BEBERAPA SANGU DARI MBAH NUN DI GAMBANG SYAFAAT

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Gambang Syafaat Semarang, Sabtu, 25 Februari 2023) 

Hujan yang turun dari malam sebelumnya, mulai siang itu berhenti sejenak. Langit di atas Museum Ronggowarsito, tempat dilaksanakannya acara Gambang Syafaat (25/02) bersih. Terlihat bintang berkelip. Jamaah mulai berdatangan mulai dari sore hari dari mana saja, Semarang dan sekitarnya. Ada juga yang datang dari Kediri dan maghrib baru sampai Semarang. Ketika ditanya alasan datang ke Gambang Syafaat, dia menjawab “Karena kangen Mbah”, padahal Mbah Nun dan KiaiKanjeng baru tiga hari lalu Sinau Bareng di Kediri.

Tadi malam Mbah Nun naik ke panggung memang relatif awal. Baru pukul 20.30 beliau sudah duduk di panggung menghadap sebuah meja di antara Pakde-Pakde KiaiKanjeng.  Panggung dipenuhi warna putih dan ber-backround  biru langit. Area Museum Ronggowarsito mulai penuh pukul 21.00. WIB bahkan tempat yang disediakan oleh panitia tidak muat. Jamaah harus rela berdiri di luar pagar. 

Acara berjalan hikmat. Mula-mula panggung diisi oleh para penggiat. Mas Wakijo menggenjereng gitarnya mengajak para jamaah untuk bershalawat. Ada Kan Dur, juga Kang Jion. Sesi berikutnya adalah Pak Joko, kepala Museum, Pak Saratri, dan Pak Ilyas. Pak Saratri mengawali Sinau Bareng pada malam hari itu dengan menyapa para jamaah. Kata Pak Saratri, “Di manapun tempatnya tidak masalah yang penting kita bersama-sama mencari kebaikan.”

Acara  pokok tadi malam adalah Tawashshulan, sebagaimana diterangkan oleh Mas Helmi, tawasshul pada konteks ini menggunakan shot  (ص) bukan menggunakan sin (س) . Maksud dari taswahshul adalah mengemis kepada Allah karena tidak semua permasalahan hidup dapat diselesaikan oleh manusia. Tambahan ‘an’ adalah sebagaimana tahlil menjadi tahlilan. Namun sebelum dan setelah acara tawashshulan itu Mbah Nun memberikan bekal-bekal kepada anak cucunya yang hadir tadi malam. 

Sebelum tawashshulan Mbah Nun menerangkan beberapa hal, misalnya tentang bedanya tadabbur dan tafsir. Tadabbur itu adalah memberi makna pada Al-Quran dan berefek baik kepada kita dan lingkungan kita. Ayat-ayat yang tidak terjangkau oleh tafsir artinya misalnya Alif Lam Mim, oleh tadabbur bisa dijangkau. Dalam melakukan tadabbur kita kita membutuhkan tafsir. 

Mbah Nun meminta kepada perwakilan jamaah untuk menyampaikan alasannya datang ke acara Gambang Syafaat, berikut kesenangan yang didapat atau mungkin juga ada hal sulit yang mungkin dialami. Beberapa jamaah menjawab. Di antara mereka ada yang menjawab, “Saya di sini mendapakan tombo ati Mbah, obat hati Mbah setelah dibebani terus menerus oleh negara.” Pertanyaan itu membangkitkan ‘gerrr’ oleh jamaah lain. Lalu Mbah Nun merespon, “Iki misal aku sing ngucapke aku dibully iki.” Dibalas gerrr juga oleh jamaah. 

Di antara mereka ada juga yang menjawab bahwa dia datang ke Gambang Syafaat karena melanjutkan dari Padhangmbulan, dulu aktif pada Maiyah Padhangmbulan, karena sekarang sudah bekerja di Semarang maka melanjutkan di Gambang Syafaat. Begitulah Maiyah, kita bisa berkumpul dengan simpul-simpul terdekat tempat kita tinggal. Karena hampir di seluruh kabupaten dan kota di Jawa dan sebagian di luar Jawa dan luar negeri terdapat forum Maiyah. 

Pada keempatan itu Mbah Nun juga membahas tentang syahadat dan iman. Mbah Nun bertanya penting mana antara syahadat dan iman.. Lalu beliau menguraikan, syahadat itu menyaksikan keagungan dan kasih sayang Allah, dan harus kita laksanakan sesering mungkin. Syahadat menghasilka iman. Mbah Nun juga menjelaskan tentang shalawat dan sholat. Dua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Allah juga melakukan shalawat kepada kanjeng Nabi. Namun cara shakawat Allah atau shalat Allah kepada Kanjeng Nabi berbeda dengan shalawat kita kepada beliau. Analoginya bisa digeser kepada anak dan orang tua, anak menyanyangi orang tua, sebaliknya orangtua menyayangi anak tetapi cara mengkespresikannya berbeda satu sama lain. Allah juga syukur kepada manusia, lalu alasannya apa atau logikanya bagaimana Allah sykur atas makhluk-Nya? Tidak ada alasannya selain hanya karena sopan santun. 

Bagi Indonesia Maiyah ini adalah semacam suspensi agar Indonesia ini berjalan enak di atas jalan yang bergelombang. Mbah Nun mengajak untuk kuat dan bersabar. Mbah Nun berceerita tentang peristiwa Thaif yang dialami oleh Rasulullah. Ketika itu Nabi berdakwah dan dakwah beliau ditolak. Beliau diusir oleh orang Thaif. Beliau berdoa mengadukan kelemahannya kepada Allah, Nabi menyerahkan urusannya kepada Allah. Pada peristiwa Thaif itu Nabi terlihat kalah tetapi ternyata Nabi tidak kalah, karena setelah peristiwa itu Nabi mendapat kemenangan demi kemenangan. Begitu kiranya juga Maiyah dengan tawashshulannya. 

Maiyah menyiapkan generasi pemimpin masa depan.  Maiyah menyiapkan generasi masa depan. “Engkau yang disakiti hari ini, dikalahkan hari ini pasrahkanlah hidupmu, akuilah kelemahanmu di hadapan Allah.” 

Yang perlu dilakukan sekarang adalah shiddiq, maksudnya adalah sungguh-sungguh. Jika sungguh-sungguh maka nanti akan dipercaya oleh orang banyak, jika dipercaya oleh orang banyak maka memiliki kelayakan untuk melakukan tabligh, baru kemudian fathonah. Jadi, shiddiq amanah, tabligh, dan fathonah adalah modal bagi kita untuk menjadi pemimpin di masa depan. 

Ada sangu lagi yang diberikan oleh Mbah Nun kepada para jamaah. Saat Mbah Nun hendak berdoa, beliau bilang, “Semoga yang belum dikaruniai anak lekas diberi anak.” Ada seorang jamaah perempuan yang mengamini keras sekali. Lalu Mbah Nun bertanya, “Kamu kenapa?

“Belum dikaruniai anak Mbah.”

“Berapa tahun?”

“Enam tahun.”

“Coba lakukan ini. Jika ada bayi datangilah, usaplah. Sayangilah. Ibune sangonono. Raketang sepuluh ewu rong puluh ewu. Nanti setelah tujuh bayi, mudah-mudahan kamu hamil.”

Menjelang pukul 12, acara diakhiri. Mbah Nun dan Pakde-Pakde KiaiKanjeng akan istirahat dan melanjutkan perjalanan berikutnya. Tanggal 26 beliau-beliau akan ke Suluk Maleman, Pati tempat Habib Anis Sholeh Ba’asyin. 

Lihat juga

Back to top button