BELAJAR POLA BERPIKIR DARI KISAH NABI KHIDIR

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi Agustus 2024)

Agustus 2024 ini Mas Sabrang MDP mempunyai deretan kegiatan menemani bermacam lapisan sosial. Rentetan kegiatan dimulai 17 Agustus 2024, menemani Sinau Bareng jamaah Mocopat Syafaat Yogyakarta. 18 Agustus 2024, menemani Sinau Bareng Kemerdekaan di kec. Jatirogo, Kab. Tuban. 19 Agustus 2024, menemani Sinau Bareng Jamaah Padhangmbulan, Menturo, Sumobito, Jombang. 20 Agustus 2024, menemani Sinau Bareng bertajuk Kenduri Cinta masyarakat desa Tarik, kec. Tarik, kab. Sidoarjo.

Berikutnya, 21 Agustus 2024, Mas Sabrang menemani jamaah Bangbang Wetan Surabaya di Universitas Wijaya Putra kampus Wiyung, Wiyung, Surabaya. 22 Agustus 2024, menemani Sinau Bareng masyarakat Malang yang bertempat di kecamatan Gondanglegi, kab. Malang.

Selanjutnya, 23 Agustus 2024 pagi, Mas Sabrang menemani workshop dan diskusi mahasiswa baru fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya. Setelah Dhuhur, Mas Sabrang lanjut menemani workshop dan diskusi mahasiswa baru fakultas Vokasi Universitas Airlangga Surabaya. Terakhir, 24 Agustus 2024, Mas Sabrang menemani workshop dan diskusi semua mahasiswa baru Universitas Airlangga Surabaya. Setelah Dhuhur dilanjut performance Letto Band di depan semua mahasiswa baru Universitas Airlangga Surabaya.

Pada 21 Agustus 2024, Mas Sabrang MDP hadir di Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan yang bertemakan “Kesatria Khidir, Bangkit!” Bersama Gus Zudi Sarwojati, Mas Samsul dan Mas Sirajuddin bin KH. Abdullah Syaukat Siradj dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan.

Pada majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Agustus 2024, Yayasan Kampus Universitas Wijaya Putra kampus Wiyung berpartisipasi menyediakan tempat Sinau Bareng di halaman utama kampus Wiyung. Selain itu turut berpartisipasi juga LPMK kecamatan Wiyung serta MWC NU Wiyung menurunkan banom BANSER dan PAGAR NUSA untuk membantu keamaan pada malam itu. Dari menata kendaraan jamaah serta mengatur lalu lintas jalan dan kampus yang menjadi tempat Sinau Bareng.

Sesi Respons Jamaah

Pukul 20.30WIB, tiba sesi respons jamaah setelah nderes ayat Al-Qur’an, wirid Maiyah dan shalawat. Tiga jamaah diminta moderator untuk naik ke panggung menyampaikan pengalamannya.

Pertama, Doni dari Surabaya Barat. Pemuda yang memakai hoodie biru dongker, berkalung tasbih kayu Gaharu serta bersarung menyampaikan pengalamannya kalau dulu dia nakal. Doni mengaku sekarang berumur 20 tahun. Doni lantas bercerita dulu ketika dia berumur belasan tahun terpengaruh dengan lingkungan dan pergaulan yang kurang baik, sehingga membuat dia menyimpulkan dirinya nakal.

Titik balik dari nakalnya, ketika Doni sadar bahwa apa yang dilakukannya salah serta bisa juga mengecewakan dan merugikan orang banyak terutama orang tua. Apalagi ketika momen papanya meninggal dunia, Doni merasa apa yang dilakukan selama ini tidak ada manfaatnya, maka dia bertekad ke depannya berperilaku baik dan bermanfaat bagi sekitar. Pertimbangan utamanya adalah membuat mamanya bahagia atas apa yang diperbuat Doni.

Doni malam itu mampu membuat jamaah tertawa karena di tengah Doni menceritakan perjalan hidupnya diselipkan jokes yang mengundang tawa jamaah. Doni malam itu juga menyampaikan kalau dirinya memakai kalung tasbih kayu Gaharu supaya terlihat bagus dan selalu ingat Allah. Di akhir ceritanya, Doni mendapat tepuk tangan meriah dari jamaah.

Selanjutnya, Steven dari Banjarmasin. Pria yang memakai jaket hitam dan murah senyum itu sekarang kuliah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mengambil jurusan Informatika. Steven saat ini berdomisili di Waru, Sidoarjo. Pengalaman berat yang dirasakan Steven saat ini adalah tinggal jauh dari orang taunya yang berada di Banjarmasin. Hal terberat yang Steven rasakan sebagai perantau yang tinggal jauh dari orang tua adalah kangen masakan ibu di rumah.

