MELABUHKAN RINDU, MELEPAS HORMON STRES
Salah seorang teman pernah bercerita bahwa dia pernah datang ke TKIT Alhamdulillah Kasihan Bantul untuk Maiyahan di tanggal 19. Dia datang dari Kebumen ke Bantul dengan niat untuk sinau bareng di Maiyah.
“Aku nang ndalan kudanan to, gek aku ra nggowo mantol” (Aku di jalan kehujanan sedangkan aku tidak bawa jas hujan),” tuturnya seraya menahan tawa.
“Terus piye? (Terus bagaimana?),” sambut saya penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
Dia melanjutkan cerita sambil pringas-pringis menertawakan dirinya sendiri yang seperti orang linglung setelah sampai di Bantul dan tahu bahwa hari itu adalah tanggal 19 artinya Maiyahan sudah berlangsung dua hari yang lalu. Niatnya akan membeli kaos di outlet Maiyah untuk mengganti seluruh kostumnya yang basah kuyup akibat terguyur hujan. Namun apalah daya, di hari itu dia tidak melihat kalender dan tidak ingat sama sekali untuk menengok tanggal di hari itu bahkan di layar handphone sekalipun.
Tanggal 17 di setiap bulan memang menjadi momen yang ditunggu-tunggu bagi sebagian orang termasuk saya sendiri. Tanggal 17 menjadi hari spesial di setiap bulannya. Terkadang merasa kecewa jika berhalangan hadir karena suatu hal.
Momen tanggal 17 di setiap bulannya menjadi istimewa bagi teman-teman jamaah Maiyah. Tentu sebuah momen yang sayang jika harus dilewatkan begitu saja tanpa ikut berpartisipasi di dalamnya. Tak lain dan tak bukan momen itu adalah Mocopat Syafaat atau biasa disebut MS.
Saya pribadi selalu menunggu-nunggu momen bulanan itu. Karena dengan datang di MS kita bisa seolah-olah melepas beban hidup untuk sementara. Bagaiamana bisa? di MS selain wiridan dan baca Al-Qur’an kita akan diajak berpikir kritis. Dan salah satu cara untuk melepaskan hormon stres di Maiyahan 17 adalah pembacaan puisi rusak-rusakan oleh beliau Bapak Mustofa W Hasyim. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan oleh Allah ta’ala. Amin. Dengan puisi rusak-rusakan itu kita bisa tertawa lepas. Mungkin menertawakan bacaan puisi Pak Mustofa yang dianggap lucu, atau bisa juga menertawakan kegetiran hidup yang tak kunjung usai.
Saat Pak Mus, demikian teman-teman biasa memanggilnya, mulai membacakan puisinya, gelak tawa dari teman-teman sudah mulai bermunculan. Kemudian ditambah dengan pembacaan puisi beliau yang kadang lucu menurut pemikiran kita-kita yang kurang paham ihwal puisi. Mungkin karena lucunya Pak Mus, kemudian kita bisa tertawa dengan sepuasnya, maka beban yang ada di pundak minggir sementara. Karena belum tentu juga ketika pulang ke rumah bisa tertawa terbahak-bahak seperti saat berada di MS. Yang jelas bahan untuk ketawa ketika di rumah dan di MS beda. Bisa disangka gila jika di rumah tertawa terbahak-bahak tanpa ada sebabnya, ha-ha.
Selain menikmati puisi rusak-rusakan, wiridan, kemudian menikmati alunan musik bapak-bapak KiaiKanjeng, dan menggali ilmu dari guru kita Mbah Nun, jamaah juga saling melabuhkan rindu satu sama lain. Momen bulanan yang menjadi istimewa karena kita bertemu di sebuah acara yang kita kuat duduk enam hingga tujuh jam lamanya tanpa keluh kesah. Paling tidak berkeluh untuk ke kamar mandi hehe.
Masih mending jika ada Sinau Bareng di berbagai tempat yang masih bisa dijangkau, rindu kita tidak terlalu menggunung. Tapi jika momen Maiyahan hanya di tanggal 17 saja, pasti rindunya begitu hebat. Rindu Sinau Bareng, rindu pada lantunan musik bapak-bapak KiaiKanjeng dan rindu bertemu sapa satu sama lain. Karena vibes-nya berbeda ketika kita mendengarkan musik KiaiKanjeng secara langsung dengan mendengarkan lewat youtube. Maka dari itu, momen satu bulan sekali, Mocopat Syafaat menjadi istimewa untuk kita melabuhkan rindu satu sama lain.
Yang jelas, momen tanggal 17 setiap bulan adalah momen melepaskan hormon stres karena berbagai hal yang telah menumpuk selama satu bulan. Bahkan ketika Mbah Nun bilang “kowe ki jan jane do ngopo rene ki, mbok uwes rasah do maiyahan wae (Kalian sebenarnya ngapain ke sini, sudah tidak usah maiyahan saja)” dengan nada bercandanya yang khas beliau lontarkan kepada jamaah, ada dua orang jamaah tepat duduk di belakang saya yang bergumam, “Lha nunggu Maiyahan mawon sesasi pisan e mbah, nek saget ora mung sepisan sesasi ki(nunggu maiyahan saja sebulan sekali, kalau bisa ya tidak hanya sekali sebulan).”
Dari sayup-sayup grenengan jamaah yang bisa saya tangkap ternyata juga merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan. Mungkin juga hal yang sama dirasakan jamaah Maiyah yang lain, atau bahkan seluruh jamaah Maiyah, bisa jadi. Rasa-rasanya kalau satu bulan sekali untuk bertemu dan saling melabuhkan rindu agak kurang.
Tapi, kita tidak boleh nggragas kata Mbah Nun. Sak madyo wae (sewajarnya saja), tidak usah rakus. Meskipun bertemu dalam Maiyahan satu kali dalam satu bulan jika khusyu’ dan tenanan (serius) kok saya tidak yakin jika Allah tidak kasihan dengan hamba-Nya yang masih meraba dalam hidup, termasuk saya hehe.