NERACA PERDAGANGAN MAS, BUKAN NERAKA PERDAGANGAN

Dan untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kabupaten Banyumas. Lebih tepatnya di wilayah Purwokerto. Di mana di kota itulah Bank Rakyat Indonesia berdiri. Ada museumnya. Dan ada warung Soto legend di dekatnya. Soto Ayam Haji Loso di jalan bank, Purwokerto. Bagaimana, tulisan ini sudah dibuka dengan sangat ekonomik sekali bukan. Menyinggung bank dan menyerempet warung Soto. Pak haji pula yang punya. Sangat ekonomik dan Islamik.

Iya. Kedatangan saya di Purwokerto bisa dikatakan hal yang cukup ajaib dan nyinggung hal-hal ekonomik. Okelah anggap saja ini gimmick begitu. Namun pada kasunyatannya memang seperti itu. Ada acara yang diselenggarakan oleh sedulur-sedulur (semoga tidak malu punya sedulur kayak saya), simpul Maiyah Juguran Syafaat. Iya. Itu setahu saya awalnya. Ya begini ini contoh kalau hanya tahu sepotong sepotong informasi. Padahal jelas tertera di poster-poster digital DSC (Diplomat Success Challenge) season 14. Yang kemudian di bawahnya kalau mau jeli membaca ada dua agenda. Yang pertama Workshop baru kemudian Sinau bareng Simpul Juguran Syafaat di Hetero Banyumas.

Terus terang saya dulu IPS pas SMA. Dan sampai hari ini ya nggak paham sama sekali soal ekonomi dan hal-hal yang berkaitpaut dengannnya. Apalagi soal Usaha, Pengusaha, Wirausaha, Kewirausahaan, Enterpreneurship, Leadership, dan ship-ship yang lainnya. Pokoknya dulu setiap ada PR pelajaran ekonomi, nyontek temen yang pinter. Yang dulu sering membaca ‘neraca perdagangan’ dengan ‘neraka perdagangan’. Begitulah. Makanya soal kedatangan saya sampai ke Hetero Space Banyumas ini saya anggap ajaib. Sepakat ya? Iya aja kenapa sih.

Mungkin saya agak dipaksa sama Tuhan untuk datang. Katanya kalau Tuhan sudah berkehendak, tak ada yang bisa menghalangi dan tentu saja ada semacam fasilitas untuk kita. Tuhan ogh. Tanggung jawab mesti. Saya awalnya ragu untuk datang meski ada tawaran. Ya bagaimana ya, tiket Solo-Purwokerto itu di hari-hari itu adanya yang eksekutif. Oh iya saya belum cerita tanggal berapa acara itu ya? Duh. Saya berangkat pas Idul Adha versi Pemerintah dan kaum-kaum yang menjalankannya. Tanggal 29 Juni 2023. Kenapa saya berangkat tanggal 29 Juni 2023, karena acara bakal dihelat pada tanggal 30 Juni 2023 dari pagi hingga malam hari. Jelas harga tiket kereta api sangat tidak ramah di kantong manusia yang hidup di bawah, bawahnya lagi, garis kemiskinan. Iya. Sampai hari ini saya masih menganggap diri saya miskin. Tapi tenang. Besok paling sudah berubah jadi kaya. Saya ogh.

Intinya, kalau naik kereta tidak mungkin. Anehnya, istri saya malah yang meyakinkan. Dia bilang feeling-nya kuat saya bakal berangkat. Perkara caranya seperti apa dan sampai di sana bakal ngapain, kita sama-sama tak mengerti. Benar saja tak lama fasilitas itu datang. Lewat hamba Tuhan. Siapa? Tak perlu lah. Biar kesannya makin ajaib.

Pada akhirnya berjumpalah saya dengan teman lama dari simpul Juguran Syafaat. Mas Hilmi dan Mas Rizky. Nama terakhir ini ikut sebagai narasumber dalam acara Workshop bersama Mas Edric Chandra (Program Inisiator Diplomat Success Challenge), Mas Helmi Mustofa (Redaktur CAKNUN.Com), dan Mas Cretta Cucu A. (CEO Seruni Audio). Sedangkan Mbah Nun hadir malam harinya untuk menemani anak cucu Sinau bareng Berdaya Bersama Mandiri Berekonomi.

Sedikit saya curi-curi dengar dari Mas Hilmi, penggiat Juguran Syafaat yang concern di dunia pendidikan itu, bahwa acara ini semacam pemanasan, atau perkenalan, dan bisa dijadikan ajang silaturahmi ekonomi antar jamaah Maiyah khususnya di Banyumas Raya. Menarik ini. Karena saya tidak begitu paham soal ilmu berjenis ekonomi itu saya manggut-manggut saja. Ya itu tadi soal ekonomi yang saya tahu ya tentang pelajarannya yang nggak menarik sama sekali. Selain menghapal jenis kerjasama-kerjasama internasional. Atau ngitung duit tapi ora ono duite. Eh itu pelajaran Akuntansi ding. Begitulah.

