ARINA

Merenung di pagi hari, menebar harapan-harapan dengan nuansa pergantian tahun, apakah berbeda dengan kalau menebar harapan di pergantian bulan? Pergantian minggu? Pergantian hari? Pergantian jam, menit, detik?

Masih menjadi PR saya untuk mengelaborasi statement Cak Nun tentang pikiran yang ada ketika sedang menempelkan stetoskop, meracik puyer, atau melakukan tindakan pengobatan.

Dalam suasana kapitalistik di sekitar kita pasti segala sesuatu dihubungkan dengan uang. Mulai dari hal-hal yang kita temui sehari-hari seperti konten di medsos, kesenian, pendidikan hingga masalah kesehatan. Masalah kesehatan sebagian akan melibatkan profesi dokter. Menurut para nenek moyang ilmu kedokteran, profesi dokter adalah profesi yang ‘luhur’. Timbul pertanyaan apakah keluhuran profesi dokter itu masih tersisa di era sekarang ini?

Dalam diskusi pagi sebelum menyapa ‘guru-guru’ saya, ada satu masalah dialami guru saya yang bernama ‘Arina’. Gadis kecil lucu yang terpaksa harus terbaring karena leukemia yang dideritanya. Sebenarnya Arina sudah menjalani pengobatan atas penyakitnya, tetapi di perjalanan pengobatannya penyakitnya kambuh. Perjalanan pengobatan baru sampai 25% dari total waktu pengobatan. Dari referensi saya dapatkan bahwa early relapse (kambuhnya penyakit di awal pengobatan) akan berdampak pada tingkat kesembuhan penyakitnya. Maka, ketika diketahui bahwa Arina kambuh di seperempat pengobatannya, teman-teman satu tim memutuskan menaikkan level pengobatannya. 

Hari ini genap 7 minggu dengan pengobatan yang baru, yang sudah naik level. Hasil pengamatan klinis dan laboratorium nampaknya tidak membuahkan hasil menggembirakan. Maka saya ajak ngobrol ibu dan bapaknya Arina. Bersama teman-teman perawat, residen dan saya sendiri duduk dalam satu majelis. Dari situ saya lebih tahu kenapa si ibu tampak lebih cemas.

Zeni, perawat yang berpengalaman, memulai pembicaraan dengan menanyakan kepada ibu dan bapak Arina tentang pengetahuan atau persepsi beliau tentang penyakit yang dialami anak tercintanya. Kemudian mereka berbicara dan mengetahui bahwa kondisi anaknya ‘tidak baik-baik saja’ dengan melihat bagaimana perjalanan penyakit dari teman-teman sebayanya. 

Lalu Zeni bertanya, Arina putra ke berapa, Bu?” “Putri pertama dan satu satunya,” jawab ibunya sambil berurai air mata, kemudian dilanjutkan, “Saya tahu bahwa anak saya memburuk situasinya, saya berusaha sabar, saya berusaha ikhlas…., tetapi itu tidak mudah!” “Saya gagal, saya tidak bisa ikhlas…,” lanjut ibu Arina sembari terus meneteskan air mata. Saya belum berkomentar, sengaja saya biarkan agar sang ibu bisa katarsis. Agar bebannya terkurangi. Agar tidak merasa sendiri. Agar mendapat dukungan.

Sampai giliran saya berbicara, saya sampaikan kepada mereka, “Bapak ibu ini adalah insan pilihan. Allah telah memilih bapak ibu untuk memikul rahmat ini. Tidak semua insan diberi kepercayaan oleh Allah untuk memikul beban ini.” Kemudian saya sampaikan, ”Apa yang bapak ibu harapkan dari kami?”

Bapak Arina kali ini yang angkat bicara, “Tolong usahakan yang terbaik untuk anak kami.”

Saya jawab, “Kami dalam tim berusaha Pak…, penentu kesembuhan tentu dari Dia.” “Sekarang kami sedang mengevaluasi respons pengobatan kepada Arina,” lanjut saya. 

”Kalau respons bagus bagaimana lanjutannya, kalau responsnya tidak bagus bagaimana?” Bapaknya mengejar usaha kami. Inilah pertanyaan yang saya tunggu-tunggu untuk bisa masuk ke dalam pembicaraan berikutnya.

Secara keilmuan, kondisi seperti Arina ini (di mana respons pengobatan konvensional kurang bagus) bisa dilakukan skrining di awal, seperti pemeriksaan di tingkat sel, molekul dan di tingkat gena-nya. Dari hasil skrining tersebut bisa ditentukan pengobatan yang tepat untuk sebuah penyakit, di tingkat individu. Pengobatan pun bisa macam-macam bentuknya, seperti, cangkok sumsum tulang, terapi target, immunotherapy, dan segala bentuk modalitas terapi.

Mengingat kondisi kondisi ideal belum bisa diterapkan di negeri ini, maka berlakulah pepatah ‘Tidak ada rotan akar pun jadi’. Inilah kontradiksi yang ada di sebuah negeri yang dijuluki negeri yang ‘gemah ripah loh jinawi’ tetapi situasi Arina dan Arina-Arina yang lain seperti ini. 

Bapak dan ibu…., kalau evaluasi ini bagus tentu kita akan lanjut pengobatan sesuai protokolnya. Akan tetapi kalau hasil evaluasi tidak bagus tentu kita akan membuat pilihan-pilihan yang tujuannya adalah membuat kualitas hidup Arina membaik dan dia tidak boleh menderita atau merasa sakit,” jawab saya mengakhiri diskusi pagi tadi.

Jan 2023

Lihat juga

Back to top button