ANGGUR YANG BIKIN KEMENG

Handphone saya berdering ketika saya sedang bersiap berangkat jumatan. “Ada tawaran training di Korea bulan depan. Tersisa satu kursi. Kalau Mas Fauzi tertarik ikut, segera kirim data. Ditunggu sekarang!” ujar suara dari seberang. “Njih. Siap, Ibu. Saya ndherek,” jawab saya singkat.

Seraya bergegas menuju masjid di sebelah kantor, saya mengetik data diri dan lalu mengirimkannya. Langkah kaki mengayun menuju sumber suara adzan, tapi pikiran melayang hingga ke Korea Selatan. Lekas membayang dua nama. Bukan Blackpink dan BTS. Juga bukan NCT atau Le Sserafim. Bukan. Tapi Tong Il Qoryah dan Mas Argo.  

Sekian hari setelahnya, usai membereskan berbagai dokumen persyaratan keberangkatan, saya pun memberanikan diri ngontak Mas Argo ; memperkenalkan diri. Ini parah sih. Sebab sebetulnya kami telah berada di 3 grup WA yang sama. Bahkan salah satu grup telah berusia lebih dari enam tahun. Tapi tak pernah sekalipun kami saling sapa japri

Namun, dengan password 3 grup itu, plus menyebut Damar Kedhaton, percakapan kami lekas cair dan hangat. Layaknya kanca lawas. Dan kami pun janjian nanti ketemu di Seoul.

Dan akhirnya waktu itu pun tiba, setelah sepuluh hari saya stay di Korsel. Pada sabtu sore yang dingin, setelah 1,5 jam nyepur dan ngebis dari kota Daegu, Cah asli Bojonegoro yang gondrong itu tiba memeluk saya yang sedang sendhakep kathuk’en di sebuah taman. Empat batang kretek menjadi teman obrolan awal sebelum kami pindah ke kamar tempat saya menginap.   

Selepas jamaah isya’, kami memutuskan pergi keluar cari makan. Di perjalanan pulang, kami sempat melewati pasar yang suasananya mengingatkan saya pada pasar Keputran di Surabaya. Mas Argo nempil sekardus anggur hijau. “Kok akeh men tho Mas tumbas’e?” tanya saya. “Damel rencang-rencang Njenengan nyemil, Mas,” jawabnya singkat. Seketika hati saya menghangat. Sempat-sempatnya ia memikirkan rombongan saya yang berduapuluh orang. Kenal wae ora lho! Kardus berisi 5 bungkus anggur segar itu ia tenteng sepanjang kami berjalan, dan tak pernah mau saya ajak gantian.

Hawa Seoul yang nyaris 9o C malam itu mendorong kami mencari anget-angetan. Alhamdulillah, nampak di seberang sana ada kafe yang menyediakan smoking room. Kafe semacam ini tak banyak di Seoul, sementara rambu larangan merokok bertebaran di tiang-tiang tepi jalan. Sungguh menyiksa. Maka kafe itu pun menjadi semacam surga.

Dua cangkir kopi panas menemani perbincangan. Saya begitu menikmati obrolan. Mas Argo loman menceritakan perjalanan hidupnya di tanah perantauan, termasuk lika-liku pekerja imigran, dan tentu saja, perjalanan bermaiyah. Satu jam terlewat begitu cepat, hingga kami diusir oleh penjaga kafe karena sudah akan tutup. Saat keluar, kami tersadar ubi rebus yang tadi dibeli sebelum ngafe, telah dingin. Tak tersentuh. 

Kali ini saya berhasil lebih dulu nyaut kardus anggur. Saya merasa menang. Jalan kaki 1 km menuju hotel dengan menenteng beban 5 kg, lengan saya lumayan kemeng

Setiba di kamar, karena belum mengantuk, Mas Argo meminta saya mencari tahu barangkali ada kawan sejawat yang masih melek. Dapat dua. Yang satu kami kirimi anggur, yang satu kami ajak turun ke taman. Sebelum turun, kami hangatkan ubi rebus di microwave untuk kami jadikan teman pendamping rokokan.

Di taman, semilir angin yang membuat hawa dingin makin terasa mencekat, tapi obrolan berlangsung hangat. Selain berbagi kisah pribadi, kami bertiga membincang aneka hal; termasuk strategi Korea dalam membangun kekuatan industri yang memungkinkan bangsa ini tak sekedar sugih, tapi sugih bareng

Jadi, pelaku industri di Korsel itu dilarang menguasai full dari hulu sampai hilir. Tahapan produksinya harus dibagi-kerjakan dengan pabrik-pabrik yang lain. Dengan skema demikian, home industry tumbuh subur dan berdaya, karena mereka menjalin kontrak yang berkelanjutan dengan pabrikan yang besar.

Oiya, Indonesia dan Korsel merdekanya hampir barengan, tapi kini GDP Per Capita Korsel peringkat 30, sementara Indonesia urutan 96.

Lihat juga

Back to top button