Selain itu, bertemu dengan lingkungan yang baru membuat Steven merasakan sulit beradaptasi. Steven merasa sulit beradaptasi dengan lingkungan Sidoarjo karena pendekatan dan bahasa dengan Banjarmasin. Termasuk cara misuhnya pendekatannya juga beda. Hal positif yang Steven temukan di lingkungan baru adalah banyak belajar hal baru.

Steven malam itu juga mengungkapkan kegembiraannya hadir di Bangbang Wetan karena jamaah yang hadir sangat welcome kepadanya. Dia merasa tidak asing duduk di tengah-tengah jamaah yang tidak saling kenal. Steven merasa nyaman dan berusaha terus hadir di Majelis Ilmu Bangbang Wetan ke depannya.

Terakhir, Cak Anwar dari Mojokerto. Pria berkaca mata memakai kaos polo berwarna coklat dan model rambut seperti taruna akademi militer, malam itu hadir di majelis ilmu Bangbang Wetan karena kangen. Cak Anwar mengaku terakhir kali hadir di Bangbang Wetan sebelum pandemi. Saat itu majelis ilmu Bangbang Wetan terselenggara di Balai Pemuda, Surabaya.

Cak Anwar merasa kangen untuk hadir kembali di Bangbang Wetan karena suasana seperti di Bangbang Wetan dan Maiyahan yang lain sulit ditemukan di tempat lain. Menurut Cak Anwar, kalau tempat mencari ilmu itu banyak, tapi tempat mencari ilmu dengan suasana seperti yang ada di Maiyah itu sulit ditemukan.

Cak Anwar merespons dari pengalaman Steven. Nyatanya Steven jauh-jauh dari Banjarmasin ke Sidoarjo sulit beradaptasi, yang akhirnya bertemu dengan Bangbang Wetan menemukan kenyamanan kumpul dengan teman-teman jamaah. Menurut Cak Anwar, Steven bisa nyaman karena di Maiyah tidak ada syarat bagi jamaah yang hadir.

Jamaah mau hadir sebelum acara atau pertengahan acara tidak masalah, yang penting semua jamaah bisa duduk sama rata dengan kesempatan yang sama dengan jamaah yang lain dalam menyimak dan bertanya kepada narasumber. Yang membuat Cak Anwar sedang berada di majelis ilmu Maiyah karena jamaah Maiyah itu cerdas-cerdas. Setiap pertanyaan yang dilontarkan ke narasumber serta pendalaman ilmu yang diterapkan tercermin dari kecerdasannya.

Cak Anwar menceritakan pengalamannya tentang Nabi Khidir, ternyata ada sambungannya dengan tema Kesatria Khidir, Bangkit! Dulu ketika Cak Anwar masih nyantri di pondok pesantren yang berkultur NU setiap liburan di ajak gogoh (mencari ikan dengan tangan kosong) di sungai oleh gurunya.

Sebelum gogoh Cak Anwar diajarkan oleh gurunya untuk menghadiahkan tawassul kepada Nabi Khidir. Supaya Nabi Khidir memberikan ikan yang banyak kepada Cak Anwar dan gurunya. Hadiah tawassul kepada Nabi Khidir sebelum mencari ikan karena dalam keyakinan guru yang diajarkan ke Cak Anwar, Nabi Khidir-lah yang ditugaskan Allah menjaga wilayah sungai atau perairan seluruh bumi. Maka bertawassul berarti meminta ijin kepada yang bertugas menjada wilayah tersebut.

Terakhir, cerita tentang Nabi Khidir yang Cak Anwar tahu adalah ketika pertemuan Nabi Khidir dengan Nabi Musa di atas perahu. Inti dari cerita pertemuan Nabi Khidir dengan Nabi Musa tersebut adalah kebijaksanaan itu di atas ilmu. Nabi Khidir mengajarkan banyak kebijaksanaan terhadap Nabi Musa dalam cerita tersebut.

Respons Narasumber terhadap Tema dan Majelis Ilmu Maiyah

Pukul 21.30, Dewo n friend membawakan beberapa nomor. Dewo n friend mengajak jamaah yang hadir untuk bernyanyi bersama sebelum dilanjutkan ke sesi Sinau Bareng narasumber. Pak Dr.Ir. Indra Prasetyo, MM. (Ketua Yayasan dan Direktur Program Pascasarjana), Gus Zudi, ustadz Ahmad Hadi (Rais Syuriah MWCNU Wiyung, ustadz DR. Arif (ketua tanfidziyah MWCNU Wiyung), Gus Najih (wakil kadib syuriah PCNU Surabaya sekaligus pengurus MWCNU Wiyung) bersama Mas Samsul serta Mas Sirajuddin Sidogiri, terlebih dahulu merapat dan duduk di atas panggung.

