DIES NATALIS KE-65, UNDIP SINAU BARENG ”SARJANA KEHIDUPAN”

(Liputan 1 Sinau Bareng Dies Natalis ke-65 Universitas Diponegoro Semarang, Kamis 22 Desember 2022)

Bertempat di Stadion Undip di kawasan Tembalang Semarang, semalam (22/12/02) dalam rangka Dies Natalisnya ke-65 Universitas Diponegoro menggelar Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Pak Rektor Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M. Hum beserta para Wakil Rektor menemani Mbah Nun di panggung dari awal hingga akhir acara dan dengan sangat antusias mengikuti Sinau Bareng ini.

Sebagai hadiah dan ungkapan simpati kepada Undip yang sedang ultah ke-65, Mbah Nun memberikan hadiah berupa pementasan Dramatic Reading yang lebih spesial dari biasanya dalam Sinau-Sinau Bareng sebelumnya. Mbah Nun dengan serius mempersiapkan naskahnya, bahkan panjang tulisannya dua kali lipat dari naskah-naskah dramatic reading sebelumnya. 33 halaman panjangnya, dan malam itu dibawakan dengan amat impresif oleh Pak Jokam, Pak Nevi, Mas Jijid, Mas Doni Mas Imam Fatawi, Mas Islami dan musik KiaiKanjeng.

Judul dramatic reading tersebut adalah ”Jagat Pasinaon dan Sarjana Kehidupan”. Seperti setiap kali berbicara di kampus, Mbah Nun senantiasa konsisten mengemukakan kritik frontal terhadap filsafat yang selama ini membangun cara pandang modern di mana dunia dilihat dan dipelajari sebagai bidang-bidang yang terpisah-pisah. Universitas sebagai perguruan tinggi dengan berbagai fakultas dan jurusan merupakan contoh dari pelembagaan cara pandang modern ini. 

Pada batas tertentu pembidangan itu dibutuhkan untuk keperluan spesialisasi, namun tidak bisa diabaikan bahwa sebuah efek mengintai. Efek tersebut adalah seseorang menjadi parsial dan sempit cara melihatnya terhadap sesuatu karena terlalu lama berkutat dalam satu bidang tersebut. Dalam bahasa Mbah Nun, jika perguruan tinggi hanya menghasilkan lulusan yang parsial departemental ini, maka sesungguhnya dia adalah sarjana fakultatif, bukan sarjana universitas. 

Sementara itu, sarjana universitas yang sejati, dalam pandangan Mbah Nun, adalah sarjana yang mampu melihat sesuatu dalam saling keterkaitan yang luas. Malah, menurut Mbah Nun, sarjana universitas hendaknya memahami hulu-hilir kehidupan, atau hulu-hilir sesuatu. Tidak hanya lengkap atau komprehensif, melainkan juga utuh. Dengan kualitas seperti ini seseorang layak disebut, menurut terminologi Mbah Nun, sebagai Sarjana Kehidupan. 

Ihwal Sarjana Kehidupan inilah yang menjadi salah satu muatan utama dramatic reading semalam. Dalam paparannya seusai pembacaan Jagat Pasianon dan Sarjana Kehidupan ini, Mbah Nun memberikan contoh yang agak elementer dari keutuhan para orang-orang terdahulu dari bangsa kita. Kalau mereka bermigrasi atau transmigrasi, mereka selalu memastikan bahwa di dalam rombongan tersebut ada ahli agama, ahli silat, ahli kesehatan, ahli budaya, ahli ekonomi, dan lain-lain yang nanti ketika mereka sampai di lokasi tujuan mereka mampu membangun kelompok atau society dengan kelengkapan yang mendukung kehidupan bersama. 

