DAMAR KEDHATON GRESIK MEMAKNAI RINDU

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Damar Kedhaton Gresik, Jumat, 8 September 2023)

Munculnya kerinduan berawal dari adanya pertemuan. Pertemuan tidak hanya diartikan secara fisik, melainkan juga secara rohani. Gejolak kerinduan pun kerap timbul-tenggelam; kadang terasa menggembirakan, tak jarang pula dapat menyesakkan dada.

Berbagai penafsiran tentang makna rindu sendiri mencuat; hal ini menjadi wajar-wajar saja, karena rindu boleh juga diartikan sebagai ekspresi rasa. Berbicara soal rasa, tentu akan berbeda pemaknaannya bagi setiap orang.

Pemaknaan kerinduan akan kian ganyeng bercampur mesra, ketika perbedaan pendapat yang dikemukakan tidak lagi menjadi hal yang dipermasalahkan; ketika perbedaan pendapat dijadikan sebagai bahan kegembiraan; apalagi ketika perbedaan pendapat diekspresikan sebagai perjalanan menuju Tuhan.

Seperti kegembiraan yang berlangsung pada Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik pada Jumat malam (08/09/2023). Sedulur Jamaah Maiyah Damar Kedhaton Gresik kali ini menggelar sinau bareng rutin bulanan edisi yang ke-80 bertempat di Taman Takesi, Desa Siwalan, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik.

“Penawar Rindu” sebuah tema yang diangkat Damar Kedhaton pada bulan September tahun 2023 ini. Berawal dari fenomena sebagian besar masyarakat Kabupaten Gresik yang sedang menggandrungi Shalawatan. Bahkan, mayoritas kalangan pemuda menjadi inisiator atau penggagas kegiatan shalawatan, mulai tingkat RT, RW, Dusun, Desa, hingga Kecamatan.

Hal ini seolah-olah menggambarkan perasaan yang kuat, sebagai wujud cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Terlepas dari bagaimana cara mengekspresikannya; misalnya terpotret jelas banyak anak-anak kecil seusia SD hingga SMP, dengan semangat yang membara untuk hadir di acara shalawatan sambil membawa bendera-bendera besar. Layaknya suporter bola; antusias bernyanyi-teriak lantang demi mendukung tim kebanggaannya berlaga.

Sebuah kabar gembira yang patut disyukuri, di mana hampir dari semua kalangan saling “berlomba-lomba” untuk bershalawatan. Terlepas bagaimana cara untuk mengekspresikannya, asalkan tidak menjadi penyebab terjadinya tawuran.

Berangkat dari spirit kesadaran untuk terus berjalan dan terus belajar bersama, agaknya perlu ditarik garis mundur ke belakang sebelum membahas lebih lanjut tentang aneka rupa ekspresi bershalawatan.

Jalannya Diskusi

Beragam pandangan dituang oleh dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik dalam Majelis Ilmu Telulikuran pada malam itu. Seperti yang disampaikan oleh Cak Yayak. Menurutnya, kita perlu menata akhlak ketika bersholawat.

“Coba saya lihat sudut pandang dari sisi akhlak, bagaimana penghormatan kepada Kanjeng Nabi. Aja-aja ke Kanjeng Nabi, kita ke istana negara juga diatur. Masa ke Kanjeng Nabi juga enggak. Bisa jadi kan, di hatinya Kanjeng Nabi itu nelangsa melihat fenomena seperti itu,” jelasnya.

Sementara, pandangan lain dilontarkan oleh Cak Yusuf. Dia mengajak dulur Damar Kedhaton yang hadir dengan membawa dua pertanyaan, untuk memetakan sebuah ekspresi itu tersendiri.

“Ekspresi shalawat atau ekspresi musik? Kita perlu bedakan hal itu keduanya. Bisa jadi, goyangan tangan yang menyertakan badan ketika shalawatan itu, jangan-jangan karena mengikuti irama musik?” tanya dia.

Hal ini mengingatkan, bahwa seringkali ditemui ketika acara Shalawatan berlangsung dengan catatan menggunakan panggung besar, lengkap dengan pengeras suara, dan lain sebagainya. Biasanya digelar di lapangan yang luas, dan dihadiri oleh ribuan orang.