Mas Aminullah membuka sesi Sinau Bareng narasumber yang hadir dengan memperkenalkan satu persatu narasumber ke jamaah. Dari Pak Indra, Gus Zudi Sarwojati, Mas Samsul dan Mas Sirajuddin.

Pada momen memperkenalkan Mas Samsul dan Mas Sirajuddin dari Sidogiri tersebut, Mas Aminullah menegaskan bahwa panggilan mas di kultur pondok pesantren Sidogiri sama dengan sebutan gus. Panggilan mas sama dengan gus yang merujuk pada makna kyai muda atau anak dari kyai. Jadi, Mas Samsul dan Mas Sirajuddin merupakan anak kyai. Mas Sirajuddin merupakan anak dari KH. Abdullah Syaukat Siradj.

Malam itu, halaman kampus Universitas Wijaya Putra kampus Wiyung dipenuhi jamaah. Semakin malam semakin banyak yang datang. Gus Zudi yang diminta pertama berbicara mengungkapkan rada syukur karena jamaah yang hadir malam itu cukup banyak, halaman kampus dipadati jamaah yang duduk menyimak majelis ilmu. Gus Zudi berbicara dengan pembawaan cara bicara suroboyoan yang tak jarang membuat jamaah tertawa.

Gus Zudi pada sambutannya mendoakan jamah yang hadir mudah-mudahan penuh keindahan, penuh keindahan versi cara berpikir masing-masing. Dilanjutkan Gus Zudi menanyakan perihal apa ada di antara jamaah yang hadir merasa hancur hatinya. Semua serentak menjawab tidak ada. Selanjutnya Gus Zudi mengajak jamaah untuk menyamakan frekuensi kita ke frekuensi fitrah kita sebagai manusia yaitu bahagia.

Gus Zudi malam itu bercerita tentang sejarah Mahabarata, wayang kulit, kerjaan yang ada di Nusantara, sejarah masuknya Islam yang mempengaruhi corak budaya Jawa. Salah satu pengaruh Islam terhadap budaya Jawa adalah kesenian jaranan. Gus Zudi menceritakan masa lalu untuk membangun dan memperkuat cinta kita kepada sejarah supaya tepat langkah kita saat ini menuju masa depan. Sesuai dari apa yang disampaikan Mas Sabrang di Sinau Bareng masyarakat desa Tarik, Tarik, Sidoarjo. Pada acara tersebut Gus Zudi juga menjadi salah satu narasumber.

Pukul 22.21WIB, Mas Sabrang MDP merapat dan duduk di atas panggung bersama narasumber yang lain. Sebelum Mas Sabrang, Pak Indra selaku ketua yayasan diminta berbicara terlebih dahulu. Pak Indra malam itu menyampaikan kesan pertamanya melihat jamaah Maiyah yang memadati halaman kampus itu termasuk orang ‘aneh’.

Kalau orang perutnya sedang kosong (lapar), respons spontannya yang pasti akan teriak, tidak usah mikir. Tapi kalau orang otaknya kosong (belum pintar) itu kebanyakan diam saja, tidak teriak. Artinya kalau ada orang yang ikut acara Sinau Bareng termasuk di majelis ilmu Bangbang Wetan yang mengajak kita berpikir itu ‘kan termasuk orang-orang ‘aneh’. Anehnya lagi kok banyak yang hadir pada malam itu. Hal itu menunjukkan orang ‘aneh’-nya banyak.

Pak Indra selanjutnya merespons tema dengan menyampaikan tentang dua kebebasan dalam filsafat Islam. Pertama, kebebasan manusia atau hak bebas manusia. Merujuk pada kutipan dari keseluruhan ayat 11 surat Ar-Rad: Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dari kutipan dari isi ayat tersebut menunjukkan bahwa ada hak kebebasan manusia mau melakukan apa saja.

Tapi, ada antitesis dari hak kebebasan manusia yaitu kebebasan Tuhan. Bahwa apa yang terjadi di dunia sudah ditentukan oleh Tuhan. Yang mampu mensintesiskan kedua tesis di atas adalah kelompok sufi. Hal itu dilihat dari Pak Indra ada pada sosok Mbah Nun. Dengan metode Mbah Nun yang mengajak jamaah Maiyah melihat Al-Qur’an yang terjabar ini, dengan menyandarkannya dengan kebebasan Tuhan.