Agak telat saya datang ke acara. Karena tidak datang sebagai peserta workshop, akhirnya saya duduk-duduk saja di luar. Sambil sesekali menyapa jamaah Maiyah yang tak kenal nama tapi kenal wajah. Kenapa saya tidak masuk. Yang pertama saya sempat mau mendaftar tapi kuota 150 peserta itu sudah penuh. Pun kalau saya masuk, saya takut tidak betah duduk berlama-lama mendengarkan sharing season dan tebaran ilmu itu. Apalagi di dalam ada mesin pendingin, tambah takut masuk angin saya. Alhasil saya di luar saja. untungnya pengeras suara itu sampai di luar juga. 

Kalau mendengarkan, sepertinya acaranya berjalan seru. Sangat interaktif. Juga inspiratif. Setiap narasumber mewedar ilmunya dengan sangat memikat. Beberapa kali terdengar tawa. Beberapa kali pula hening. Mungkin para peserta terbelalak. Mungkin takjub. Atau mungkin “iya, ya, kok saya baru tahu ya?” Dan segala jenis kemungkinan yang bisa memantik para peserta untuk semakin mantap berusaha dan berusaha. Setiap narasumber punya pandangan-pandangan yang bisa dijadikan ‘modal’ untuk melangkah ke depan. Yang saya intip sedikit adalah bagaimana Mas Helmi Mustofa membeberkan Nasihat-Nasihat Mbah Nun Soal Ekonomi. Sampai pada idiom Jami’ah Pengusaha Surga. Bisa teman-teman baca di caknun.com. Begitu beliau himbau kepada para peserta yang ternyata tidak hanya dari kalangan jamaah Maiyah saja. Sedangkan Mas Edric Chandra mengajak para peserta menyelami dan  mengenali diri lebih dalam. Mengenali kelebihan dan kekurangan. Untuk apa? Sekali lagi sebagai modal untuk mengubahnya menjadi kekuatan-kekuatan. Sayangnya kegiatan dari pagi hingga sore itu tidak saya ikuti dengan baik. Karena pikiran saya masih dipenuhi dengan pertanyaan, “Ini saya kok bisa di sini ngapain yak?”

Kalau dari kacamata individual saya sih begini. Kegiatan itu memang sangat perlu untuk jamaah Maiyah. Bagaimana ‘Ilmu Rumah Tangga’ itu, (eh bener kan ekonomi, oikos nomos, ilmu rumah tangga kan?) dipakai dengan sentuhan nilai-nilai yang didapatkan di forum-forum Maiyah. Hanya saja, bagaimana keberlangsungan, atau keberlanjutan setelah kegiatan workshop yang diperkuat dengan Sinau Bareng pada malam harinya, nilai dan ilmu yang didapat benar-benar bisa diimplementasikan para peserta dan jamaah. Paling tidak ada yang memantau. Paling tidak ada yang ikut menemani. Paling tidak ada yang menampung dan mau mendengarkan jika ada masalah yang dihadapi di kemudian hari. Atau paling tidak ada yang menjadi ‘jujugan’, ‘rujukan’, atau forum lanjutan, utamanya mungkin yang mengalami ulang-alik, jungkir-balik, jatuh-bangun ketika menjadi pengusaha dengan sentuhan yang lebih rinci dan teknis. Iya kali jalan selalu mulus dan lurus. Seperti yang dibabar Mbah Nun pada Sinau bareng malam itu, bahwa Shiratal mustaqim itu bisa ditadabburi sebagai arah yang tepat, karena jalan yang dilalui bisa sangat berkelok dan penuh halang rintang. Apalagi pengusaha. Yang tidak hanya mengusahakan untuk diri dan keluarganya melainkan juga memikirkan hajat hidup orang banyak. Mesti mumet dan mumet juga.

Menjadi kaya supaya lebih banyak bermanfaat dan bersedekah. Untuk kaya juga ada ilmunya. Terus bagaimana menjadi kaya? Dagang atau Bisnis? Bagaimana menghadapi ‘uang’ yang konon hanya alat tukar tetapi kemudian berubah menjadi nilai tukar itu? Atau bagaimana tulisan ini harus saya akhiri? Di tengah-tengah pertanyaan kita itu miskin atau dimiskinkan? Atau ada yang bilang modal tak selalu tentang uang, kalau tidak uang, kenapa pula hadiah itu pada akhirnya berwujud uang? Saham gitu bisa nggak? Wkwkwk…

Ilmu saja cupet, kok minta saham. Wong neraca perdagangan saja dibaca neraka perdagangan. Bodoh amat dah. Selama Terus Berjalan, Mili, dan selalu ada Progress semoga Tuhan berkenan memberikan amanah untuk anak cucu Maiyah memegang kendali ekonomi di setiap dimensi dan lini. Ciyatttt!!!!

Lihat juga

Back to top button