MENJAGA TUHAN TETAP TUHAN
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Sulthon Penanggungan Pasuruan Edisi Desember 2025)

Dalam masyarakat yang mengaku religius, mengapa praktik keberagamaan justru sering melahirkan kultus individu? Mengapa kritik terhadap tokoh agama, pemimpin politik, atau figur intelektual lebih mudah memicu kemarahan kolektif dibanding pelanggaran terhadap nilai-nilai ketuhanan itu sendiri? Apakah ini tanda kedewasaan iman, atau justru indikasi bahwa orientasi ketuhanan kita telah bergeser secara halus dari Tuhan kepada manusia?
Meng-Allah-kan manusia tidak selalu hadir dalam bentuk teologis yang vulgar. Ia sering beroperasi dalam bahasa rasional: loyalitas, stabilitas, kepentingan bersama, atau “demi kemaslahatan”. Kapan penghormatan berubah menjadi penyerahan akal? Di titik mana kepatuhan sosial menjelma menjadi pengkultusan? Dan bagaimana kita membedakan ketaatan yang sadar dengan kepatuhan yang malas berpikir?
Tulisan “Kiai Kocar Kacir” mengganggu asumsi umum bahwa otoritas religius identik dengan kebenaran. Jika “kiai” dalam khazanah budaya justru bisa merujuk pada kekalahan, keberuntungan semu, atau bahkan kebisuan moral, lalu apa sebenarnya dasar legitimasi seseorang untuk diikuti? Apakah karena kapasitas keilmuan, kedekatan emosional, posisi struktural, atau karena kita membutuhkan figur pengganti Tuhan yang lebih mudah dijangkau?
Diskusi ini juga mempertanyakan ulang definisi ibadah. Apakah ibadah hanya soal ketaatan formal, atau ia menuntut upaya aktif memahami kehendak Tuhan dalam kompleksitas realitas sosial, politik, dan ekonomi? Jika ibadah tidak berimplikasi pada kejernihan pengambilan keputusan dan ketepatan tindakan, apakah ia masih berfungsi sebagai ibadah, atau telah berubah menjadi mekanisme pelampiasan psikologis dan sosial?
Manusia kerap mengeluhkan krisis ekonomi, moral, atau kepemimpinan, namun jarang memeriksanya sebagai amanat. Apakah setiap problem adalah ujian, peringatan, atau hukuman? Atau jangan-jangan krisis justru muncul karena kita terlalu cepat mencari jawaban dari manusia, bukan belajar membaca pesan Tuhan di balik peristiwa? Sejauh mana kita bersedia menjadikan problem sebagai ruang belajar, bukan sekadar bahan keluhan?
Diskusi “Menjaga Tuhan Tetap Tuhan” tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan otoritas, melainkan mengembalikan proporsinya. Bagaimana menempatkan Tuhan sebagai sumber nilai tertinggi tanpa meniadakan peran akal manusia? Bagaimana menghormati figur publik tanpa menuhankannya? Dan yang paling mendasar: apakah selama ini kita benar-benar sedang berjalan menuju Tuhan, atau justru berputar-putar di sekitar manusia yang kita kagumi?
(Redaksi Sulthon Penanggungan)






