MAIYAH: DARI KEYAKINAN INFORMATIF MENUJU KEYAKINAN FAKTUAL

Sangat penting bertuhan dalam beragama. Namun, terkadang orang tidak menyadari bahwa dalam kegiatan beragamanya ia bisa jadi malah tidak bertuhan. Itu terjadi saat mereka disibukkan oleh rumusan aturan-aturan keimanan dan peribadatan yang baku. – Sibuk Menafsirkan, Lupa Bertuhan, Muhammad Nursamad Kamba

Tulisan sebelumnya, Melepaskan Diri dari Internalisasi Ramadhan yang Mabni Pancet Alias Stagnan, sesungguhnya dipicu oleh keprihatinan subjektif mengenai fakta yang terjadi selama puasa bulan Ramadhan. Kajian fikih puasa masih mendominasi topik ceramah. Lalu disusul topik tentang keutamaan dan kemuliaan bulan Ramadhan. Ayat kutiba ‘alaikumush-shiyaamu menjadi ayat yang wajib dibaca oleh penceramah setelah amma ba’du.

“Semangat keberagamaan terkadang kesannya berlebihan dan inkonsisten tatkala perbincangan mengenai ritual-ritual formal tak ada habis-habisnya—yang berulang-ulang diwacanakan dalam kegiatan keseharian, mingguan, bulanan, sampai tahunan,” ungkap Syaikh Nursamad Kamba.

Menjelang datangnya bulan Ramadhan tema utamanya adalah “Marhaban Ya Ramdhan”. Semua bersuka cita. Naifnya, belum genap tiga puluh hari temanya bergeser menjadi “Selamat Hari Lebaran”. Idul fitri kurang tujuh hari, tapi pikiran dan perasaan orang-orang sudah berada pada situasi hari raya.

Orang-orang berjubel di toko busana. Para pemudik memadati jalan raya antar kota. Selehgenje “tema abadi” kapan 1 Syawal menjadi perbincangan rutin setiap tahun.

Pertanyaannya, apakah seperti itu model umat yang sibuk menafsirkan tapi lupa bertuhan? Apakah fakta tersebut merupakan akibat dari pihak yang selama ini dianggap memiliki otoritas informasi tentang agama, justru hanya berkutat dalam wacana formal ritual keagamaan? 

Apakah para penceramah belum mampu menyodorkan logika kepada umatnya bahwa ketaatan perlu dikerjakan semata-mata karena ketaatan itu memang baik, walaupun tanpa iming-iming surga dan ancaman neraka? Belum adakah majelis taklim, forum pengajian, lingkaran diskusi ilmiah yang melakukan transformasi “keyakinan informatif” menuju “keyakinan faktual”?

Keyakinan informatif itu bersifat ideal normatif; keyakinan faktual bersifat realistis empiris. Keyakinan informatif menyandarkan dirinya pada kenyataan tafsir tekstual yang ideal normatif. Ia tidak menyentuh sisi kemanusiaan karena tidak dibangun oleh narasi rasional bahwa manusia adalah “makhluk kemungkinan” bukan “makhluk kepastian”. Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Manusia adalah makhluk jasmani sekaligus makhluk rohani. Manusia adalah makhluk surga yang ngincipi hanya sejenak saja sebagai makhluk dunia.

Kalau pun ada sisi kemanusiaan yang disentuh, biasanya dilakukan melalui kelakar, guyonan, dagelan receh yang kontra produktif dengan substansi nilai-nilai yang dipesankan. Ini semacam—maaf—onani untuk menerbitkan harapan palsu. 

Transformasi keyakinan informatif menjadi keyakinan faktual ditunjukkan oleh Mbah Nun ketika menyatakan aslinya setiap orang tidak suka berpuasa, namun ia tetap menjalaninya karena cinta dan patuh pada Tuhan. Menjalani perintah Tuhan tidak berdasarkan suka atau tidak suka, melainkan karena cinta. 

Setiap manusia aslinya memang tidak suka berpuasa. Transformasi faktual selalu berpijak pada dimensi kemanusiaan karena pelaku puasa bulan Ramadhan bukan malaikat, iblis, atau binatang, melainkan manusia. 

Sampeyan dapat menemukan model transformasi seperti itu melimpah ruah di Majelis Ilmu Maiyah. Transformasi itu didasari oleh etos nilai: selama Allah dan Nabi Muhammad senang aku akan mengerjakannya. Ini ruang lingkup iman. Adapun ruang lingkup ilmu bebrayan sosialnya kita tetap menghitung kesucian—yang komponennya dibangun oleh kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Pada konteks ini saya pun memahami dawuh Syaikh Nursamad Kamba, “Jangan-jangan perilaku beragama kita tidak sebagaimana yang dimaksud oleh Nabi Muhammad.” Kalau memakai ungkapan arek Maiyah: “Mosok ngunu iku perilaku orang beragama.” 

“Yang patut diperbincangkan publik (dan menjadi topik utama dalam mengupayakan kesadaran bertuhan) adalah bagaimana membentuk sikap dan sifat independen, kesucian jiwa, bijaksana, jujur, dan cinta dalam menjalani kehidupan. Untuk tujuan itulah agama ada. Jalan kenabian adalah jalan peradaban yang dibangun di atas pilar-pilar kemandirian, penyucian jiwa, kebijaksanaan, kejujuran, dan cinta kasih,” ungkap Syaikh Nursamad Kamba. 

Jombang, 19 April 2023

Lihat juga

Back to top button