NGELARAS WATES
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi Februari 2025)

Setiap manusia dianugerahi nafsu: bara yang menghidupkan keinginan tetapi juga bisa membakar batas. Jika tak dikendalikan, ia menjelma badai yang mengaburkan hakikat hidup. Puasa, dalam hikmah ilahi, adalah jalan sunyi untuk menundukkan gejolak ini. Seperti dituturkan Mbah Nun dalam “Tuhan pun Berpuasa,” Allah menjadikan puasa sebagai milik-Nya. Sebuah cermin kasih sayang yang mengajarkan manusia menata diri, bukan dengan paksaan, melainkan kesadaran.
Puasa adalah seni menjaga keseimbangan. Ia melatih kita menyaring keinginan, menakar kebutuhan, dan yang terpenting menghormati batas. Dalam kasus pagar laut di Tangerang, nafsu menguasai telah mengubah laut sebagai ruang hidup bersama menjadi wilayah eksklusif. Akses masyarakat diputus, hak atas sumber daya alam direnggut, hanya untuk memuaskan segelintir pihak. Di sini, ketiadaan pengendalian diri bukan hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga melukai prinsip keadilan.
Kasus korupsi timah, misalnya, tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak ekosistem dan menghilangkan mata pencaharian masyarakat lokal. Sementara itu, kasus penerbitan HGB di kawasan laut Sidoarjo menunjukkan bagaimana nafsu untuk menguasai lahan telah mengorbankan kepentingan bersama dan merusak lingkungan. Hubbud dunya seringkali mengubur akal sehat. Mbah Fuad dalam catatannya tentang kebebasan mengingatkan teori mufadhalah: bahwa hidup adalah pilihan untuk mengutamakan yang lebih baik, bukan yang lebih mudah. Puasa mengajarkan hal serupa: menahan bukan untuk menyiksa, melainkan memilih.
Allah memberi teladan agung tentang pengendalian. Matahari terbit dan tenggelam di orbitnya, nafas tetap mengalir, siang dan malam datang bergantian; semua adalah bentuk “puasa”-Nya. Seperti pernah disampaikan oleh Mbah Nun, puasa adalah pilihan untuk “tidak” di tengah situasi yang mestinya bisa “iya”. Demikian halnya pilihan Allah yang dengan segala ke-Maha Kuasa-Nya bisa saja serta merta mengirimkan bencana mana kala manusia bertindak semena-mena. Namun Allah memilih “berpuasa” dengan menahan murka dan menggantinya dengan sentuhan-sentuhan kasih dan cinta.
Seakan memilih untuk menunjukkan daya dan kuasa, manusia justru bertindak tidak seperti yang Tuhan ajarkan dan terus berikan teladan. Manusia justru cenderung untuk abai pada keterbatasan, menafikan potensi pengendalian diri dan melanjutkan tindakan seirama dorongan kedirian. Pertanyaannya kemudian, jika manusia tak bisa (atau mungkin menolak untuk) menahan diri, bagaimana mungkin kita bisa berharap porsi yang sepadan menyangkut pemeliharaan bumi yang dipinjamkan oleh-Nya dan sejatinya sekadar titipan generasi mendatang.
Sebelum Ramadhan tiba, mari jadikan puasa tidak lagi ritual massal yang datang secara annual. Kita upayakan apresiasi yang lebih tinggi kepada bulan 1000 bulan ini sebagai media memahami batas, menentukan sikap terbaik atasnya dan memberi ruang lebih besar kepada hak sesama di hamparan tanah yang sama. Wah, kok poso terus, rek! Mari tentukan bersama waktu terbaik untuk kita bisa “berbuka”. Segera rumuskan jawabannya dalam atmosfer kegembiraan di rutinan BangbangWetan, Rabu, 12 Februari 2025, Taman Budaya Cak Durasim.
(Redaksi Bangbang Wetan)