Berangkat dari keanehan kesan pertama yang dialami Pak Indra ketika melihat fenomena majelis dan jamaah Maiyah banyak yang hadir, menjadikan beliau semakin penasaran untuk tahu lebih dalam tentang Maiyah. Pak Indra juga penasaran hal apa saja yang dibahas di majelis ilmu Bangbang Wetan, sehingga membuat orang-orang ‘aneh’ menurut Pak Indra itu berduyun-duyun hadir malam itu.

Jangan Saling Merendahkan Satu Sama Lain

Selanjutnya, Ustadz Ahmad Hadi dari Rais Syuriah MWCNU Wiyung diminta berbicara. Ustadz Hadi mengungkapkan ketakjubannya melihat majelis ilmu Maiyah yang rata-rata hadir malam itu kebanyakan berusia muda.

Ustadz Hadi mengungkapkan bahwa pertama kali tahu Mbah Nun ketika beliau masih mondok. Dulu, ustadz Hadi tahu dan mengikuti Mbah Nun dari siaran televisi dan semenjak ada gadget dan youtube, mengikuti pengajian Mbah Nun dari siaran youtube.

Malam itu ustadz Hadi turut merespons tema tentang Nabi Khidir. Nabi Khidir kalau di dalam Al-Qur’an diperintahkan Allah untuk bersembunyi. Ustadz Hadi menceritakan singkat cerita pertemuan Nabi Khidir dengan Nabi Musa yang ulul azmi.

Nabi Musa yang menerapkan ilmu syariat: tauhid, fiqih serta akhlak. Ilmu fiqih mulai dari bab bersuci, shalat, sampai haji dan perbudakan. Ilmu tauhid itu ilmu tentang ketuhanan, kenabian, kerasulan, kemaikatan dan kekitabsucian. Sedangkan ilmu akhlak itu tasawuf. Ketiga ilmu tersebut dikemas yang dinamai ilmu syariat.

Kemudian, Nabi Khidir termasuk menguasai semua ilmu tersebut, tapi bukan berarti Nabi Musa lemah. Di dalam Al-Qur’an kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir bukan sedang menggambarkan bahwa Nabi Musa itu bodoh. Bukan berarti Nabi Musa sedang berguru ke Nabi Khidir. Tapi, Nabi Musa memang diperintah Allah, yang hikmahnya dapat kita temukan sekarang. Hikmahnya di akhir zaman ketika Al-Qur’an diturunkan. Mengandung arti bahwa sesama manusia itu saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Cerita Nabi Khidir ditampakkan ke Nabi Musa pada kejadian membunuh anak kecil, yang melubangi perahu, termasuk menegakkan dinding rumah anak yatim piatu yang hampir roboh, itu semua ada rahasianya. Jadi, semua sudah diatur oleh Allah dalam qadha dan qadar.

Dari kisah Nabi Khidir tersebut, Ustadz Hadi menggambarkan hikmah yang bisa kita ambil adalah jangan menjadi manusia yang suka merendahkan manusia lain. Pada malam itu, Ustadz Hadi juga melihat jamaah bermacam-macam karakter diri, cara dan model pakaian. Kita sama-sama tidak tahu sebenarnya diri kita apalagi orang lain.

Kita juga tidak tahu siapa yang paling mulia di sisi Allah. Bisa saja yang paling mulia di sisi Allah itu yang duduk paling belakang sendiri. Maka dari itu, Ustadz Hadi mengajak jamaah untuk tidak sekalipun meremehkan dan merendahkan siapapun.

Orang mulai di sisi Allah itu ada tiga macam. Pertama, orang yang tahu kalau dirinya diangkat derajatnya oleh Allah. Kedua, ada orang yang diangkat derajatnya oleh Allah, dekat dengan Allah, tapi orang lain tidak tahu bahwa dirinya dimulaikan oleh Allah. Ketiga, orang yang diangkat derajatnya oleh Allah, tetapi dirinya, keluarga dan lingkungannya tidak tahu.

Maka yang dibutuhkan untuk menyikapi poin yang ketiga adalah saling srawung dan sinau bareng agar tidak merendahkan satu sama lain. Ustadz Hadi di akhir penyampaiannya mengungkapkan, bahwa apa yang disampaikan meneruskan dari apa yang beliau dapatkan dari selama ini mengikuti Mbah Nun.

Cara Bersilaturahmi jamaah Maiyah serta Kedaulatan Belajarnya

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh. Simpati sebesar-besarnya kepada saudara-saudaraku di sini yang masih melanjutkan perjalanan tuna asmaranya. MasyaAllah, terus berjuang! Mungkin nanti kita masuk ke pengalaman personal saya dengan Nabi Khidir,” sapa Mas Sabrang malam itu

Sebelumnya, Mas Sabrang kepengin bercerita tentang ketua yayasan, gus dan kyai yang hadir malam itu sebagai narasumber.  Kalau pada pembahasan awal, Pak Indra menyebut jamaah Maiyah sebagai orang-orang yang ‘aneh’. Mas Sabrang juga menyebut para narasumber yang hadir sebagai orang-orang yang ‘aneh’, termasuk cara bersilaturahmi pada malam itu di majelis ilmu Bangbang Wetan.

