MENYAMBUT LAILATUL QADAR DI TENGAH KOTA PASURUAN
Lantunan ayat suci yang dikumandangkan dari surau, mushola, dan masjid dari berbagai penjuru kota Pasuruan, ditemani rintik hujan yang kadang deras kadang mereda menjadikan perjalanan menempuh rindu menuju alun-alun kota Pasuruan semakin syahdu.
Di area sebelah selatan, Beberapa jamaah Maiyah Pasuruan telah berkumpul di titik kumpul yang telah disepakati. Sambil menikmati kopi hangat yang dijajakan oleh angkringan sekitar alun-alun, obrolan ringan dan perkenalan pun dibuka sembari menunggu beberapa sedulur yang sedang dalam perjalanan.
Hujan kembali turun agak deras, agenda ziarah makam waliyullah Pasuruan Mbah Hamid yang rencananya dilaksanakan di awal, diganti menjadi penutup kegiatan. Kegiatan diskusi kemudian mengambil tempat di area TIC (tourism information center) agar lebih kondusif.
Diskusi dibuka oleh Mas Ari yang menggarisbawahi makna “Maiyah” yang berarti kebersamaan. “Kopdar” sebagaimana diasosiasi sebagai kopi darat atau perjumpaan langsung mengimplementasi kelebihan “muwajahah.” Dengan saling bertatap muka, satu sama lain dapat saling melihat ketulusan dan sikap saling menghargai. Dengan intensitas muwajahah yang Istiqomah, ide dan kebermanfaatan lain akan semakin terstimulasi.
Mengenai tema ‘Lailatul Kopdar,’ melingkar bermaiyah merupakan salah satu bentuk ekspresi alternatif dalam berburu Cinta Allah di malam hari Ramadhan. Gus Ishom kemudian menambahkan, “kopdar” adalah singkatan dari Kopi dan Daras. Daras seakar kata dengan darus-dirosah-tadarus yang artinya ‘Sinau.’
Ya, kami memang tidak sekadar ngumpul ngopi dan ngobrol ngalor ngidul. Ada muatan cinta dan rindu dalam lingkaran kebersamaan ini. Petikan gitar Mas Alfan dan suara duet Gus Ishom dan Mbak Sari melantunkan tembang Bangbang Wetan semakin menambah hangat suasana.
Mas Alfan menceritakan pengalamannya bermaiyah di Bali, yang menginspirasi Mbak Sari istrinya untuk menjadi mualaf. Mas Lutfi, sedulur dengan disabilitas tuna netra ikut berbagi suka dukanya dalam bertahan hidup dan menemani sesama rekan disabilitas. Memang, beliau dan istri jelas terlihat sebagai orang yang sangat ulet dan tangguh. Dengan ‘keterbatasan’ yang dimiliki beliau mampu menghasilkan banyak produk UMKM seperti olahan herbal dan lainnya. Yang lebih ajaib, bahkan beliau mampu menginisiasi gerakan kaum disabilitas berbagi. Dibantu oleh Mas Eko, Mas Richard dan beberapa kawan lainnya beliau sukses menghelat berbagi takjil oleh kaum disabilitas untuk masyarakat umum.
Diskusi menjadi lebih lengkap dengan bergabungnya Gus Haidar Hafidz dalam lingkaran. Beliau menggarisbawahi tentang keajaiban bangsa Indonesia. Dalam tafsir Imam Tanthawi disebutkan; “wal biladu Jawi mu’jizat.” Negeri Jawi (Indonesia) dari dulu terkenal sebagai negeri yang ajaib. Dengan keahlian sastra pesantrennya, Gus Haidar menggarisbawahi diksi mukjizat, yang levelnya melampaui barokah, ma’unah, dan karomah.
Obrolan semakin hangat, dari “rasan-rasan” keunikan bangsa Indonesia, anekdot riwayat klasik, hingga kaidah-kaidah sastra dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik menjadi highlight diskusi.
Setelah diskusi yang hangat, sebuah Puisi dari Gus Haidar dilanjutkan lantunan “sugih tanpo bondho” oleh Mbak Sari menjadi pemuncak diskusi. Setelah ditutup doa. Kegiatan bergeser menuju Makam Mbah Hamid. Tawashshul, Tahlil, dan doa bersama yang dipimpin Gus Ishom menjadi klimaks kegiatan yang sangat syahdu ini. Di pintu keluar area makam, berbekal segitiga cinta yang bertambah kuat, para sedulur saling berpamitan untuk melanjutkan peran masing-masing. (Red/Dhimas/Lingkar Maiyah Pasuruan)