”Dari dahulu kita bangsa Indonesia sudah merupakan manusia yang utuh, tapi tak ada yang bisa menjelaskan. Memang kita menghidupi segmen atau bidang-bidang, tetapi pandangan kita kepada dunia harus utuh,” papar Mbah Nun. Lebih dari itu, bangsa atau rakyat Indonesia merupakan bangsa yang tangguh, kuat, dan berdaya tahan tinggi. Bahkan inti dari karakter rakyat Indonesian ini adalah kebertuhanan mereka yang sangat kuat. Untuk itulah, Mbah Nun berpesan kepada Pak Rektor, ”Undip hendaknya menyesuaikan diri dengan sejarah bangsa Indonesia yang tangguh dan jangkep tersebut.”

Dengan Sinau Bareng ini, Pak Rektor berharap seluruh civitas akademika Undip maupun masyarakat yang hadir bisa tergugah untuk turut menciptakan hidup yang harmonis, toleran, menjaga persatuan, dan tidak terseret kepada sikap merasa benar sendiri. Jika dikaitkan dengan Sarjana Kehidupan sebagai kualitas manusia, tampaknya dengan mudah kita mendapatkan korelasi. Bahwa harapan Pak Rektor akan tercapai, jika setiap orang mau mengasah diri menjadi Sarjana Kehidupan. Pribadi sarjana kehidupan menurut Mbah Geol dalam dramatic reading semalam memiliki salah satu sifatnya adalah alim dan arif yang berarti ”mangerteni urip sekabehane. Yo dununge, yo hulu-hilir, yo Atlas nilai-nilaine. Alim kuwi weruh. Arif kuwi weruh nganti tekan jero lan ombo, dadine wicaksono…

Sesudah diajak mengembarai semesta ilmu melalui dramatic reading ini, di mana dieksposisikan di dalamnya lagu-lagu yang diolah KiaiKanjeng yang menunjukkan kepada kita bahwa dalam soal memahami lagu pun kita kerap terperangkap kepada kesempitan dan prasangka, Pak Rektor merespons, ”Beragama ternyata adalah nilai yang tidak terpenjara oleh wadag, tidak terpenjara oleh jenis lagu yang kita bawakan, tidak terpenjara oleh budaya yang kita lakukan. Saya melihat keberagamaan kita ada di nilai, yang dijunjung tinggi, dinyatakan, dipilih dari banyak hal, ada dalam kesadaran, dan dijalankan terus-menerus, dan itu menjadi jati diri, tidak melahirkan ekslusivisme, tetapi memancarkan sinar kasih sayang kepada sesama manusia. Gampangnya, seneng ndelok wong seneng, susah ndelok wong susah.

Tidak hanya Pak Rektor yang mengikuti dan menikmati dengan baik muatan Sinau Bareng ini yang delapan puluh persen disampaikan Mbah Nun lewat dramatic reading ini, namun para jamaah semuanya. Mereka semua full atensi menyimak dialog demi dialog Mbah Geol Buyut Irodat dll yang dalam salah satu agedannya membawa beneran pusaka Keris Kiai Sengkelat dan Tombak Kiai Sapit Abon. Hujan sejak sore mengguyur lokasi, tetapi grafik jumlah jamaah yang datang makin meningkat, sehingga seluruh area audiens yang telah dilengkapi dengan tenda membujur panjang separuh lapangan penuh terisi oleh jamaah. Makin malam makin penuh. Di sisi kanan dan kiri panggung area bertenda juga disiapkan untuk para tamu, dosen dan karyawan Undip, yang akhirnya juga berbaur terisi bersama jamaah pada umumnya. 

Angin yang sesekali berhembus kencang dan berhawa dingin lantaran suasana hujan tak menjadi soal bagi mereka. Ttiga jamaah di awal acara diminta Mbah Nun mengungkapkan rasa hati mereka terhadap hujan ini adalah: alhamdulillah, cinta, dan kesyahduan. Memang syahdu, yang berisi tebaran ilmu yang membawa semua hadirin kepada keluasan, yang merupakan salah satu kualitas Sarjana Kehidupan. (Bersambung) 

Lihat juga

Back to top button