Mas Sabrang setuju terhadap apa yang disampaikan Ustadz Hadi tentang pentingnya slilaturahmi untuk menghilangkan sikap meremehkan dan merendahkan satu sama lain.

Jamaah Maiyah yang disebut Pak Indra sebagai orang-orang ‘aneh’ terkadang cara bersilaturahminya justru terkadang tidak mesra, melainkan pisuh-pisuhan. Bersilaturahmi dengan cara pisuh-pisuhan tidak mungkin dilemparkan ke sembarang orang.

Karena jamaah Maiyah memiliki kedekatan tertentu, sehingga ekspresi silaturahminya aneh-aneh termasuk pisuh-pisuhan. Ada bedanya misuh dengan misuhi. Misuhi itu tertuju kepada siapa sedangkan misuh itu katarsis.

Perlu agak pemakluman sedikit ketika melihat jamaah Maiyah yang merupakan kumpulan “rambutan protol”, karena mau masuk pesantren merasa diri banyak dosa, mau masuk sekolah tidak mempunyai uang atau merasa bodoh. Maka dari itu jamaah Maiyah berkumpul, sinau bareng, belajar sebisa-bisanya satu sama lain. Yang terpenting dan perlu digarisbawahi di Maiyah adalah kedaulatan.

Ibarat makanan, ilmu yang dihidangkan secara prasmanan di Maiyah tidak harus semuanya dimakan. Masing-masing jamaah mempunyai standar dan daya tampungnya sendiri, serta langkah perjalanan hidup jamaah sampai di mana.

Proses lahirnya lagu Sandaran Hati

Mas Sabrang malam itu tidak sedang membahas identitas Nabi Khidir, serta tidak sedang mengajari apapun tentang Nabi Khidir. Mas Sabrang malam itu hanya bisa bercerita bagaimana Nabi Khidir ‘hadir’ dalam kehidupan beliau.

Menurut Mas Sabrang, pelajaran Nabi Khidir yang membuat artificial intelligence. Mas Sabrang dulu sekitar umur 23-24 tahun mengalami tidak kepengin hidup sama sekali. Mas Sabrang tidak mau hidup bukan karena putus asa terhadap hidup, tapi karena Mas Sabrang merasa hidup ini tidak ada intinya, kenapa mesti hidup.

Kalau disuruh mencari Tuhan, cara tercepat katanya setelah mati. Logika sederhana Mas Sabrang waktu itu, “Kenapa tidak boleh mati sekarang, kalau mau ketemu Tuhan,

Salah satu yang membuat Mas Sabrang merasa tidak menemukan inti hidup adalah cerita Nabi Musa bertemu Nabi Khidir. Logikanya, kalau tidak boleh bunuh diri, hidup lebih lama dengan bermanfaat sebanyak mungkin, menjadi sebaik mungkin atau mencari kebenaran dalam perjalanan hidup kita. Mas Sabrang melihat contoh kasus salah satunya bagaimana Nabi Musa selalu salah dalam memotret kejadian yang dilakukan Nabi Khidir.

Waktu itu, Mas Sabrang menyimpulkan kejadian tersebut, “Nabi Musa yang terus ditemani malaikat saja bisa selalu salah apalagi Mas Sabrang yang ditemani demit, apakah mendapat kesempatan mendapat pemahaman dan ilmu saja tidak ada gunanya,

Dari kisah perjalanan Mas Sabrang merindukan Tuhan tersebut lahirlah lagu “Sandaran Hati”. Lagu Sandaran Hati menurut Mas Sabrang lahir dari proses bagaimana Mas Sabrang sangat tidak menikmati hidup. Karena menurut beliau waktu itu peraturan hidup itu aneh, salah satunya yang dibuat manusia. Mas Sabrang waktu itu belum bisa menjelaskan kenapa, tapi merasa tidak sreg saja di hati.

Mas Sabrang lumayan berproses untuk mencari inti hidup selama kurang lebih 8 bulan. Sampai pada suatu titik, di mana Mas Sabrang memperoleh pelajaran dari kejadian Nabi Musa bertemu Nabi Khidir. Dan kejadian itu merupakan titik di mana Mas Sabrang mulai berbalik arah dan mulai mengenal diri.

