. Mas Sabrang menceritakan pengalamannya sewaktu kecil tidur siang, ketika bangun tiba-tiba mandi, pakai seragam, bawa tas dan berangkat sekolah, padahal masih sore hari. Mas Sabrang pada waktu itu karena kaget, sehingga berada pada keadaan dimana tidak bisa membedakan informasi dan tidak bisa bersikap dengan baik terhadap informasi tersebut. Kalau dari sudut pandang umur kita terhadap negara Indonesia salah satu titik karipan-nya adalah kita tiba-tiba berada pada sistem demokrasi. Kita tidak mengalami era kerajaan, atau mungkin mengalami tapi tidak ingat. 

Kita secara garis keturunan leluhur kita mengalami era kerajaan dan macam-macam, ketika kita lahir tiba-tiba republik Indonesia, serta tiba-tiba kita disuruh menyoblos surat suara untuk memilih pemimpin. Pertanyaannya, pernah ada yang diajari cara menyoblos dan pendidikan politik di sekolah kita dulu? Kondisi seperti itu merupakan salah satu bagian dari karipan.  Kita masuk pada suatu situasi yang kita tidak tahu asal-usulnya. 

Menurut Mas Sabrang, ada efek yang fundamental dari kondisi karipan tersebut. Manusia itu selalu bersikap pada sesuatu yang dianggap riil. Kalau manusia tidak menganggap sesuatu itu riil, maka dia tidak akan bereaksi. Bahkan sesuatu agak riil saja bisa membuat manusia bereaksi, walaupun sebenarnya tidak ada. 

Misalnya, kita mempunyai pacar (perempuan), mendengar kabar kalau malam MInggu pacar kita sedang keluar dengan laki-laki lain. Kita ketika mendengar kabar itu bereaksi penuh kecurigaan, emosi, ketika chat pacar bertanya kabar (pesan sudah dilihat tapi tidak dibalas), bertambah emosi dan langsung membuat cerita sangat banyak di kepala, menjadi ahli imajinasi. Hal tersebut baru informasi entah riil atau tidak, tapi kita sudah bereaksi. Mas Sabrang menganggap itu sebagai sesuatu yang riil, karena kita bereaksi terhadap informasi tersebut. 

Manusia Hidup di Dua Alam

Mas Sabrang menyampaikan kembali insight ke jamaah Bangbang Wetan, setelah sehari sebelumnya sudah disampaikan di Majelis Ilmu Padhangmbulan, Mentoro, Sumobito, Jombang. Mas Sabrang menyampaikan bahwa manusia itu hidup di dua alam. Kita terkadang tidak bisa membedakan kedua hal tersebut. Karena kita lahir karipan dalam demokrasi, lantas kita menanggap demokrasi itu sefundamental gravitasi. Padahal ada fundamental perbedaan yaitu kita hidup di dua alam. 

Satu, alam yang disediakan oleh Allah, misalnya hujan, cuaca, serta gravitasi—yang kita tidak bisa menghindar dari itu, karena hukum alam yang berlaku di situ. Kedua, alam yang dibuat oleh manusia serta hukumnya juga dibuat oleh manusia. Walaupun kita sama-sama bereaksi terhadap kedua alam tersebut—karena keduanya kita anggap alam yang riil, tapi pembobotannya kadang-kadang kita tidak waspada. Kadang-kadang kita menganggap bahwa memilih presiden itu lebih penting dari sholat, atau tidak kalah pentingnya dengan sholat. Kita jangan lupa, bahwa memilih presiden itu ciptaan manusia, sedangkan sholat itu ciptaan Allah. Bukan berarti ciptaan manusia tidak penting, tetapi pembobotannya juga harus jelas. 

Ada contoh lain, misalnya menurut kita uang kertas 100.000 itu berharga atau tidak? Uang 100.000 kita anggap berharga itu berasal dari kenyataan alam atau kenyataan pikiran? Uang kertas 100.000 itu kita anggap berharga dari kertasnya, gambarnya atau dari mana? Uang kertas 100.000 kita anggap berharga karena kita percaya bahwa uang 100.000 itu berharga, dan hal tersebut tidak berlaku universal. Hanya terhadap orang yang percaya kepada uang 100.000 itu yang menganggap berharga. 

