JARIYAH CINCIN NUSANTARA

JARIYAH CINCIN NUSANTARA

Di Sekolah Warga Sakola Motékar (sebuah komunitas yang lahir dari rahim simpul Maiyah: Lingkar Daulat Malaya Tasikmalaya) terselenggara sebuah kegiatan yang memfasilitasi hadirnya warga, tokoh masyarakat, aktifis, cendekiawan, atau bahkan pemerintah, untuk mendiskusikan berbagai keresahan terkait permasalahan yang tengah dihadapi. Kegiatan tersebut bernama Nujuhlikuran. 

Nujuhlikuran bersal dari bahasa Sunda, yang artinya “dua puluh tujuh-an (27-an)”. Sengaja, kami menamakannya demikian, sebagai bentuk tabaruk kami kepada guru kami, Emha Ainun Nadjib yang lahir pada, 27 Mei 1953. 

Dari kegiatan Nujuhlikuran tersebut, melahirkan berbagai macam kegiatan, yang di antaranya adalah; Gamelan Ki Pamanah Rasa (yang pada tahun 2022 meraih juara satu Festival KiaiKanjeng), Mingu Ulin, Pasar Kinanti, Taman Karya Anak, Festival Pupujian dan Ngabuburit di Lembur. Semua kegaitan tersebut berorientasi untuk menciptakan kehidupan warga yang penuh dengan nilai kebersamaan, kerukunan, dan kebaikan. Atau yang sering kami sebut dengan warga MANDORO (Mandiri dan Gotong Royong). 

Bagi saya, kegaiatan tersebut sangat terasa harmonis. Menyaksikan setiap elemen masyarakat mampu duduk bersama, melingkar, mengubur ego personal, membangun satu tujuan yang sama, dan yang jelas bukan perkumpulan tahsabuhum jami’a wa qulubuhum syatta.

Sebagai Jamaah Maiyah, saya senantiasa merefleksikan diri. Rasanya, sudah sangat banyak nilai dan ilmu yang Mbah Nun tebar selama ini. Tapi sayangnya, yang bisa saya amalkan hanya sedikit. Bagi saya, hal tersebut adalah ironi, karena dalam khasanah Islam, pengamalam ilmu adalah salah satu hal yang sangat penting. Bahkan terdapat banyak literatur yang menjelaskan amalan tersebut beserta fadilahnya. Seperti dalam hadits yang berbunyi:

“قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذَا مَاتَ ابنُ آدم انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ”. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: Ketika manusia itu mati, maka terputuslah semua amalannya. Kecuali tiga perkara, yaitu: shodakoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orangtuanya.” (H.R. Muslim) 

Begitu pun dalam mahfudzot yang berbunyi: 

“العلم بلا عمل كالشجر بلاثمر” 

Artinya: “Ilmu tanpa pengamalan itu seperti pohon tanpa buah”.  

Saya ingat, Mbah Nun pernah menulis sebuah esai berjudul “Cincin Nusantara dan Lingkaran Dhadu” yang beliau tulis pada 23 April 2016. Pada alinea kedua beliau menuliskan; “kalau begitu mari kita belajar untuk tidak ungkur-ungkuran. Mari maiyahan. Kita bikin lingkaran keakraban dan kejujuran. Kalau belum bisa ber-maiyah atau melingkar menjadi satu Cincin Nusantara, ya coba kita rintis lingkaran-lingkaran kecil diantara kita semua orang-orang kecil ini.”

Ya semoga saja, perkumpulan yang saya ceritakan di atas, adalah perkumpulan yang Mbah Nun sebut sebagai lingkaran kecil perintis Cincin Nusantara. Dengan begitu, semoga ilmu yang selalu beliau tebar bisa menjadi ilmu yang bermanfaat. Bisa menjadi pohon yang rindang dan lebat akan buah-buah ranum penuh berkah. Juga bisa menjadi wasilah bagi amal jariyyah yang senantiasa Allah SWT limpahkan walaupun kelak beliau tiada. Aamiin.

Harapan besar saya, semoga catatan kecil ini bisa menjadi persembahan sekaligus kabar gembira bagi Mbah Nun yang saat ini usianya tujuh puluh satu tahun. 

Miladukum said, Mbah!

Panjang umur dan sehat selalu. Kami rindu! 

Lihat juga

Back to top button