Mengetrack Pola Berpikir

Pelajaran yang Mas Sabrang dapatkan amat sangat penting, sehingga membuat Mas Sabrang bisa ngomong bahwa artificial intelligence ada hubungannya dengan Nabi Khidir. Waktu itu Mas Sabrang mengurutkan hubungannya satu langkah demi satu langkah. Hal tersebut juga ada hubungannya kenapa Nabi Muhammad mendapat gelar Al-Amin sebelum menjadi nabi, karena memakai pola logika yang sama.

Mas Sabrang menjelaskan logika tersebut menggunakan theory of mind. Mas Sabrang membayangkan menjadi Nabi Musa bertemu Nabi Khidir, misalnya kejadian melihat anak kecil dibunuh Nabi Khidir. Dalam keadaan Mas Sabrang membayangkan menjadi Nabi Musa, logikanya pasti Mas Sabrang menilai bahwa apa yang dilakukan Nabi Khidir salah. Kemudian, dibenarkan oleh Nabi Khidir tentang cerita kemungkinan masa depan. Bahwa anak kecil yang dibunuh tersebut kelak jika hidup akan memurtadkan orang tuanya, dst.

Dari hal itu ada sambungan logika yang kemudian menjadi aneh. Anehnya adalah logikanya peraturannya sama persis, yang membedakan output-nya adalah data yang masuk. Bagaimana mungkin Nabi Musa membuat kesimpulan seperti Nabi Khidir, kalau beliau tidak mendapatkan data seperti yang didapatkan Nabi Khidir. Urusan Nabi Musa dengan Nabi Khidir adalah karena beda data, bukan akhlak serta bukan cara berpikir. Nabi Khidir mendapat data masa depan, sedangkan Nabi Musa tidak mendapatkan data masa depan. Jadi, apa yang dilakukan Nabi Musa pasti salah.

Setelah itu, Mas Sabrang merefleksikan pada hidup, berarti hidup kita ada kemungkinan salah terus, karena tidak mempunyai data masa depan dan data kita tidak lengkap sama sekali. Pelajaran yang dapat diambil dsri hal tersebut adalah bagaimana kita bisa meraih ilmu tanpa harus berdasar pada data.

Pola Berpikir Mempengaruhi Cara Cepat Belajar

Kalau kita memakai ilmu sistem dinamik, ada kejadian yang bisa kita ambil datanya. Tapi di bawah data ada yang namanya pola. Semua manusia mempunyai pola berpikir. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa nge-track pola berpikir kita? Kalau mau melihat pola berpikir diri kita sendiri, perbedaannya ada pada data. Kalau dalam kejadian Nabi Musa dengan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak tahu masa depan karena tidak mempunyai datanya, sedangkan Nabi Khidir tahu masa depan karena mempunyai datanya.

Kemudian Mas Sabrang membuat kondisi, yang menjadi modal belajar beliau setelah itu. Misalnya, kita memiliki 100% data atau tahu 100% informasi pada satu titik, sehingga kita tahu keputusan yang kita ambil harus bagaimana.

Mas Sabrang membuat simulasi diri bahwa Mas Sabrang tahu informasi hanya 50%, kalau kita tahu informasi 50%, apakah sama keputusan yang kita ambil dari yang tahu 50% dengan yang tahu 100%? Artinya, 50% informasi untuk melengkapi 50% yang kita tahu dihilangkan terlebih dahulu, kita menjadi seolah-olah tidak tahu.

Pertanyaannya, apakah keputusan yang kita ambil konsisten? Mas Sabrang menemukan bahwa kekonsistenan itu datang dari value (nilai) bukan dari informasi. Itulah pentingnya kenapa kita harus memegang nilai yang universal, nilai yang diajarkan oleh Islam. Nilai dapat membantu kita menuju kekonsistenan mengambil keputusan ketika datanya tidak lengkap.

Kita bisa mengambil sikap, kita tahu 50% informasi, 50% sisanya kita anggap saja tidak tahu. Dengan data 50%, keputusan yang kita ambil bagaimana? Secara logis misalnya kita mengambil keputusan A, kemudian kita ngecek yang kita tahu pada keputusan sebelumnya ternyata salah, gara-gara kita tidak tahu informasi tentang hal tersebut.

Kita terus melangkah mengambil keputusan dan mengecek kembali perlahan satu demi satu, sampai pada akhirnya menemukan sebuah keseimbangan dalam memproses data menjadi sebuah keputusan. Hal itu yang membuat Mas Sabrang belajar dan menyerap ilmu lebih cepat, karena ada pola pemahaman di otak Mas Sabrang seperti yang dijelaskan di atas.

Kalau kita kepengin mengikuti jejak Mas Sabrang supaya cepat cara belajar dan menyerap ilmu adalah dengan mempunyai kemampuan simulasi terhadap pola pemahaman di otak kita, dari tahu berapa banyak informasi serta keputusan yang diambil dari informasi yang kita ketahui.