Coba misalnya kita geser sedikit ke Malaysia, membeli sesuatu dengan memakai uang 100.000 keluaran Indonesia, penjual di sana tidak menerima uang 100.000 tersebut. Penjual Malaysia tidak menerima uang 100.000 dari kita karena kumpulan masyarakat di sana mempunyai alam pikiran yang berbeda dengan kita. Sehingga yang dianggap berharga di Malaysia adalah uang ringgit bukan rupiah. 

Memahami Asal Usul Demokrasi

Pertanyaan berikutnya, demokrasi itu hadir dari alam Tuhan atau alam pikir manusia? Demokrasi berharga karena kita semua percaya bahwa itu cara yang terbaik. Percaya kita terhadap demokrasi tidak sesederhana itu. Karena kalau kita melihat sejarahnya, demokrasi memang memecahkan masalah dalam peradaban. 

Mas Sabrang memberikan insight ilmu politik kepada jamaah malam itu agar tidak karipan dalam menyoblos untuk memilih pemimpin. Kita perlu tahu kenapa demokrasi kita pilih, walaupun kita tidak ikut serta memilih karena ketika kita lahir tiba-tiba demokrasi. Kita perlu tahu karena kita sudah terlanjur lahir dan mempunyai KTP Indonesia, berarti harus tahu demokrasi di Indonesia. Langkahnya kita harus paham kenapa kita memakai demokrasi serta bedanya dengan yang lain apa? Kalau kita menyoblos tidak bedasarkan itu, artinya tidak berguna demokrasi. 

Mas Sabrang memakai analogi yang sederhana untuk tahu asal-usul demokrasi. Kita ini riil menurut alam Tuhan atau alam pikir? Kalau kitanya ini tidak ikut membikin. Bapak dan ibu kita suatu hari terlalu bersemangat berkegiatan di dalam kamar dan lahirlah kita. 

Bapak Ibu iku golek enak e. kowe ming efek samping, wes to. (bapak dan ibu kita itu cari enaknya berkegiatan di dalam kamar, kita hanya efek samping. Sudahlah.) Sedih lagi kalau kita punya adik. Kita versi satu adik kita versi dua, “ Mas Sabrang mampu mengolah informasi biologis asal usul proses kelahiran kita dengan jokes yang mengundang tawa jamaah malam itu. Seperti halnya Mbah Nun dulu di setiap maiyahan ketika menyampaikan ilmu yang mendalam selalu disertai jokes-jokes yang membuat pikiran jamaah fresh kembali dan bersiap menyelami ilmu kembali. 

Mas Sabrang meneruskan analogi sederhana untuk menjelaskan asal-usul demokrasi. Kitanya ini hukum alam. Tapi kalau kemudian kita mempunyai nama, nama kita itu masuk alam pikir. Karena nama kita diciptakan oleh orang tua, serta orang sekitar kita setuju memanggil kita dengan nama itu. Kadang-kadang lingkungan yang berbeda memanggil kita berbeda. Seperti anak Pak Nevi Budianto KiaiKanjeng bernama Tegar Darmawulana, oleh teman-temannya dipanggil Darsono. Hal itu memang tidak ada hubungannya, tapi apakah orangnya berbeda? Kenyataan alam Tuhan pada anaknya Pak Nevi itu juga tidak berbeda. Alam pikir yang menamakan anak tersebut yang berbeda. Intinya adalah agar tahu satu entitas anak tersebut. 

Ciri satu entitas itu adalah ketika di alam pikiran manusia mempunyai nama. Entitas diri kita disebut sebagai nama kita masing-masing. Tapi jika kita melihat alam pikir manusia juga membuat entitas yang lain. Seperti halnya Indonesia ini entitas yang lahir dari alam pikir manusia. Garis batas negara itu juga manusia yang membuatnya. 

