GELISAH ANGIN KUMBANG

Selasa Kliwon, 28 Februari 2023, penggiat Maiyah Cirrebes (Cirebon dan Brebes) mengunjungi sedulur masyarakat adat Jalawastu di kaki gunung Shagara atau kumbang. Hadir juga bersama kami Mas Gusmo dan kawan-kawan Kalisoga dari Larangan Brebes dan Taring Awi dari Kuningan.

Ini adalah perjalanan kami yang kelima dari setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2019 hadir juga beberapa sedulur dari majelis masyarakat Maiyah Gugurgunung dari Ungaran, Jawa Tengah dan sempat memberikan kenang-kenangan kepada kepala adat sebuah buku berjudul Desa Purwa karya Mas Agus Wibowo. Kegiatan ini masuk dalam agenda kami karena sebagai bentuk sambang sedulur dan silaturahmi kepada masyarakat di sana, terkhusus belajar mengenai peradaban budaya leluhur agar selalu mengingatkan akan kelestarian dan keseimbangan alam.

Bagi kami ini dalam rangka “menemu kembalikan” sebuah upaya dari apa yang sering disampaikan Mbah Nun kepada kita semua tentang kesadaran kebudayaan yakni mengingat yang dilupakan orang, memungut yang dibuang orang, dan menghidupkan yang dikuburkan orang.

Bukan upaya merekontruksi budaya, tetapi ini adalah bagaimana tentang menerapkan temuan dan peninggalan leluhur kita untuk kemudian diterapkan terhadap segala aspek kehidupan dan pembangunan untuk masa sekarang dan masa depan.

Pilar inilah yang menjadi penting untuk membangun sebuah peradaban bangsa agar hegemoni budaya asing tidak menjadi tolak ukur pembangunan.

Dengan bentang alam yang luas dan terdiri dari berbagai sumber daya alam harus bisa mewujudkan keadaan yang bisa memakmurkan masyarakatnya, terlebih lagi adat istiadat di masyarakat tentang hubungan dekat dengan alam sekitar sudah menjadi budaya di Nuswantara.

Di Jalawastu ada sebuah acara adat bernama Ngasa yaitu sebuah ungkapan rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas segala karunia yang diberikan berupa sumber alam dan hasil pertanian yang melimpah semacam sedekah gunung. Sama halnya tradisi Nyadran di pesisir utara Jawa atau sedekah bumi yang diselenggarakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap alam sehingga mencintai dan menjunjung nilai-nilai budaya leluhur yang  secara turun-temurun nenek moyang Nuswantara mengenal pola hidup saling menghargai dan menghormati dengan sesama makhluk hidup terutama alam raya sebagai sumber kehidupan. Upacara adat Ngasa ini digelar satu tahun sekali setiap Selasa Kliwon mangsa Kasanga atau sembilan dalam kalender Jawa.

Malam sebelum Ngasa masyarakat berkumpul melakukan kegiatan pentas seni dan budaya. Ada tarian dan musik kecapi yang dialunkan sampai tengah malam. Membuat gunungan dari hasil pertanian dan perkebunan yang akan diarak pada pagi harinya. Menyuguhkan segala hasil pertanian yang ada kepada para pengunjung dan hasil perkebunan berupa umbi jalar, singkong, dan tandan-tandan pisang yang digantungkan di atas beranda rumah, siapapun saja boleh memakannya. Kemudian mereka melakukan ritual tolak bala dengan membacakan beberapa kidung dan mantra memohon kepada Yang Maha Kuasa. Setelah pukul 24.00 WIB kemudian menjalani ritual puasa dan ‘melekan’ tidak tidur dan makan sampai matahari terbit.

Menjelang subuh, masyarakat yang muda dan tua berduyun-duyun membawa makanan berupa nasi jagung dan sayur mayur khas berupa tepus dan lalapan daun reundeuh, serta hasil pertanian dan perkebunan ke sebuah lokasi yang semua lantainya berbatu rapi seperti kepunden yang sudah lama ada dari turun-temurun.

