REPORTASE TAWASHSHULAN DAN SINAU “HATI YANG MERDEKA”
(Lingkar Maiyah Sedulur Pasuruan)
Sabtu 12 Agustus 2023 malam, teman-teman Maiyah Pasuruan kembali menghelat kegiatan Tawashshulan dan Sinau Bareng. Setelah “Merangkai Cahaya di Awal Warsa”, para sedulur Maiyah Pasuruan mencoba untuk berikhtiar dengan “Hati yang Merdeka”. Tema ini diambil dalam rangka mangayubagya momentum kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-78. Malam itu kian terasa geliat perayaan kemerdekaan di pelbagai tempat. Kampung-kampung ramai dengan lomba-lomba yang dilakukan dengan gembira dan semangat. Jalanan padat dan macet di beberapa titik, kabarnya malam itu pawai patrol dihelat. Momentum tepat dan orang yang bersemangat menjadi kombinasi cantik yang bisa dinikmati bersama.
“Hati yang Merdeka” secara resmi dibuka dengan pembacaan Tawashshulan oleh Cak Jufri bergantian dengan Gus Ishom. Namun sebelumnya, obrolan gayeng membahas perdagangan, kehidupan sosial, dll. telah dirambani bersama. Setelah Tawashshulan, bahasan berfokus pada tema. Namun seperti kita pahami bersama, tema adalah pemantik. Spektrum diskusi dan obrolan ketika bermaiyah bisa mengenai apa saja. Dua hewan besar, Kuda Nil dan Gajah menjadi inspirasi Gus Ishom saat mendesain flyer. Digambarkan dua hewan tersebut terjun ke samudera sebagai pengejawantahan kemerdekaan untuk melebur pada kehidupan yang seluas samudera.
Disambut oleh Mas Wira dengan mengingatkan kembali bahwa merdeka adalah mengetahui batasan. Kemudian muncul Ide menarik yang tersampaikan saat Mas Dayat yang berdomisili di Lumbang Rejo dan aktif bermaiyah di Paseban Majapahit mengatakan bahwa berjualan adalah tentang service, pelayanan. Hal prinsip yang diyakininya menjadi sesuatu yang memerdekakan pilihan hidupnya. Serangkaian cerita berbagi pengalaman tentang jual beli pun bertautan. Gus Ishom bercerita pengalamannya saat menginisiasi bisnis kaos. Mulai dengan merintis dan dilakukan sendiri hingga menularkannya pada orang lain hingga bisnis tersebut secara model telah dikuasai. Tidak ada yang hilang ketika harus membaginya, “Merelakan sesuatu akan mendapatkan sesuatu yang lain,” hikmah yang diungkapnya.
Malam semakin larut, obrolan hangat menyelimuti udara Prigen yang dingin malam itu. Mas Yudi yang turut hadir menyampaikan dengan lugas, Maiyah itu oase. Saat pikiran sumpek, datang ke Maiyah terasa menemukan jawabannya. Hijrahnya sebagai jamaah streamingiyah menjadi jamaah yang turut hadir baik di Bangbang Wetan dan Paseduluran Maiyah Pasuruan menyuratkan sesal sebagai bahasa syukur, “Nyesel kenapa baru-baru ini ikut Maiyahan.”
Mengapa “Hati yang Merdeka?” Kenapa bukan jiwa yang merdeka? Bahasan mendetail tentang hal ini diserukan oleh Mas Ari. Namun sebelumnya Cak Jufri memantik dengan mengulik definisi kata merdeka, independent, dependent, dan freedom. Merdeka itu independent. Merdeka tidak sama dengan freedom. Jika dependent artinya bergantung, maka independent artinya melepaskan kaitan-kaitan yang membuat kita bergantung pada hal-hal tersebut. Hati jangan banyak dikaitkan dengan hal-hal di luarnya karena kaitan-kaitan itu akan membuat hati tidak merdeka lagi.
Untuk memperoleh bahasan yang pas, hati yang merdeka mencoba diwedhar melalui pemaknaan dua kata utama yang menyusunnya. Hati dan merdeka, adalah dua kata yang memiliki multi interperetasi. Hati, sejak dulu menjadi perdebatan antara kaum filsuf, ulama, dan saintis. Apakah ia merujuk pada organ biologis tubuh ataukah lebih sebagai pada kata ganti untuk mengungkapkan rasa atau perasaan yang merupakan bagian dari jiwa. Sedangkan merdeka pun mengandung relativitas kondisi yang tidak semua orang memiliki standar yang sama, dimana kemerdekaan bagi satu orang bisa jadi penjara atau keterikatan bagi orang lainnya.
Sebut saja ungkapan; “wong edan kui bebas” itu menggambarkan tidak ada sesuatu dalam dunia ini yang benar-benar bebas. Bahkan, untuk bebas berbuat apa saja pun, orang harus terikat dulu dengan prasyarat edan.
Atas dasar itu, pembahasan frasa hati yang merdeka lebih diarahkan kepada perasaan atau sikap merdeka seperti apa yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu sebagai individu, sebagai bangsa, dan sebagai manusia itu sendiri.
Diskusi semakin hangat dengan mencoba memotret merdeka dari dinamika perjalanan bangsa. Ditemukan kesimpulan bahwa rakyat Indonesia adalah manusia-manusia tangguh yang memiliki kemerdekaan untuk survive melewati berbagai jatuh bangun dan pasang surutnya sistem pemerintahan sejak zaman kerajaan, kolonial, hingga pasca proklamasi. DNA ketangguhan inilah yang perlu dimiliki oleh para pemegang urusan agar tidak selalu tersandera oleh kepentingan-kepentingan yang menjajah kemanusiaan.
Setiap diri adalah pemimpin dengan kapasitasnya masing-masing. Contoh-contoh konkret dari dulur-dulur Maiyah yang terus ubet dalam posisinya sebagai rakyat kecil dengan tetap memegang nilai-nilai kesejatian seperti yang telah diceritakan di atas menjadi penanda bahwa lingkungan atau masyarakat dengan model seperti itu perlu senantiasa dirawat dan dikembangkan agar bangsa ini benar-benar memperoleh kemerdekaan yang hakiki.
Lewat tengah malam, acara dipungkasi dengan doa yang dipimpin oleh Gus Ishom. Segala harapan dan cita-cita baik dilangitkan beriringan hujan meteor Perseid yang menghiasi langit malam itu. Maiyah akan terus berjalan, “mencintai Indonesia sak iso isone.”
(Redaksi Lingkar Maiyah Sedulur Pasuruan)