AGNI PAWIYATAN: QU ANFUSAKUM WA AHLIKUM! 

(Catatan Diskusi "Agni Pawiyatan”, Majelis Ilmu Maiyah Blitar Blitar, 20 Mei 2023) 

Diskusi “Agni Pawiyatan” telah usai digelar. Sedulur Maiyah Balitar yang berkumpul pada Sabtu (20/5) di sebuah bangunan yang nantinya akan difungsikan sebagai pesantren. Tepat lokasinya adalah di kediaman Mas Hakim, Subontoro, Ponggok, Kab. Blitar Jawa Timur. Nama pesantrennya adalah Pesantren Subontoro, persis sama dengan nama daerah tempat bangunan itu didirikan.

Pembahasan malam itu bertajuk Agni Pawiyatan. Agni bermakna api. Pawiyatan bermakna tempat belajar. Sederhananya ia adalah sebuah kiasan, simbol bagi upaya terjaganya api yang menyala di bangsal-bangsal pendidikan. Agni Pawiyatan adalah kawah candradimuka bagi siapa yang menginginkannya. Layaknya Gatotkaca, siapapun yang memasuki kawah itu dan berani menceburkan diri secara kaffah, ia layak mendapat kekuatan serta ma’unah Allah Swt.

Tema ini sengaja diangkat oleh Maiyah Balitar sebagai refleksi atas kawah tempat Salikinal Maiyah mematangkan diri, yang apinya tiada padam hingga beberapa dekade. Yaitu kawah api-api suci yang pancar cahayanya menerangi serta mensucikan jiwa, dan panasnya membakar serta membentuk tubuh mereka. Kawah ini sering disebut sebagai forum Majelis Masyarakat Maiyah, Sinau Bareng, Maiyahan, ataupun Jannatul Maiyah. 

Juga, tema ini dipersembahkan untuk nyala api terbesar, sang Marja’ utama, yaitu Mbah Nun, untuk mapak miladnya yang ke-70 tahun. Emha Ainun Nadjib telah membuktikan dan memberi contoh tentang semangat yang tak pernah surut serta perjuangan tanpa kenal lelah, hingga besarnya daya hidup dan nyala api itu turut menjadi faktor utama dalam konstruksi kawah ini. Semoga kawah ini tetap abadi.

Setelah menghadiahkan Al-Fatihah dan membaca wirid Padhangmbulan, pembahasan dimulai dengan menilik ulang sistem pendidikan yang selama ini telah berjalan. Beberapa jamaah yang memiliki anak merasa khawatir dengan perkembangan zaman yang kian melesat. Cukup sulit untuk sekadar mengikuti, apalagi dapat memegangnya. Ia lebih licin daripada belut di sawah-sawah yang setiap hari mereka garap.

Di sisi lain, ada sesuatu yang luput diperhatikan, bahwa awal mula pendidikan berasal dari orangtua. Seseorang yang memiliki peran paling utama, terutama tentang pendidikan dalam masa pertumbuhan anak adalah orangtua. Hal ini dapat disaksikan dalam dhawuh Allah: 

قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا 

Jagalah (kamu sekalian) dirimu dan keluargamu dari api neraka.

Poin penting dalam potongan ayat tersebut adalah tentang penjagaan diri pribadi dan dilanjutkan dengan penjagaan keluarga. Secara natural, proses pendewasaan terjadi ketika seseorang diberi amanah oleh Allah menyandang gelar sebagai orangtua. Proses dinamis ini yang akan memancar kepada orang tua. Jika dia sebagai diri dewasa tak sanggup mengampu beban, tentu korban pertamanya adalah anak. Begitu pun ketika dia berhasil.

Maka yang demikian adalah lingkar fokus serta titik mula pendidikan ideal. Permulaannya adalah diri sendiri. Keberhasilan diri, entah itu alami atau diusahakan, akan merembet, menyulut api-api di sekitarnya untuk turut berkobar. Akhirnya, tercipta sebuah kawah candradimuka, yaitu Agni Pawiyatan dalam level keluarga, lingkar utama yang sering diabaikan dan dianggap remeh dengan mengemukanya sistem pendidikan formal yang menimbulkan persepsi umum bahwa kewajiban mendidik hanya dimiliki seorang guru karena ia memang digaji untuk itu. Dan celakanya, proses yang sangat transaksional dan picik hati ini seolah diamini begitu saja.

Setelah lalu-lalang ide serta pembacaan yang cukup, sebuah sambutan muncul dari Cak Oji, yang menjelaskan pengalamannya selama berinteraksi dengan anak sulungnya. Sedang Budi, yang belum berkeluarga, mencoba mengingat pendidikan militeristik yang ia terima dari ayahnya semasa kecil. Keadaan yang demikian menciptakan dialog perspektif, mengingat manusia hampir selalu terbelenggu oleh keadaan yang dihadapi. Kekalutan emosional sering kali menyempitkan jarak pandang dan membuatnya merasa selalu benar dengan dalih hal ihwal terkini yang hanya mampu dipahami olehnya sendiri.

Mbah Anam, salah seorang sesepuh, turut menjelaskan bahwa posisi orangtua dalam hierarki guru yang berpengaruh pada diri, dalam khasanah Jawa, disebut sebagai guru rupaka. Artinya, orangtua sangat menjadi penentu terbentuknya rupa kemanusiaan dari anaknya. Tubuh dan watak kemanusiaan seorang anak adalah hasil olah proses dari guru rupaka; orangtua mereka sendiri.

Oleh karena letupan impulsif yang tak terbendung pembahasan mulai muncul dari beragam perspektif. Mas Komed, sebagai pemerhati bahasa Arab memberi aksen pada obrolan dengan khasanah linguistik bahasa Arab. Dengan posisi duduk yang berseberangan secara diagonal dengan Mas Komed, tercetuslah butir-butir pencerahan yang dituai dari pengalaman dan kitab-kitab klasik dari kang Hakim; tuan rumah yang menjadi pengampu dari sejumlah kajian dan pengajian.

Pergumulan dan proses nggulawentah diakhiri dengan harapan: semoga api kehidupan dan kobar semangat ini tetap terjaga. Mulai dari membesarnya api kecil dalam diri, lalu merembet kepada keluarga, syukur-syukur juga menyebar dalam jangkauan yang lebih luas, hingga tercipta Agni Pawiyatan yang menuntun kepada kesejatian, seperti yang telah tergambar rapi dalam rekam jejak 70 Tahun Muhammad Ainun Nadjib. 

(Tim Redaksi Maiyah Balitar) 

Lihat juga

Back to top button