BERQURBAN PERASAAN

Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Dualapanan Lampung edisi Juni 2023)

Kita sering mendengar sebuah adagium bahwa setiap cinta yang tulus memerlukan pengorbanan. Syarat sebuah pengorbanan adalah ketika sesuatu yang dikorbankan merupakan sesuatu yang berharga atau amat dicintai oleh orang tersebut. Sesuatu yang berharga itu bisa berupa harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, istri yang shalehah, serta anak yang tersayang.

Secara historis, diceritakan di dalam Al-Qur’an bahwa praktik qurban pertama kali dilakukan oleh kedua anak nabi Adam, Habil dan Qabil. Ibadah qurban pada waktu itu diperintahkan sebagai solusi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka berdua. Kedua putra Nabi Adam ini masing-masing diminta untuk menyerahkan qurbannya, tapi kualitasnya berbeda. Habil menyerahkan persembahan dan Qabil juga menyerahkan persembahannya. Pada akhirnya, qurban Habil diterima dan kurban Qabil ditolak, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an.

Kisah kedua yang paling populer adalah kisah Nabi Ibrahim yang mendapat mimpi untuk mengorbankan anaknya, Nabi Ismail. Menurut sebagian pendapat, ketika Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi tersebut, Nabi Ismail sedang berumur tujuh tahun, ada juga yang mengatakan berumur tiga belas tahun. Nabi Ibrahim sangat bingung menyikapi mimpinya. Ia tidak lantas membenarkan, namun tidak pula mengingkari. Setelah mimpi yang sama sampai yang ketiga kalinya, barulah Nabi Ibrahim meyakini dan membenarkan, bahwa mimpi itu benar-benar nyata dan harus dilaksanakan.

Setelah itu, Nabi Ibrahim menyampaikan mimpinya pada anak semata wayangnya. Dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan cerita itu, yaitu:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ

Lihat juga

Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Mendengar pernyataan dan pertanyaan ayahnya, dengan tegas dan tenang Nabi Ismail menjawab:

قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Sebagai sosok yang sangat taat pada perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salam melakukan apa yang telah menjadi ketetapan bagi keduanya. Dengan hati yang sedih dan raut wajah yang dipenuhi linangan air mata, semuanya harus mereka ikhlaskan demi memenuhi perintah-Nya, bahkan Nabi Ibrahim harus mengurbankan anaknya sendiri, disembelih di hadapannya dan dilakukan dirinya sendiri. Namun, semua itu mereka lakukan sebagai manifestasi bahwa seorang hamba haruslah mengikuti semua perintah Tuhannya. Kejadian itu juga merupakan contoh keteladanan luar biasa yang harus dilakukan oleh umat Islam setelahnya, bahwa tidak ada yang lebih mulia selain mengikuti perintah-Nya, dan tidak ada kenikmatan yang lebih sempurna selain menjalankan semua kewajiban-Nya.

Setelah semua skenario itu selesai, sangat tampak kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Oleh karenanya Allah tidak menghendaki penyembelihan itu terjadi, bahkan melarangnya dan mengganti qurbannya dengan seekor kambing.
Secara etimologi kata Qurban berasal dari Bahasa arab, “Qurban”. Yang berarti dekat (قربان). Al-Qur’an menarasikan ritual qurban sebagai sarana hamba untuk belajar mendekatkan diri kepada Allah Swt., sesuai dengan akar katanya “qaraba” “yaqrabu” yang berarti “dekat” atau “mendekatkan”.

Selain upaya untuk pendekatkan diri sorang hamba kepada Tuhannya, dengan berqurban seseorang berharap akan merasakan hikmah di antaranya:
1. Sebagai wujud syukur kepada Allah Swt. atas karunia, rezeki yang diberikan berlebih, melimpah.
2. Menciptakan rasa empati, kepedulian antar sesama manusia tanpa memandang kepercayaan yang dianut, seperti dalam pendistribusian daging qurban tidak hanya diberikan kepada umat Islam saja tetapi non-Islam pun diberi daging qurban untuk mengenalkan Islam lebih dalam.
3. Meningkatkan keikhlasan. Ikhlas dalam hal ini dalam membeli hewan qurban, menyembelih sampai ikhlas memberikan daging qurban kepada yang membutuhkan.
4. Sebagai makhluk ciptaan-Nya wujud ketaatan atas perintah Allah Swt. seperti kepada Nabi Ibrahim yang tidak menolak untuk menyembelih putranya yaitu Ismail.

Pada bagian awal tulisan ini terdapat sebuah pernyataan bahwa cinta memerlukan pengorbanan. Bagi Nabi Ibrahim, wujud cinta tersebut adalah Ismail. Ia merupakan jawaban atas doa seorang manusia yang bertahun-tahun merindukan kehadiran sosok anak dalam rumah tangganya. Ketika doa itu terwujud dalam raga Ismail, rasa cinta dalam Nabi Ibrahim diuji. Manakah yang lebih besar? Cinta kepada Tuhan yang ia sembah atau cinta kepada anak yang sangat dirindukannya?

Sosiolog Iran, Ali Syariati memiliki perspektif menarik dalam menggali makna dari peristiwa tersebut. Menurutnya, “Ismail” dalam kisah tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai sosok anak dari Nabi Ibrahim, akan tetapi ia merupakan simbol dari dorongan nafsu dan ego yang menghalangi manusia untuk mendekat kepada tuhan-Nya.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kisah Nabi Ibrahim dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Sepanjang hidup, kita selalu bergulat dengan nafsu dan ego yang senantiasa menghalangi kita dalam melihat kebenaran dan mendekat kepada-Nya. Entah itu jabatan, kekayaan, kepopuleran, kecantikan, atau apapun. Kita semua memiliki “Ismail” dalam diri kita masing-masing.

Dapatkah kita menjadi pribadi yang mampu menundukkan objek duniawi, nafsu, dan egonya pribadi dan menjadi seorang manusia yang terbebas dari segala belenggu yang menghalanginya menuju tuhan? Siapa atau dalam bentuk apa “Ismail” yang ada dalam diri kita? Dan siapkah jika kita “menyembelihnya” demi meraih cinta yang sejati dari-Nya?

Penggiat Maiyah Dualapanan mengajak para sedulur, anak cucu maiyah dan anak bangsa generasi penerus untuk mentadabburi nilai-nilai ini dalam forum sinau bareng Maiyah Dualapanan yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 2023 pukul 20.00 WIB, di panggung terbuka halaman SMP SMA Al Husna Kompleks Ponpes Al-Muttaqien Pancasila Sakti Kemiling Bandar Lampung.

(Redaksi Maiyah Dualapanan)

Lihat juga

Back to top button