KEHENDAK SEMU

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Poci Maiyah Tegal Edisi Januari 2026)

‎‎Awal tahun. Sudah se-progress apa diri kita?

‎Mukaddimah kali ini akan diawali dengan sebuah ilustrasi:

‎‎Sebuah daun kering jatuh ke sungai yang mengalir. Banyak arah-arah aliran sungai, ada yang menuju persawahan, menuju sungai kecil desa, dan juga menuju ke muara.

Daun kering itu terkadang tersangkut di tepi sungai, terbawa lagi arus, hampir masuk ke irigasi persawahan, lalu akhirnya menuju muara dan samudera. Saat ia tersangkut, menuju persawahan atau lanjut ke samudera, apakah itu kehendaknya sendiri atau ia hanya mengikuti arus sungai?

‎Apakah takdir hidup manusia secara mendasar seperti itu?

Lihat juga

‎Jabariyah atau fatalisme mengatakan manusia sama sekali tak memiliki kehendak, semua digerakkan dari sumber, dalam keyakinan seorang muslim, adalah Tuhan – Sang Maha Menggerakkan. Qodariyah atau determinisme sebaliknya, semua itu memang by design, tapi manusia-lah yang menentukan, Tuhan hanya merencanakan. Kita berkehendak, tapi kehendak Tuhan-lah yang berkuasa.

Obrolan tentang takdir – apalagi kehendak Tuhan, itu memang rumit. Jika kehendak Tuhan yang berlaku, maka mengapa manusia juga harus punya kehendak hidup? Dan apakah masih bisa disebut ‘manusia’ jika hidupnya sudah tidak memiliki kehendak semu, kehendak personal?

‎Seorang ibu bersedih karena selama 15  tahun anaknya mengalami gangguan jiwa, sedang umur anaknya sudah 26 tahun. Gangguan jiwa saat usia 11 tahun. Ada juga yang mengeluhkan anaknya yang ABK (berkebutuhan khusus), sakit menahun, atau bahkan wafat saat masih muda. Jangan paksakan logika linier untuk menyentuh persoalan ini. Tapi sekadar yakin bahwa “Tuhan Maha Adil”, itu juga berat – jika tanpa narasi logis. Mengapa Tuhan begitu banget?

‎Zaman Nabi Khidir, ia membunuh anak kecil, sebab anak itu akan durhaka pada orangtuanya yang mukmin. Zaman kita, umat Nabi Muhammad, menyelamatkan 1 nyawa, seperti menyelamatkan seluruh umat manusia. Ini dilematis. Apakah anak yang sakit menahun itu layak untuk disembuhkan jika – misalnya – di masa depan ia menghamili anak orang atau bahkan menjadi pejabat korup?

‎Di sinilah batas ikhtiar manusia. Sebatas melaksanakan perintah Nabi, tuntas kewajiban, persoalan nanti bagaimana, kehendak Tuhan-lah yang lebih berhak menentukan.

‎Di wilayah ruh – sebelum ditiupkan ke rahim, seseorang diperlihatkan takdirnya sejak lahir sampai ia mati. Termasuk kemungkinan-kemungkinan takdir, secara lengkap dan jelas. Malaikat berkata: kau akan lahir sebagai anak pertama dari keluarga Fulan dan fulanah, kamu akan punya adik 4, dan mengawali hidup dengan sehat. Tapi di usia 11 tahun, kamu akan kena gangguan jiwa, demi menyelamatkan adikmu yang sakit-sakitan saat kecil. Kamu akan mengalami ini sampai usia 26 tahun. Akan ada seorang hamba-Ku yang datang mengobatimu, dan jika kamu tak sembuh, kamu akan menjadi syafaat untuk keluarga besarmu di akhirat nanti. Kamu siap?

‎Hamba itu menjawab : Qolu bala, syahidna

‎Dan lahirlah anak itu dalam kondisi setelan pabrik, bayi yang tak tahu apa-apa. Diwajibkan belajar, agar sampai pada kebijaksanaan: siapa sebenarnya yang menghendaki hidupku ini?

‎Tegal, 25 Desember 2025

‎(Redaksi Poci Maiyah/Abdullah Farid)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button