Kalau ada entitas buatan manusia, artinya kemudian ada turunan kepentingan. Kepentingannya adalah satu kumpulan entitas tersebut jika ingin disebut negara itu perlu tujuan yang sama, agar efektif. Diri di dalam diri kita terkadang tidak sinkron tujuannya. Otak kita kepingin BAB tapi dubur tidak mau mengeluarkan fasesnya. Karena kita sendiri tidak perlu proses demokrasi untuk menentukan kita jadi BAB atau tidak. 

Tapi inti permasalahan yang ingin dipecahkan adalah satu entitas Indonesia ini kepengin kemana? Karena entitas di dalamnya kepengin hidup, makmur dan Bahagia, maka kita harus ke mana? Sehingga satu enititas itu kemudian awalnya kita butuh satu orang yang kita ikuti bersama. Dulu, orang yang pintar sulap (dukun) seperti mampu membuat api itu yang diikuti. Kemudian terjadi hierarki kepemimpinan yang membuat satu entitas kompak bergerak kea rah tertentu. Kemudian, lahirlah kerajaan. Bahwa yang memimpin masyarakat ialah turunan dari misalnya Dewa Matahari. 

Ketika kerajaan, yang memutuskan satu orang, yang mendapat akibatnya semua penduduknya. Kalau mendapat raja yang baik, penduduknya bisa makmur dengan cepat. Karena sang raja bisa mengambil keputusan secara cepat dan bergeraknya cepat. Tapi kalau mendapat raja busuk perilakunya, matinya kerajaan juga cepat. Lama-lama masyarakatnya tambah pintar. Masyarakatnya berpikiran mereka semua yang merasakan tapi hanya raja yang berhak memutuskan. Dari keresahan masyarakat yang juga kepengin mempunyai suara untuk menentukan dan memutuskan bersama tujuannya, maka singkatnya lahirlah demokrasi. 

Demokrasi yang arah dan tujuannya dari rakyat, oleh rakyak serta untuk rakyat. Demokrasi menentukan nasib masyarakat bersama dan ditanggung bersama. Karena limitasi teknologi untuk menentukan nasib bersama akhirnya memakai cara coblosan untuk memilih pemimpin. Inti demokrasi pengin menyatukan arah agar kita semua paham mau kemana. 

Menghitung coblosan untuk bisa menjadi satu suara itu masalah susah, jangan dianggap mudah. Kalau satu kepengin pertanian dimajukan, sedangkan satunya sektor nelayan dimajukan, untuk menentukan garis tengahnya tidak mudah. Maka diambil sistem yang sederhana dengan menyoblos calon pemimpin yang mewakili aspirasi dari semakin banyak manusia. 

Ada syarat lain yang diperdebatkan oleh pembuat di zaman pembuatan demokrasi dulu. Plato sendiri yang kemudian membantah demokrasi. Ide demokrasi bagus, tapi ada satu syarat yang susah. Syarat itu adalah masyarakat harus cukup pandai untuk bisa memilih pemimpin. Tapi faktanya tidak mudah memandaikan manusia. Tidak mudah membuat orang belajar. Karena kadang-kadang kepandaian tidak datang dari informasi tapi juga kemampuan belajar dan modal IQ. 

Memilih Pemimpin yang Halal Di Mata Tuhan 

Cara singkat untuk mudah memilih pemimpin misalnya memakai metodologi siddiq, amanah, tabligh, fathonah. Atau memakai metodologi Jawa: sandang, pangan dan papan. Moral, identitas dan seterusnya harus jelas. Kita tidak bisa memiliki cukup informasi untuk memilih misalnya caleg dari baliho yang terpampang di pinggir jalan. Hal tersebut merupakan fakta di lapangan jika kita ingin mengetahui integritas calon pemimpin. Setiap capres mempunyai visi misi sekitar 150-200 halaman. Tugas penyelenggara demokrasi untuk mendekatkan visi misi tersebut ke masyarakat. Penyelenggara demokrasi memudahkan kita membaca visi misi capres dan memudahkan kita mendapatkan informasi tersebut. Karena tidak semua masyarakat butuh semua yang ada pada visi misi. Kalau petani misalnya hanya butuh informasi capres mana yang mempunyai program pupuk murah. Kenyataannya kita tidak mendapatkan informasi itu. Bagaimana kita bisa melewati pencoblosan memilih calon pemimpin ini dengan halal?