Kalau kita benar-benar mau melihat cara berpikir kita, kemudian kita ditunjukkan bias-bias dalam diri. Dari bias merasa sombong, sok tahu sampai tidak obyektif dalam mengambil keputusan. Bias akan kelihatan berdasarkan keputusan yang berasal dari 50% pengetahuan kita kita miliki.

Hubungan Melatih Pola Berpikir dengan Artificial Intelligence serta gelar Al-Amin

Ada hubungan melatih pola berpikir dengan articial intelligence. Cara melatih artificial intelligence sama persis dengan cara melatih pola berpikir kita. Misalnya, kita mempunyai data train 100%, kita membuat nge-train 50% serta kemudian kita tes dengan data sisanya, untuk mengecek  kebenaran otak artifical intelligence yang dilatih dengan data 50% tersebut.

Dulu, Mas Sabrang bertanya kenapa Nabi Muhammad mendapat gelar Al-Amin sebelum menjadi nabi? Saat itu, Mas Sabrang yakin ada hubungannya dengan peta besarnya dari gelar Al-Amin, tidak hanya sekedar pangkat yang diberikan tanpa alasan apapun. Cara berpikirnya persis seperti melatihkan pola berpikir.

Misalnya, jika ada orang datang ke kita lantas berbicara ada Tuhan dan malaikat, yang kita tidak bisa membuktikan dengan mata kepala kita sendiri. Yang terjadi kita menganggap orang yang datang ke kita itu merupakan orang gila, karena kita tidak mempunyai pondasi untuk mempercayai kalimat yang dibicarakan orang tersebut. Sehingga kepercayaan itu dibangun pada area yang bisa diverifikasi.

Nabi Muhammad misalnya berbicara jujur tentang A dan orang lain bisa memverifikasinya sehingga menilai apa yang disampaikan Nabi Muhammad benar dan dapat dipercaya karena Nabi Muhammad jujur dan apa yang dibicarakan dapat diverifikasi. Nabi Muhammad saking jujurnya sampai diberi gelar Al-Amin.

Ketika Nabi Muhammad berbicara tentang Tuhan, walaupun orang tidak bisa membuktikan secara empiris, mereka bisa membuktikan secara formal. Dalam dunia sains ada dua cara pembuktian: pembuktian empiris dan formal. Pembuktian formal memakai logika atau inferensi logika. Sedangkan pembuktian empiris dengan cara mengamati.

Jadi, kalau agama ditabrakkan dengan sains lantas agama merasa kalah karena tidak bisa membuktikan secara empiris, karena kita belum belajar agama serta sains secara mendalam. Karena sains pembuktiannya tidak hanya empiris, selain itu ada pembuktian formal memakai logika.

Pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan Nabi Muhammad yang disebut Al-Amin itu bukan pembuktian empiris. Karena secara empiris bagaimana membuktikannya? Membuktikannya memakai narasi. Misalnya, kalau ada yang ingin dibuktikan keberadaan Tuhan. Kita bisa melemparkan trik narasi dengan pertanyaan, beri saya kriteria tentang Tuhan! Karena tanpa kriteria kita tidak bisa membuktikan.

Kalau orang yang bertanya tersebut lantas melemparkan balik ikut kriteria kita tentang Tuhan. Kita jelaskan bahwa salah satu bukti adanya Tuhan adalah adanya pohon. Kalau orang itu membantah kriteria yang kita berikan. Kita lempar pernyataan bahwa orang tersebut tidak bisa mengkritik kriteria kita tentang Tuhan sedangkan orang tersebut tidak mempunyai kriteria tentang Tuhan.

Ketika Nabi Muhammad menceritakan sesuatu yang tidak mudah kita serap dengan indera, manusia membutuhkan pondasi untuk mempercayai kalimat yang disampaikan Nabi Muhammad tersebut.  Pondasinya dari pembuktian sosial bahwa Nabi Muhammad orang yang jujur dan tidak pernah berbohong. Sehingga kansnya sedikit untuk menuduh Nabi Muhammad berbohong ketika menceritakan sesuatu yang tidak bisa kita serap dengan indera.

Contoh sederhananya ketika kita mempunyai dua teman yang sama-sama sering  meminjam uang ke kita. Teman ysng satu ketika hutang selalu mengembalikan, sedangkan teman yang satunya tidak pernah mengembalikan uang yang dipinjamnya.

Ketika kedua teman mau meminjam uang lagi, kita ‘kan belajar dari pengalaman kalau teman yang satu pasti mengembalikan sedangkan yang satunya tidak pernah mengembalikan. Kita tidak bisa melihat masa depan sehingga kita tidak bisa membuktikan. Tapi berdasarkan pengalaman ke belakang, kita tahu pola yang terjadi.