“Yang terekspos pada fenomena shalawat kekinian. Saya sebagai pelaku musik, karena shalawatan tidak lepas dari musik. Ketika melihat fenomena shalawat saat ini. Kalau saya lihat, dari nilai artistik suaranya. Tidak selamanya, pesan yang kita tangkap pencapaiannya itu sama. Musik mestinya itu universal, ekspresinya harus bisa diterima oleh hati yang bergama, bernegara apapun. Tetapi, nuwun sewu, ketika saya dengar shalawatan saat ini. Seketika, hati saya merasa ada yang bermasalah. Saya juga tidak bisa menyalahkan shalawatan. Sejujurnya, saya tidak mendapat kesan, gak bisa bayang-bayangno, karena secara disiplin musik, tidak sinkron. Tidak ada dinamika,” papar Cak Yusuf selaku pelaku musik.

Hal senada disampaikan oleh Cak Fauzi, dia mensyukuri adanya gejala atau fenomena anak-anak yang menggandrungi Shalawat, tentu dengan caranya yang kekinian.

“Ya, meskipun banyak jamaah yang terhalang dengan adanya bendera-bendera besar itu,” ujarnya.

Sementara itu, Cak Farhan melandasi pendapatnya melalui pemaknaan terhadap Kitab Maulid Barzanji,

“Syair mana, yang tidak tertulis dengan makna sebagai kerinduan. Untuk soal bawa bendera, dan goyang-goyang seperti yang kita lihat. Mungkin itu, kita anggap sebagai bentuk ekspresi saja. Sedangkan, kalau soal di event itu ada tawuran, bukan ekspresi, melainkan luapan emosi,” tutur dia.

Sebagai penggagas lahirnya ide tema “Penawar Rindu”, Cak Ateng menyampaikan harapan, dengan adanya Shalawatan yang masif digelar di Kabupaten Gresik belakangan ini, dia berharap agar Indonesia terhindar dari balak, mengingat sebentar lagi sudah memasuki bulan Safar.

“Mugo-mugo gak keluguran (kejatuhan-red) balak di bulan Safar. Sebagian besar Ulama ada berpendapat seperti itu,” ucap dia.

Sedangkan, Kamituwa Wak Syuaib dalam merespon tema pada malam hari itu, teringat akan momentum Ajibah Maiyah.

“Eling gak? ketika Ajibah Maiyah, Mbah Nun sampai nangis empat kali. Sempat nangis empat kali, nangisi putu-putune, artine terkait situasi sulit yang saat ini (pada momen pelaksanaan Ajibah Maiyah-red),” jelasnya.

Tidak hanya itu, sambungnya, Mbah Nun juga sempat menemui beberapa orang-orang terdahulu, terutama di Nusantara pada saat momentum Ajibah Maiyah.

“Indonesia ini kate diapakno? Indonesia waras ning ayok sholawat. Poin kedua, ora usah khawatir, awakmu bakal direwangi Mbah buyutmu. Mugo-mugo, ini salah satu dari Hidayah Maiyah. Ketika awal-awal Covid-19, hingga berapa tahapan. Iki kudu ngumpul, sholawatono. Pesen dari Mbah Nun, aja pegel-pegel olehmu Shalawat, dengan kemampuan e awakdewe,” ungkapnya panjang lebar.

Sesi diskusi terus berlanjut. Canda tawa yang begitu renyah; perbedaan pendapat menjadi hal yang biasa terjadi, mengalir apa adanya; kegembiraan tanpa syarat terbangun dengan sendirinya. Sejujurnya, apa yang menjadi latar belakang dan tujuan dari dulur-dulur Damar Kedhaton; dari pucuk wilayah Gresik selatan, tengah, hingga barat untuk datang jauh-jauh ke wilayah Gresik utara? Padahal, tidak ada yang bisa didapatkan selain kegembiraan, hingga pertemuan untuk menuntaskan kerinduan. Atau jangan-jangan, pertemuan ini merupakan bagian dari “Penawar Rindu” itu sendiri. Wallahu A’lam Bishawab.

Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi yang ke-80 pun dipungkasi, tak terasa sudah berganti hari Sabtu (09/09/2023), dan menunjukkan waktu pukul 03.00 WIB. Jika bukan karena kerinduan akan kegembiraan tak bersyarat, apa lagi yang menggerakkan hati dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik untuk berkumpul di satu titik; melantunkan Wirid, Tawashshulan, Shalawatan, dan sinau bareng rutin tiap bulan sekali.

Lihat juga

Back to top button