Mas Sabrang pernah membuat kalimat yang mendapat protes banyak orang. Mas Sabrang mengatakan, golput itu buruk di mata demokrasi, tapi memilih dengan judi itu buruk di mata Tuhan. Lebih baik buruk di mata demokrasi yang ciptaan manusia, daripada buruk di mata Tuhan yang menciptakan kita. Kalimat itu lahir bukan untuk menentang demokrasi. Kalimat itu justru lahir karena Mas Sabrang sangat ingin memilih, maka Mas Sabrang butuh diberi modal untuk memilih, dan tidak memaksa untuk judi. Ada satu teori yang mengatakan bahwa Indonesia tidak ditolong oleh Tuhan, karena Indonesia memilih masa depannya hanya dengan berjudi. Artinya kita memilih karena tidak tahu sejarah dan informasinya tidak dapat diakses dengan mudah, maka proses memilih kita disebut berjudi. 

Kalau memang kita tidak mempunyai demokrasi yang ideal, minimal kita membuat proses mencoblos itu halal di mata Tuhan, agar Tuhan punya jalan pemerintah dan rakyatnya yang mau melakukan proses dengan tidak berjudi. Mas Sabrang mengusulkan kepada kita untuk niat ketika memilih. Satu hal yang membedakan manusia dengan hewan adalah niat. Manusia dan hewan sama-sama makan, yang membedakan adalah niat. Berdoa itu salah satu bentuknya adalah niat. Mau makan ‘kan ada doanya. Berhubungan suami istri juga ada doanya. Anjing juga bisa berhubungan badan dengan lawan jenisnya, yang membedakan dengan manusia adalah niat atau doa. 

Mari kita memanusiakan demokrasi! Karena kita tidak bisa mengharapkan manusia karena risiko kecewanya cukup besar. Jadi mari berharap kepada Tuhan. Besok kalau mau menyoblos berangkat dengan niat. Urusan memilih yang mana, bisa diobrolkan pada pertemuan selanjutnya. Jalan tengah menyoblos baik di mata demokrasi tapi halal di mata Tuhan agar kita bisa menuntut malaikat agar mengingatkan siapa saja pemimpin terpilih yang berhianat. 

Gusti Allah kulo niat ingsun nyoblos pilihan karena kulo niki mpun kadong neng demokrasi. Kulo mengikuti peraturan entitas uwong sak Indonesia. Kulo tak nyoblos atas nama Njenengan. Kulo nyoblos cah iki. Kulo mboten saget menyandarkan hatiku kepada siapapun kecuali kepada-Mu. Kulo niatke nyoblos wong iki agar iso jagani Indonesia. Nyuwon atas nama penderitaan yang saya tanggung selama ini. Katanya doanya orang tertindas itu Kabul. Kulo dungo lek nyoblos wong iki dan dia berhianat kepada Indonesia, monggo dikaplok ngasi perot. Terserah wes.” Mas Sabrang mensimulasikan niat kepada jamaah yang hadir, untuk fundamental dalam menyoblos memilih calon pemimpin. Menurut Mas Sabrang mungkin niat sebelum menyoblos itu solusi yang tidak ideal. Tapi untuk menuju posisi ideal kita butuh langkah. Sekarang kita juga butuh langkah yang selamat. Kalau belum bisa selama di dunia, minimal selamat di mata Tuhan. Paling tidak kita mempunyai harapan kepada Tuhan untuk melihat Indonesia lebih baik di masa depan. Dengan niat sebelum menyoblos ini kita lihat dan buktikan apakah masih ada malaikat di Indonesia ini.

Surabaya, 28-30 Januari 2024

Lihat juga

Back to top button