Nabi Muhammad dengan gelar Al-Amin kemudian membuat beliau mempunyai positioning pembuktian formal di masyarakat, untuk bisa paling tidak kalau tidak langsung percaya, tidak terburu-buru bilang tidak.

Berpegang pada Nilai demi Masa Depan yang Lebih Baik

Mas Sabrang menerjemahkan tema Kesatria Khidir, Bangkit! Dengan men-zoom in pada posisi pemahaman diri kita terhadap akal kita sendiri.

Kalau kita terlatih pada pola berpikir kalau kita tidak tahu keputusan apa yang saya ambil? Jika keputusan yang kita ambil salah terus menerus coba kita kaitkan diri kita dengan ilmu dan nilai  yang kita ambil dari agama. Mas Sabrang menjelaskan pentingnya berpegangan pada nilai agama secara teknis sosiologis.

Dalam suatu peradaban, kumpulan butuh rule of the game untuk bisa stabil. Kita harus mempunyai ekspektasi. Setiap bertemu orang lain kita bersalaman, mencerminkan sikap saling sopan. Di dalam sosial butuh standarisasi adab atau standarisasi cara bergaul supaya stabil.

Tapi, stabil belum tentu membuat kita menjadi lebih baik. Di New York ada geng yang namanya Hollywood. Geng tersebut asal Indonesia yang anggotanya berasal dari desa Kayu Agung. Penduduk di satu desa tersebut bersepakat kalau profesi yang dijalani menjadi pencuri dan pencopet.

Mereka sangat expert di bidang tersebut. Peraturan mereka yang disepakati sederhana, jangan mencuri di kampung sendiri. Penduduk dari desa tersebut merantau dan terkenal di New York. Kalau ada penduduk pergi merantau sebelum berangkat dibacakan tahlil. Karena sudah dianggap meninggal.  Desanya makmur, karena yang merantau mengirimkan uang ke kampungnya.

Mas Sabrang mengutip 10 perintah Allah yang salah satu poinnya kita tidak boleh mencuri. Mas Sabrang merasa aneh terhadap poin tersebut, karena sekedar dilarang mencuri saja kok Allah yang berbicara sendiri. Kita dari kecil tahu bahwa tidak boleh mencuri.

Kenapa hal yang sepele itu harus diturunkan ‘langsung’ dari langit? Mas Sabrang mensimulasikannya jawabannya, karena saat itu belum ada hukum yang berlaku untuk berbicara tidak boleh mencuri. Coba kita lihat secara sosiologi, semua orang hidup mempunyai tujuan yang sama. Dengan energi sesedikitmungkin mendapatkan kesenangan sebanyakmungkin.

Enak mana, menanam sendiri dengan waktu selama 3 bulan baru panen? Kalau sudah panen, orang lain menodongkan golok ke kita untuk meminta hasil yang kita panen. Energinya sedikit menodong hasil panen daripada harus berproses menanam sendiri sampai waktu panen tiba. Bayangkan kalau sekampung saling menodong satu sama lain, alhasil tidak ada yang memproduksi makanan. Populasi itu akan mati sendiri kalau saling mencuri satu sama lain.

Dalam satu kumpulan masyarakat itu bisa mempunyai norma yang diterima semua penduduk dalam kumpulan tersebut, tapi belum tentu terjamin masa depannya akan semakin baik.

Di antara banyak norma di banyak peradaban, ada garis merah yang berlaku dari dulu, sampai sekarang dan masa depan, yang dirangkum di dalam agama. Pasti dia nilai, karena hanya nilai yang bertahan pada keadaan yang berubah. Agama berguna sebagai pegangan kita terhadap nilai yang dapat dijamin oleh Allah sepanjang zaman akan terus membawa manusia menuju yang diinginkan.

Intinya dari yang saya dapatkan dari tema Kesatria Khidir, Bangkir! Adalah orang-orang yang mampu menggunakan akalnya secara maksimal. Maksimal itu bukan pinter banget, tapi mengetahui apa yang diberikan oleh Tuhan kepada dirinya. Ono gobloke. Ono pintere. Ono biase. Ada sok nuduh-nuduh, dst. Itu man arofa nafsahu. Harapan saya, kita menjadi kesatria Khidir. Bukan untuk perang melawan orang. Tapi perang melawan kebodohan yang tertanam di dalam diri kita untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Maturnuwun,” pungkas Mas Sabrang pada majelis ilmu Bangbang Wetan edisi Agustus 2024. ***

Surabaya, 22-24 Agustus 2024

Lihat juga

Back to top button