Di sana terdapat beberapa sumber mata air yang hilirnya mengaliri daerah Cirebon dan Brebes. Jalawastu yang berasal dari dua suku kata ini mempunyai makna jala sebagai air dan wastu sebagai benda berharga yang berarti air suci yang sangat berharga. Selain sebagai sumber kehidupan untuk minum dan memakmurkan alam sekitar yang ada, air suci ini digunakan untuk pelantikan pada masa lampau dipercikan atau disiramkan kepada para pembelajar dan penguasa sebagai tanda kelulusan dan pengesahan.

Sumber literasi yang ada terdapat pada catatan naskah Sunda kuno dari Bujangga Manik sekitar akhir abad ke-15. Yang menceritakan Jalawastu sebagai ‘Kaguruan’ atau ‘Kabuyutan’ yaitu semacam universitas ilmu pengetahuan, selain itu ada sewakadarma dari 10 naskah Ciburuy yang salah satunya tentang norma-norma hukum yang berlaku untuk masyarakat dan alam sekitar.

Kontur geografis di Jalawastu yang masuk daerah kawasan Brebes JawaTengah dan berbatasan dengan Jawa Barat menjadikannya sebagai hal yang unik. Masyarakat di sana menggunakan bahasa daerah Sunda untuk kesehariannya, terdapat hanya sekitar 145 kepala keluarga. Semua bangunan dilarang menggunakan batu bata dan semen.

Bentang alamnya yang sangat luas mempengaruhi kehidupan bukan hanya di sekitarannya saja, tetapi mempengaruhi siklus cuaca sampai ke daerah pesisir terutama daerah di Cirebon dan Brebes. Di tempat kami terdapat siklus angin kumbang, yaitu angin yang timbul akibat angin laut yang berhembus ke daratan kemudian dipantulkan kembali oleh gunung Kumbang yang berjejer kokoh berdiri sebagai bentang dan benteng alam.

Angin dari gunung Kumbang inilah yang terasa manfaatnya bagi semua makhluk hidup selain nelayan di pesisir dan petani untuk mengurangi risiko hama, sedangkan bagi tumbuhan bisa mempercepat proses pembuahan dan penyebaran bibit.

Betapa sangat berharganya karunia itu, yang sebentar lagi bisa berbanding terbalik dengan keadaan yang ada jika tidak terpelihara kelestariannya. Tumbuhan di hutan sudah mulai gundul, longsor dan banjir menjadi langganan tetap di musim penghujan. Kekeringan lahan sudah tidak bisa diperdiksi jangka waktunya sehingga panen disawah gagal dan kebutuhan air baku sangatlah sulit.

Kebijakan pembangunan tidak lagi mengkondisikan hulu hilir ekosistem alam dan moral manusianya menjadi konsumtif yang berlebihan, ingin serba instan sehingga residu sampah kemasan menjadi hal lumrah hingga menggunung dan sungai-sungainya menjadi tempat sampah terpanjang di dunia.

Pusat budaya harus menjadi cikal bakal terbentuknya pola masyarakat terhadap lingkungan, sosial, politik dan agama yang berpengaruh positif bagi semua makhluk hidup. Terlebih nenek moyang kita sudah menanamkan segala bentuk budi pekerti berupa sumber pengetahuan yang sangat detail dan banyak di berbagai tempat.

Situs Jalawastu sebagai sumber ilmu pengetahuan masa lampau salah satunya menjadikan semacam trigger berpikir dan menata kelola kembali semua bentuk hubungan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan pengetahuan. Alam tidak lagi dijadikan sebuah objek ekspansi dan eksploitasi tetapi harus sebagai subjek yang bersamaan membangun kelangsungan hidup. Kalau gagal maka akan terjadi ketidakseimbangan yang akan merugikan satu sama lain bahkan bisa semuanya. Kalau dalam istilah Maiyah kita lebih mengenal ‘bencana’ itu sebagai tipuan, menurut Romo Manu J. Widyaseputra, mana mungkin alam menipu, yang menipu adalah manusia, maka diperlukan sebuah kebijaksanaan (ekosofi).

Angin Kumbang harus tetap membawa kesegaran bagi semua makhluk di sekitar perlintasannya. Adat istiadat bukan hanya sebagai jembatan pembangunan tetapi harus sebagai kontruksi agar kokoh, membangun masa kini dan akan datang dengan melihat masa silam.

Lihat juga

Back to top button