MENGEJAR SUARA ADZAN DI MASJID JAMI’ KOTA SEOUL

(Lanjutan cerita ANGGUR YANG BIKIN KEMENG )

Suhu Seoul yang makin mendekati 60C pada tengah malam itu berhasil memaksa kami mengakhiri obrolan. Segera kami bergegas menuju kamar untuk beristirahat. Kasur di kamar saya nampaknya tipe King Bed, sehingga cukup leluasa bagi saya dan Mas Argo berbagi space. Maka kami tidur seranjang, bersebelahan.

Rasa kebelet buang air membuat saya sempat terbangun dari tidur. Saya pun kaget ketika mendapati tak ada seorangpun di sebelah saya. “Nang endi Cah Bojonegoro mau?” batin saya penasaran. Saat akan beranjak menuju kamar mandi, saya lihat ia tidur lelap. Di lantai. Beralas karpet sih, tapi tetap saja saya ingin misuh. Meski agak merasa lega juga ternyata ia masih di sini.

“Mas Fauzi apa jadi ke masjid yang di Itaewon? Berangkat kapan? Pengen juga ikut ke masjid,” ada WA masuk ketika matahari baru saja terbit. Itu adalah chat dari kawan sesama peserta training

Kemarin ia sempat bertanya kenapa saya tak pernah gabung jalan-jalan saat free time. Saya memang tipikal yang wegah tiap diajak keluar bareng emak-emak. Karena kuat diduga acara keluar itu memuat satu agenda utama ; belanja. Maka atas pertanyaan yang ia ajukan, saya jawab dengan pemberitahuan, “besok saya ke Itaewon. Di sana ada masjid, satu-satunya masjid di kota Seoul. Saya kangen suara adzan.”

Bab Itaewon ini memang asal muasalnya gagasan dari Mas Argo. Seminggu lalu ia menawari akan mengantar saya ke sana. Setelah searching dan saya tahu ada masjid jami’ di sana, tentu saja saya mengiyakan ajakannya.

Dengan sepersetujuan Mas Argo, maka saya pun mempersilakan kawan saya itu bergabung budhal  ke Itaewon. Rupanya ia tak sendiri, 3 cewek yang lain ingin turut serta, plus kawan sekantor saya ; Kak Wawan, yang mertuanya berasal dari kecamatan yang sama dengan Mas Argo di Bojonegoro. Jadilah kami bertujuh berangkat. 

Bukanlah urusan yang mudah sebetulnya bagi kami, para turis ini, untuk mencari dan menemukan jalur subway yang tepat menuju Itaewon. Mas Argo sukses menshodaqohkan diri sebagai guide yang sabar dan telaten ngemong, sehingga kami tak perlu kesasar atau kebingungan di tengah silang sengkarut rute kereta bawah tanah kota Seoul.

Ketika ada dari kami yang kehabisan saldo e-ticket, dan upaya top-up di minimarket tak membuahkan hasil, Mas Argo menenangkan, “santai mawon, Mbak, nanti bisa kita isi saldo di konter depan pintu masuk stasiun”. Dan benar saja, di stasiun Sindorim ada semacam mesin ATM. Dengan lincah Mas Argo memandu kami melakukan top-up saldo. Perjalanan bawah tanah selama sekitar 35 menit pun lancar tanpa hambatan yang berarti.

Sesuai rencana, 15 menit sebelum waktu dhuhur kami sudah tiba di stasiun Itaewon. Perhitungan saya, tak sampai 10 menit jalan kaki akan tiba di tujuan; Seoul Central Mosque. Sebalnya, jelang pintu keluar stasiun ada minimarket. Emak-emak ngajak mampir. Alamat wis!

Rek, waktu dhuhur kurang 5 menit. Ayo, selak gak uman adzan,” sergah saya tak sabar tatkala mereka masih asik beli ini itu.

Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan. Saya bersikeras mempercepat laju jalan demi nututi waktu adzan. Namun kontur jalanan di kawasan Itaewon layaknya kota Batu ; hawanya segar tapi banyak jalan menanjak. Kerap saya jumpai orang asing (bukan Korea) di sini. Itaewon memang distrik yang menjadi favorit para turis berkunjung. Di sana sini berjajar bar dan klub malam. Dapat saya bayangkan betapa gemerlapnya suasana Itaewon saat malam hari. Kami juga sempat melewati gang di mana tragedi Halloween terjadi tahun lalu, yang merenggut nyaris 150 nyawa. 

Setelah pemandangan dan suasana khas barat, ayunan langkah kami menghantarkan pada gang dengan “cuaca” yang berbeda. Mulai tercium aroma kebab, disusul penampakan aneka restoran dengan tulisan arab “halal” di dinding kacanya. Jalanan masih berupa tanjakan, kaki makin terasa berat diayunkan, tapi mata kami terhibur berbagai wajah kuliner Timur Tengah, India, Malaysia, dan Indonesia, bahkan warung Jawa. Tiba-tiba saja merasa kerasan.

Di tengah nafas terengah-engah, wajah kami sumringah ketika jari telunjuk Mas Argo mengarahkan pandangan kami menuju kubah. “Niku Mas, mesjid e sampun ketingal,” jelasnya. Sontak langkah kaki kami berayun makin cepat. Sebelas hari sudah telinga tak mendengar lantunan adzan. Sebentar lagi rindu itu akan tertunaikan.

Setiba di halaman masjid, saya berpapasan dengan wajah-wajah khas Melayu, Asia Tengah, Arab dan Afrika. Meski belum saling kenal, tiap bertemu kami saling mengumbar senyum dan berucap salam. Penuh kehangatan dan keakraban. Saya merasa sedang pulang ke kampung halaman. 

Jelas kontras dengan suasana di jalanan tengah kota Seoul, ibukota dari negeri yang 60% penduduknya atheis, yang melesat maju industrinya dan sukses mengekspor tak hanya mobil, HP dan ragam produk teknologi tapi juga budaya K-Pop ke seantero dunia, serta yang paling panjang jam kerjanya. Dan saya sedang di sini, berdiri di halaman masjid satu-satunya di Seoul. Lekas membayang di ingatan judul salah satu tulisan Mbah Nun ; “Allah dan Slang-slang AC”.

Lamat-lamat terdengar suara dari loud speaker berukuran kecil di sudut halaman. 

Allahu akbar… Allahu akbar”

Aah… akhirnya!

“Lho, tapi kok pendek-pendek,” gumam saya.

qod qoo matish sholaah… qod qoo matish sholaah”

Baiklah. Tak ada rotan akar pun jadi. Gak kumanan adzan, iqomah pun tetep ta’syukuri.

Lihat juga

Back to top button